Mohon tunggu...
Fassya Raineta Ramadhanty
Fassya Raineta Ramadhanty Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Gadjah Mada

Seseorang yang sangat menyukai seni dan estetika. Senang melibatkan pena dan kertas sebagai teman perjalanan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Sastra Lisan: Situs Makam Cendonosari

11 Juni 2024   04:42 Diperbarui: 11 Juni 2024   05:02 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Situs Makam Cendonosari terletak tidak jauh dari situs gapura tepatnya di Jalan Garuda No. 429, Wonocatur, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta yang sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Makam ini merupakan makam dari Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo 7 yang mana beliau dahulunya adalah pepatih dalem Keraton Yogyakarta. Sebelum menjabat sebagai pepatih, beliau bernama Kanjeng Pangeran Haryo Yudo Negoro 3 putra dari Raden Kanjeng Adipati Yudo Negowo 2. Jabatan Patih Danurejo 7 diemban dari tanggal 1 Maret 1912 sampai wafatnya sekitar tahun 1933.

Makam Cendonosari sebetulnya makam khusus keluarga Kepatihan Danurejo. Dahulu beliau dapat dibilang pro-Belanda sehingga tidak bisa dimakamkan di Panjimatan Imogiri. Lalu patih Danurejo berinisiatif membuat makam yang bertempat di Gumuk Cendono. Dahulu gumuk tersebut berukuran kecil yang selanjutnya ditinggikan lagi dan lagi oleh Ndoro Idris. Ndoro Idris diperintahkan oleh Patih Danurejo untuk membuat makam karena beliau tidak boleh dimakamkan di Panjimatan Imogiri.

dokpri
dokpri

"Kalariyin kan nderek Walandi, dadosipun mboten saget disareaken wonten Imogiri. Lajeng beliaunipun yoso sepiyambak ngaranipun Gumuk Cendono. Wonten gumuk alit ditambahi saking ngiwo tengen ditambahake. Yoso meniko Ndoro Idris", kata Bapak Sunardi, salah satu penjaga Situs Makam Cendonosari.

Situs Makam Cendonosari ini tergolong situs unik karena terletak di bukit kecil buatan yang berada di tengah perkampungan. Bukit kecil ini berasal dari penimbunan tanah guruk hasil penggalian dari sisi timur, utara, maupun barat di sekitar makam sehingga apabila dilihat dari arah Masjid Takarub akan menyerupai sebuah pulau. Bekas galian dimanfaatkan warga sekitar untuk 'wirotani' berupa penanaman padi dengan ikan-ikan yang dapat dijadikan spot mancing bagi warga sekitar. Parit yang mengelilingi makam memiliki lebar lima meter. Komplek makam dibuat dengan kayu yang dicat warna hijau. Dahulu gumuk ini berukuran pendek dan tanpa pepohonan tinggi. Fungsi gumuk sebelum dipegang purbakala adalah sebagai tempat untuk membangunkan sahur karena letaknya yang tinggi sehingga dapat terdengar hingga penjuru desa.

dokpri
dokpri

Persis di depan Makam Cendonosari terdapat sebuah gerbang pintu masuk yang terlihat tua dan antik. Pintu masuk berbentuk segi empat, sementara di kedua sisi terdapat hiasan lubang-lubang berbentuk belah ketupat. Di bagian atas gapura terdapat ukiran gambar kala atau raksasa dan menggunakan'sengkala memet' atau gambar yang menunjukkan tahun. 'Sengkala memet' tersebut melambangkan 'Dwi Naga Rasa Tunggal' yang berarti 1982. Hal ini bermakna tahun berdirinya Keraton Yogyakarta. 'Dwi' berarti dua, 'Nogo' melambangkan angka delapan, 'Roso' melambangkan angka enam, dan 'Tunggal' berarti satu. Gerbang tersebut juga merupakan bagian dari Pesanggrahan Cendonosari yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono II.

Di sebelah kiri gapura terdapat Balai Paleraman yang berfungsi sebagai tempat pemberhentian sementara jenazah. Selain itu, tempat tersebut juga digunakan sebagai tempat juru kunci menunggu pana pengunjung yang datang. Bangunan kecil tersebut memiliki dinding sekat yang diukir membentuk ukiran bermotif sulur-sulur seperti ukiran yang ada di kolam utama Goa Seluman atau Pesanggrahan Wonocatur.

Untuk mencapai puncak, pengunjung harus melewati anak tangga sebanyak 30. Bagian atas terdapat bangunan beratap yang terbagi menjadi dua ruangan. Ruangan pertama digunakan untuk nisan Patih Danurejo 7 berserta istrinya dan ruang kedua digunakan untuk nisan kerabat dari Patih Danurejo 7, yaitu anak dan cucu yang diangkat dari kakaknya beliau karena beliau tidak memiliki putra. Sebelah kiri adalah nisan anak angkat dan sebelah kanan adalah nisan para cucu. Ruang pertama lebih tinggi kurang lebih 20 cm dibandingkan ruang kedua. Kedua ruangan berdampingan utara-selatan.

Makam ini juga memiliki keanehan. Biasanya di makam umum suami berada di sisi kanan istri. Namun, berbeda dengan Makam Cendonosari ini. Sisi kanan merupakan nisan dari Patih Danurejo sedangkan sisi kiri merupakan nisan dari istrinya, yaitu Gusti Kanjeng Ratu Ayu yang merupakan anak ke 36 dari Sri Sultan Hamengkubuwono 7. Ini terjadi karena istri Patih Danurejo 7 merupakan keturunan darah biru, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono 7.

Selama menjabat sebagai pepatih, Patih Danurejo 7 juga merangkap sebagai seniman andalan dan dikenal sebagi pelopor pagelaran wayang orang yang dipentaskan di luar keraton. Beliau membuat Sendratari Ciung Wanoro. Patih Danurejo mengenalkan budaya ketoprak dan wayang kepada masyarakat yang mana sebelumnya adalah hiburan khusus keluarga kerajaan. Salah satu ketoprak yang dikenal adalah Ketoprak Tobong yang menceritakan kehidupan masyarakt tanpa menyinggung keraton.

Selain itu, beliau juga terkenal karena pernah mengadaptasi salah satu lakon Wirajarita Agung Ramayana yang diberi nama Langen Mandrowanoro. Beliau juga menciptakan gamelan yang diberi nama Gamelan Beling karena terbuat dari pecahan kaca. Beliau sangat menyukai seni pertunjukan dan memiliki keinginan untuk membawa pertunjukan wayang orang keluar dari tembok keraton. Untuk itulah beliau menciptakan Langen Mandrowanoro yang mana tarian-tariannya dilakukan dengan jongkok dan dialognya berupa tembang.

dokpri
dokpri

Dahulu, Makam Cendonosari sering didatangi oleh pasangan suami istri untuk meminta momongan. Selain itu, makam tersebut juga sering digunakan untuk tahlilan dan tempat azan karena letaknya berada di tempat yang tinggi. Namun, seiring dengan perubahan zaman, makam tersebut tidak lagi berfungsi seperti dulu melainkan hanya untuk berziarah. Peziarah tidak hanya berasal dari keluarga keraton tetapi ada juga yang berasal dari luar daerah.

Bangunan Makam Cendonosari sudah direnovasi sebanyak tiga kali pada bagian atap. Renovasi pertama dari kayu yang dipotong tipis-tipis atau disebut dengan sirat. Kemudian sekitar tahun 1997-1998 atap tersebut diganti dengan atap yang terbuat dari ijuk. Pada tahun 2001 sampai sekarang atap diganti lagi menjadi asbes.

Selain yang sudah penulis jabarkan tadi, ada satu makam dibawah Makam Cendonosari. Makam tersebut adalah makam kuda dari Patih Danurejo 7. Sebenarnya tidak dimakamkan di Wonocatur melainkan dimakamnkan di Solo. Makam tersebut dipindahkan karena sering terjadi penampakan seekor kuda di Solo yang diduga merupakan arwah dari Danurejo 7.

PESAN DAN AMANAT

Setelah mengetahui cerita dibalik Situs Makam Cendonosari, penulis mendapatkan beberapa pesan dan amanat yang dapat diambil. Pesan dan amanat tersebut adalah adanya filosofis seorang pemimpin yang selalu ingin berada di tempat yang tinggi seperti halnya pembuatan Makam Cendonosari yang dulunya hanya gumuk kecil yang kemudian ditinggikan lagi dan lagi. Ada juga perbedaan tahta yang menyebabkan letak pemakaman antara suami istri berbeda dari masyarakat pada umumnya. Serta sugesti dari masyarakat yang memindahkan makam kuda dari Solo ke Wonocatur karena dugaan penampakan arwah seekor kuda. Terakhir yang dapat penulis ambil dari cerita tersebut adalah masyarakat dapat memanfaatkan bekas galian tanah guruk sebagai 'wirotani'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun