#Cermin
KUSULAM TEMU LEWAT HAPALAN
_____
"Di hari ulang tahunmu nanti, kau mau kado apa?"
"Aku tidak mau apa-apa. Aku hanya ingin kehadiran Ayah."
Jleb.
***
Kalau saja aku adalah kertas, dan dia adalah bolpoin, mungkin diriku telah dipenuhi oleh tintanya yang bergema 'Ayah'. Tiap malam, ngigaunya hanyalah kata 'Ayah,' ketika kujumpai dia menangis, jawabnya selalu 'Aku rindu Ayah,". Selalu seperti itu!
Namanya Bibal. Kawan pertamaku saat aku menginjakkan kaki di Pondok Pesantren ini. Dia yang mengajariku makna sebuah senyuman ketika aku di ambang keputusasaan. Dia juga yang selalu meminta rangkul saat rindunya pada sang Ayah tiada tertahan hingga memunculkan isak. Ya, sejak 15 tahun yang lalu katanya, orang tuanya memutuskan 'tuk cerai.
"Hidup itu identik dengan senyuman, Via. Kau akan selalu merasa sendiri, saat bibirmu enggan kau lekukan," ucapnya saat itu, ketika aku kedapatan menangis di bawah selimut.
"Kau tidak tahu apa-apa tentangku. Enyahlah! Aku mau sendiri."
"Aku bahkan tidak tahu mau enyah ke mana, sedang asrama menginginkan kita satu ranjang."
Dengan kesal, kubalikkan badanku meski kepala masih di dalam selimut.
"Ayah Ibuku sudah cerai sejak aku kecil."
Ingin aku berlontar, "Untuk apa memberitahuku?" tapi terhalang oleh rasa penasaran.
"Ayah pergi, dengan istri barunya."
***
Hari berganti hingga menepi pada penghujung tahun. Kerumitan hidupku pelan-pelan terurai karena Bibal. Kesedihan yang melandaku sebab pacarku menikah dengan wanita lain, kuanggap tiada apa-apanya dibanding perjuangan Bibal yang menyembunyikan rindu di sela senyumnya. Yah, meski baginya dia tidak sedang menyembunyikan, tapi memaknai senyum sebagai obat.
Besok lusa, akan diadakan acara kecil-kecilan untuk menyambut hari ultah Bibal. Semuanya direncanakan oleh sang ibu_ibunya Bibal, guna salah satu bukti ungkapan sayang. Meski terkesan sederhana, namun cukup mewah jika dipandang lewat rasa.
"Di hari ultahmu nanti, kau mau kado apa?"
Dia tersenyum samar. Matanya menancap pada langit biru bertabur bintang. "Aku tidak mau apa-apa. Aku hanya ingin kehadiran Ayah."
Jleb.
Meski tidak ada getar di nada suaranya, tapi itu cukup membuatku terenyuh. Mataku malah berkaca-kaca membayangkan penantian Bibal yang begitu lama.
"Tapi, sudahlah. Aku tidak ingin berharap banyak dia akan datang. Kabarnya bahkan telah hilang tertelan zaman. Biarlah rinduku terpatri di baris doa, semoga dia baik-baik saja."
Dia nampak tenang mengucapkan, tapi air mataku malah menetes mendengarnya.
"Seburuk-buruknya dia di pandangan orang-orang, ayahku akan tetap menjadi ayahku. Mereka hanya tidak pernah melihat sisi kasih sayangnya, hinga berlontar demikian negatif."
Kupilih diam, menunggu lontaran kalimatnya kemudian.
"Kalaupun memang jasadku tidak lagi ditakdirkan bersua, biarlah ruhku kelak yang merangkulnya di surga. Aku sungguh merindukannya, Via. Hingga aku berjanji, akan kuberi hadiah mahkota ketika telah kuraih gelar hafidzah di pondok pesantren."
Tess.
___
Batupapan, 29 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H