Dengan demikian, posisi Aceh sebagai lokomotif dalam penyelenggaraan Pemerintahan, khususnya pelaksanaan demokrasi ditingkat lokal dapat ditelaah berdasarkan amanat atas pelaksanaan Pemilukada secara langsung, sekaligus pengakomodiran calon independen (calon perseorangan).
Pemilukada Nasional memiliki equivalensi dengan Pemilukada Aceh ?
Landasan yuridis dari Pemilukada, bersumber dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 18 ayat 4, yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”.
Dipilihnya frasa “secara demokratis”, turut dijelaskan oleh Patrialis Akbar dan Lukman Hakim Saifuddin, yang menyatakan bahwa “latar belakang pemikiran rumusan Pasal 18 ayat 4 saat itu adalah bahwa sistem pemilihan yang akan diterapkan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menerapkan sistem perwakilan (pemilihan dilakukan oleh DPRD) atau melalui sistem pemilihan secara langsung (pemilihan dilakukan langsung oleh rakyat). Tujuannya adalah agar ada fleksibilitas bagi masyarakat dalam menentukan sistem pemilihan Kepala Daerah. Hal itu terkait erat dengan penghargaan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat diberbagai daerah yang berbeda-beda. Baik sistem pemilihan secara langsung, maupun sistem pemilihan secara tidak langsung sama-sama masuk pada kategori sistem yang demokratis. Berdasarkan 2 (dua) pandangan ini, untuk kemudian disepakati menggunakan frasa “demokratis”, dalam artian karena pada ayat selanjutnya, yakni pada ayat tujuh (7) Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang, Undang-undanglah yang nantinya akan menentukan apakah pemilihan Kepala Daerah itu dilakukan langsung oleh rakyat atau sebagaimana sebelumnya dilakukan oleh DPRD, yang terpenting prinsip dasarnya adalah demokratis”.
Dipilihnya frasa “secara demokratis”, dapat ditelaah bahwa hal ini merupakan salah satu wujud untuk menyelaraskan dengan asas desentralisasi, yang mana dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia menerapkan desentralisasi asimetris. Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ada daerah-daerah yang bersifat istimewa dan khusus. Sejalan dengan adanya desentralisasi asimetris, maka dalam proses Pemilukada dapat disesuaikan dengan kondisi yang terdapat pada masing-masing daerah otonom, dengan mempertimbangkan keistimewaan dan kekhususan yang dimiliki.
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh, memiliki landasan yuridis berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 18 B ayat 1, yang berbunyi “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang”. Dalam melaksanakan amanat dari Pasal 18 B ayat 1, lahir beberapa peraturan organik. Diantaranya Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang selanjutnya direvisi menjadi Undang-Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, hingga yang terkini direvisi menjadi Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, juga memiliki regulasi terkait penyelenggaraan Pemilukada di Provinsi Aceh. yang turut mengatur mengenai model dan sistem Pemilukada secara langsung, sekaligus mengakomodir calon independen (calon perseorangan). Bahkan didalam mengimplementasikan berbagai norma yang mengatur mengenai Pemilukada, diamanatkan adanya peraturan-peraturan daerah (Qanun) yang secara spesifik akan menjabarkannya.
Hal ini turut ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “bahwa pemilukada Aceh mempunyai kekhususan dibanding pemilukada lainnya. Hal demikian disebabkan adanya Qanun yang juga mengatur proses pemilukada Aceh, yang mana hal ini tidak terdapat pada daerah-daerah lainnya” (Putusan MK No. 108/PHPU.D-IX/2011: Point 3.3.2). Berdasarkan regulasi terkait penyelenggaraan Pemilukada di Provinsi Aceh, dapat ditelaah Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh berposisi sebagai lex spesialis dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Semoga stakeholder dapat berlaku arif dan bijaksana dalam rangka menyelenggarakan demokrasi di tingkat lokal, khususnya di Aceh.
Opini ini juga dimuat pada: http://www.harianaceh.co.id/opini/2014/09/17/31904/21/20/58/quo-vadis-pemilukada-dan-aceh/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI