Matahari baru saja terbenam dan Tamara baru sampai ke rumahnya, seragam sekolahnya basah kuyup karena hujan deras. Sambil menenteng sepatunya, Tamara menjinjit menuju ke ruang belakang. Barang-barang antik menghiasi setiap dinding coklat kayu rumah tua tersebut. Terkesan klasik tetapi nyatanya terlihat suram di mata gadis berusia 14 tahun itu. Tamara mengambil bajunya dari tumpukkan pakaian yang belum ia taruh di lemari dan bergegas menuju dapur, perutnya keroncongan.
Jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam, Tamara baru selesai menyantap nasi goreng dengan telur mata sapi buatannya. Seketika muncul suara televisi menyala dari ruang tengah rumahnya, ternyata ibunya sudah pulang. Semenjak kedua orang tuanya bercerai, Tamara hanya tinggal dengan ibunya di rumah peninggalan keluarga sang ibu. Sesekali Bi Sum, pembantu kepercayaan keluarganya itu datang untuk merapikan rumah.Â
Tamara mengintip, seperti biasa Ibu paruh baya itu meneguk sebotol bir, 'dasar pemabuk berat' gumam Tamara dengan nada jengkel. Setelah bercerai, ibu kehilangan tujuan hidup. Perasaan dendam masih membekas di lubuk hatinya. Terkadang ibu tak sengaja melampiaskannya kepada anaknya. Tamara menghela nafas panjang dan mencoba menyapa ibunya, bertanya bagaimana keadaannya hari ini. Si ibu tidak menjawab dan hanya tertawa dengan acara televisi yang bahkan tidak lucu. Tamara kesal dan membalikkan badan ingin menuju kamarnya.Â
"Hei, mau kemana kamu?" Ibunya memanggil, menyadari kehadiran anaknya yang hampir meninggalkan ruangan tersebut.Â
"Ke kamar,"
"Nilai kamu gimana, ingat kamu harus dapat beasiswa, aku tidak punya uang berjuta juta hanya untuk membayar sekolah," "Bapakmu juga mana mau membiayai kuliahmu," Ucap ibu yang entah masih dalam sadar atau tidak. "Lelaki brengsek seperti dia tidak mungkin peduli dengan anaknya sendiri." Lanjut ibu menggerutu, dan menertawai tontonan televisi di depannya.
"Memangnya ibu peduli dengan keadaanku?" Suara Tamara meninggi, jengkel. Si ibu menoleh ke arahnya.
"Ibu tahu tidak? pekerjaan ibu itu hanya mabuk, bisa-bisanya ibu menjelekkan bapak padahal ibu mengurus anak sendiri saja juga tidak pernah," "Kalian berdua itu sama saja,"Â
"Hei, masih mending kamu masih disediakan tempat tinggal," Balas ibu, nadanya meninggi.
"Bapakmu saja tidak pernah mengasuhmu, masih baik aku berikan harta untukmu hidup," "Harusnya sudah ku biarkan kau mati saja kelaparan."Â
Ucapan ibunya membuat Tamara terkejut, begitu teganya seorang ibu berkata seperti itu kepada anaknya. Dia mengerti ibunya sedang ngelantur karena pengaruh alkohol, tetapi tetap saja hal tersebut sangat menyayat hatinya.Â
"Memangnya aku pernah minta untuk dilahirkan?" "Aku juga tidak pernah mau hidup di dunia." Tangannya mengepal.
Tamara berlari menuju kamarnya, air mata membanjiri wajahnya, tangannya bergegas mengusap air matanya.
Hujan kembali deras, petir bergemuruh, Tamara membanting pintu, melemparkan buku - bukunya.
"Aku mau mati saja," Tamara memukul tembok dengan tangannya hingga berdarah.Â
"Aku mau mati," Tamara frustasi dengan keadaan.Â
"Aku gak mau hidup seperti ini," Tamara menjambak rambutnya sendiri.
"Aku mau mati," Tamara berteriak kesakitan.
"Tuhan, boleh tidak aku mati sekarang?" Tamara sudah tak tahan lagi.Â
"Buat apa aku hidup, ibu saja tidak peduli dia hanya peduli dengan hidupnya sendiri, egois." "Guru di sekolah juga menjengkelkan, bahkan teman pun aku tidak punya,"Â
Tamara membantingkan tubuhnya ke lantai dan berteriak bersamaan dengan petir bergemuruh. Hujan semakin deras. Tamara memejamkan matanya.
Seketika muncul suara aneh, berbisik, dan entah dari mana asalnya itu.
"Psst, kamu yakin ingin mengakhiri hidupmu?" Suara itu mengejutkan Tamara, Â bulu kuduknya berdiri.
"Siapa itu?" Tamara terbangun dan melihat ke sekitar kamarnya, tidak ada siapa siapa.
"Psst, aku dengar semua yang kamu bicarakan tadi," Tamara terbelalak, dirinya tidak tahu dari mana asal suara itu.Â
"Kamu siapa? Â Dari Mana kamu?" Tamara waspada.Â
"Hahaha, hahaha, hahaha," Tawa tersebut disusul suara decitan begitu berisik. Kepala Tamara mulai nyeri kesakitan, pusing. Pandangannya buyar, suara yang ia dengar merusak telinganya.
Seketika semua berubah menjadi gelap bersamaan dengan petir yang dahsyat.
~~
Suara berisik itu menghilang, Tamara membuka matanya dan terkejut. Entah berada dimana dirinya sekarang, yang pasti bukan di kamar tidurnya. Hanya ruang kosong berukuran 3x3 meter berdinding lusuh layaknya sebuah penjara, mengerikan.Â
Tamara ketakutan, tiba - tiba ada yang menariknya keluar dari ruangan itu. Bersamaan dengan itu, muncul suara tertawa yang begitu kencang. Suara tersebut sama dengan yang ia dengar di kamarnya. Tetapi Tamara tidak bisa melihat apa apa, dirinya terseret dan seketika terlempar, tubuhnya melayang.
~~
Tamara terjatuh dan tenggelam, berusaha untuk kembali ke permukaan tetapi ada yang menariknya kembali ke dasar danau yang dalam.
"Bukankah ini yang kamu mau? Mengakhiri hidupmu dan lari dari kenyataan dunia?" Suara tersebut muncul kembali.Â
Tamara pasrah membiarkan dirinya tenggelam. Dirinya memejamkan matanya, nafasnya menipis. Tetapi pikiran Tamara berputar di kepalanya.Â
"Kalau aku mati saat ini juga, siapa yang akan menemani ibu, siapa yang akan membahagiakannya"Â
"Kalau aku mati, siapa yang akan menolong kucing Pak Sur kalau kelaparan,"Â
"Kalau aku mati saat ini, cita cita ku di masa depan tidak akan pernah jadi nyata."Â
Memori bahagia yang pernah dialami terlintas di benaknya. Tamara pun berusaha kembali berenang menuju permukaan danau itu.Â
~~
Seketika dirinya terbangun, jantungnya berdetak kencang. Tamara melihat ke sekeliling, rupanya dia sudah berada di kamarnya sendiri. Ternyata kejadian tadi hanya mimpi, gumamnya sambil menghembuskan nafas dan mengelap keringat di dahinya.
 Tamara merapikan kembali kamarnya, ruangan tersebut sudah kembali rapi. Buku - buku yang tadi malam berserakan telah tersusun kembali di rak. Cahaya matahari masuk melalui jendela kamar, ruangan tersebut terlihat terang.
Tamara melihat ke arah cermin, di cermin itu terpajang foto-foto dirinya dengan orang kesayangannya. Di atas cermin juga tertempel cita-cita Tamara yang ingin ia capai. Tersenyum, dirinya masih menyelamatkan diri saat tenggelam. Dia tidak benar - benar ingin mengakhiri hidupnya. Suara yang mengganggunya pun sudah tidak ia dengar lagi. Tamara sadar sesulit apapun keadaan jangan pernah menyerah, kamu masih layak untuk hidup.
Ketukan pintu berbunyi, ternyata ibunya.
"Hei, kau mau keluar? Ada restoran baru buka di tengah kota," Ajak ibu sembari tersenyum manis. Tamara mengernyitkan dahinya tidak percaya.Â
"Maafkan perkataan ibu semalam, sepertinya omongan ibu sudah melenceng," "Maaf ibu juga masih suka mabuk, ibu belum bisa jadi ibu yang baik," "Tetapi aku berusaha untuk jadi orang tua yang sempurna walau tanpa bapak kau." Tetesan air mata jatuh ke pipi ibu.Â
Tamara memeluk ibunya, mereka berpelukan.
"Tuhan, maaf kalau kemarin aku berpikir akan mendahulukan takdir, tetapi aku janji gak mau mengakhiri hidup aku lagi, aku mau bahagiain ibu, aku mau buat aku bahagia."Â
- Tamara, 28 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H