Dalam kasus persaingan ini, bagi Indonesia sendiri terdapat beberapa hambatan dari sisi external maupun sisi internal yang ternyata sangat mempengaruhi perkembangan nilai ekspor kakao negara kita. Adapun hal-hal internal yang mempengaruhi adalah hama dan umur tanaman yang sudah sangat tua, dan mutu atau kualitas kakao yang dihasilkan Indonesia sulit untuk memenuhi harapan serta permintaan dari pasar Uni Eropa itu sendiri. Tidak hanya itu, di sisi external terdapat masalah utama yang terdapat di mekanisme perdagangan pasar Uni Eropa itu sendiri sebagai hambatan non-tarif ekspor. Meskipun dalam ekspor kakao Indonesia ke pasar Uni Eropa sudah 0% tetapi tidak untuk produk olahan kakao setengah jadi dari Indonesia. Hambatan ini membuat daya saing dari komoditas utama negara kita menjadi rendah. Dengan berlakunya tarif sebesar 4-6% terhadap ekspor produk olahan kakao Indonesia membuat sangat sulit untuk bersaing dengan negara lain karena produk olahan kita akan menjadi lebih mahal dibanding produk olahan dari negara Afrika yang sudah dikenakan tarif 0% di pasar Uni Eropa.
Melalui penjelasan ini kita sebagai masyarakat mengerti persaingan dan hambatan yang negara kita alami, menurut saya Indonesia pasti akan akan bisa menignkatkan nilai ekspornya lagi melihat peluang yang kakao Indonesia miliki itu sangat besar dengan minat dari mancanegara.
Semoga produsen-produsen kakao Indonesia bisa lebih dapat meningkatkan kualitas dari biji kakao yang akan diekspor, dan mudah-mudahan tarif yang dikenakan Indonesia bisa dikecilkan menjadi 0% sama dengan Afrika. Dengan itu kita bisa menikmati manfaat pendapatan yang optimal dari pertanian negara kita ini. Sekiranya kita terus dapat mendorong serta melestarikan produk dan sumber daya milik tanah air kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H