Meski tidak ada getar di nada suaranya, tapi itu cukup membuatku terenyuh. Mataku malah berkaca-kaca membayangkan penantian Bibal yang begitu lama.
"Tapi, sudahlah. Aku tidak ingin berharap banyak dia akan datang. Kabarnya bahkan telah hilang tertelan zaman. Biarlah rinduku terpatri di baris doa, semoga dia baik-baik saja."
Dia nampak tenang mengucapkan, tapi air mataku malah menetes mendengarnya.
"Seburuk-buruknya dia di pandangan orang-orang, ayahku akan tetap menjadi ayahku. Mereka hanya tidak pernah melihat sisi kasih sayangnya, hinga berlontar demikian negatif."
Kupilih diam, menunggu lontaran kalimatnya kemudian.
"Kalaupun memang jasadku tidak lagi ditakdirkan bersua, biarlah ruhku kelak yang merangkulnya di surga. Aku sungguh merindukannya, Via. Hingga aku berjanji, akan kuberi hadiah mahkota ketika telah kuraih gelar hafidzah di pondok pesantren."
Tess.
___
Batupapan, 29 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H