Situs Makam Cendonosari terletak tidak jauh dari situs gapura tepatnya di Jalan Garuda No. 429, Wonocatur, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta yang sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Makam ini merupakan makam dari Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo 7 yang mana beliau dahulunya adalah pepatih dalem Keraton Yogyakarta. Sebelum menjabat sebagai pepatih, beliau bernama Kanjeng Pangeran Haryo Yudo Negoro 3 putra dari Raden Kanjeng Adipati Yudo Negowo 2. Jabatan Patih Danurejo 7 diemban dari tanggal 1 Maret 1912 sampai wafatnya sekitar tahun 1933.
Makam Cendonosari sebetulnya makam khusus keluarga Kepatihan Danurejo. Dahulu beliau dapat dibilang pro-Belanda sehingga tidak bisa dimakamkan di Panjimatan Imogiri. Lalu patih Danurejo berinisiatif membuat makam yang bertempat di Gumuk Cendono. Dahulu gumuk tersebut berukuran kecil yang selanjutnya ditinggikan lagi dan lagi oleh Ndoro Idris. Ndoro Idris diperintahkan oleh Patih Danurejo untuk membuat makam karena beliau tidak boleh dimakamkan di Panjimatan Imogiri.
"Kalariyin kan nderek Walandi, dadosipun mboten saget disareaken wonten Imogiri. Lajeng beliaunipun yoso sepiyambak ngaranipun Gumuk Cendono. Wonten gumuk alit ditambahi saking ngiwo tengen ditambahake. Yoso meniko Ndoro Idris", kata Bapak Sunardi, salah satu penjaga Situs Makam Cendonosari.
Situs Makam Cendonosari ini tergolong situs unik karena terletak di bukit kecil buatan yang berada di tengah perkampungan. Bukit kecil ini berasal dari penimbunan tanah guruk hasil penggalian dari sisi timur, utara, maupun barat di sekitar makam sehingga apabila dilihat dari arah Masjid Takarub akan menyerupai sebuah pulau. Bekas galian dimanfaatkan warga sekitar untuk 'wirotani' berupa penanaman padi dengan ikan-ikan yang dapat dijadikan spot mancing bagi warga sekitar. Parit yang mengelilingi makam memiliki lebar lima meter. Komplek makam dibuat dengan kayu yang dicat warna hijau. Dahulu gumuk ini berukuran pendek dan tanpa pepohonan tinggi. Fungsi gumuk sebelum dipegang purbakala adalah sebagai tempat untuk membangunkan sahur karena letaknya yang tinggi sehingga dapat terdengar hingga penjuru desa.
Persis di depan Makam Cendonosari terdapat sebuah gerbang pintu masuk yang terlihat tua dan antik. Pintu masuk berbentuk segi empat, sementara di kedua sisi terdapat hiasan lubang-lubang berbentuk belah ketupat. Di bagian atas gapura terdapat ukiran gambar kala atau raksasa dan menggunakan'sengkala memet' atau gambar yang menunjukkan tahun. 'Sengkala memet' tersebut melambangkan 'Dwi Naga Rasa Tunggal' yang berarti 1982. Hal ini bermakna tahun berdirinya Keraton Yogyakarta. 'Dwi' berarti dua, 'Nogo' melambangkan angka delapan, 'Roso' melambangkan angka enam, dan 'Tunggal' berarti satu. Gerbang tersebut juga merupakan bagian dari Pesanggrahan Cendonosari yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Di sebelah kiri gapura terdapat Balai Paleraman yang berfungsi sebagai tempat pemberhentian sementara jenazah. Selain itu, tempat tersebut juga digunakan sebagai tempat juru kunci menunggu pana pengunjung yang datang. Bangunan kecil tersebut memiliki dinding sekat yang diukir membentuk ukiran bermotif sulur-sulur seperti ukiran yang ada di kolam utama Goa Seluman atau Pesanggrahan Wonocatur.
Untuk mencapai puncak, pengunjung harus melewati anak tangga sebanyak 30. Bagian atas terdapat bangunan beratap yang terbagi menjadi dua ruangan. Ruangan pertama digunakan untuk nisan Patih Danurejo 7 berserta istrinya dan ruang kedua digunakan untuk nisan kerabat dari Patih Danurejo 7, yaitu anak dan cucu yang diangkat dari kakaknya beliau karena beliau tidak memiliki putra. Sebelah kiri adalah nisan anak angkat dan sebelah kanan adalah nisan para cucu. Ruang pertama lebih tinggi kurang lebih 20 cm dibandingkan ruang kedua. Kedua ruangan berdampingan utara-selatan.
Makam ini juga memiliki keanehan. Biasanya di makam umum suami berada di sisi kanan istri. Namun, berbeda dengan Makam Cendonosari ini. Sisi kanan merupakan nisan dari Patih Danurejo sedangkan sisi kiri merupakan nisan dari istrinya, yaitu Gusti Kanjeng Ratu Ayu yang merupakan anak ke 36 dari Sri Sultan Hamengkubuwono 7. Ini terjadi karena istri Patih Danurejo 7 merupakan keturunan darah biru, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono 7.