Mohon tunggu...
Cak Pujiono
Cak Pujiono Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ini Dia Kejanggalan dan Rekayasa Muktamar ke 33 NU

11 Agustus 2015   11:52 Diperbarui: 11 Agustus 2015   11:52 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah kemarin-kemarin saya tulis tentang masalah perdebatan pra Muktamar (soal Ahwa dll). Kali ini saya akan menulis mengenai kejanggalan dan rekayasan yang terjadi di Muktamar NU ke 33 di Jombang. Kejanggalan dan rekayasa inilah yang kemudian membuah sebagian besar Muktamirin (kubu Tebuireng) tidak puas dengan hasil Muktamar. Tulisan ini saya sarikan dari obrolan dengan banyak Muktamirin yang saya kenal. Selamat membaca:

Terdapat bias persepsi dan opini bahwa seolah-olah informasi yang menyebutkan bahwa Muktamar berjalan diwarnai kericuhan, rekayasa dan manipulasi adalah bohong belaka. Padahal setiap panitia, pengurus NU, peserta muktamar atau siapapun yang berada di sana akan dengan kasat mata melihat dan merasakan berbagai kejanggalan itu.

Semua yang ditulis di sini merupakan fakta seputar kejanggalan pada tahapan muktamar yang bisa dibuktikan atau ditanyakan kepada ‘pelaku’ maupun ‘korban’ muktamar. Sudah menjadi rahasia umum dan pengetahuan bersama bahwa perjalanan muktamar memang penuh rekayasa.

Sayangnya, sebagian pihak termasuk mantan Rois Am Gus Mus mungkin tidak mengetahui ini secara utuh, atau tidak bersedia mengungkapkannya secara terbuka. Atau ada misinformasi yang beliau terima, meskipun beliau sudah menyatakan akan ‘meminjam mata dan telinga’ muktamirin untuk mengamati kondisi muktamar.

Kalau Al-Mukarram Gus Mus belum sepenuhnya melihat kejanggalan Muktamar, maka diharapkan Gus Mus lebih banyak meminjam mata dan telinga peserta muktamar. Masalah tersebut tidak akan selesai dengan kerelaan Gus Mus mencium kaki muktamirin, karena yang perlu dilakukan adalah dengarkanlah testimoni mereka dan kajilah pengakuan mereka, sehingga permasalahan muktamar benar-benar akan menjadi terang benderang dan jernih sejernih kristal.

Di sela Muktamar, KH. Said Aqil dan para pengurus lain dari kubunya juga  menyatakan di media bahwa muktamar berjalan dengan baik, tidak ada kericuhan, tidak ada rekayasa dan berjalan sesuai aturan. Pertanyaannya, aturan yang mana?

Sikap tersebut jelas berbeda dengan pernyataan dan tindakan sejumlah mantan pengurus PBNU periode 2010-2015 yang memiliki kejernihan berpikir dan obyektifitas dalam bersikap. Setidaknya itu ditunjukkan oleh Katib Am KH. Malik Madani yang turun tangan mengatasi masalah dan menganggap Muktamar kali ini sebagai muktamar yang paling amburadul sepanjang sejarah perjalanan NU.

Sikap obyektif dan terbuka juga disampaikan kiai taswuf yang biasanya irit bicara, yakni mantan Rois Syuriyyah KH. Afifuddin Muhajir yang menyatakan proses muktamar yang jujur tidak perlu diakui hasilnnya, sekaligus ia mempertanyakan tema muktamar yang mengusung peradaban namun pelaksana pelaksana muktamar jauh dari adab tersebut.

Berikut sejumlah kejanggalan dan rekayasa yang mewarnai perjalanan Muktamar. Semuanya jelas dan faktual, insyaallah tidak ada fitnah. Semua perlu diungkapkan agar ‘tidak ada dusta di antara kita’.

Ihwal Pemaksaan AHWA

  • Telah terjadi upaya pemaksaaan penerapan ahlul halli wal aqdi (ahwa) dengan segala cara yang menabrak aturan organisasi, dimana ahwa tidak diatur dalam AD/ART NU dan hanya dilegitimasi secara paksa oleh Munas NU 14 Juni. Padahal Munas pun merupakan forum di bawah muktamar yang tidak bisa merubah AD/ART dan sebatas memiliki kewenangan membahas masail diniyyah.
  • Telah terjadi pembelokan opini bahwa ahwa seolah-olah merupakan resep ampuh warisan ulama yang mujarab, terutama untuk menghindari politik uang karena disebut menghindari voting. Padahal, ahwa yang sekarang ini dipaksakan pada prakteknya hanyalah modus untuk mengegolkan kepentingan status quo, karena:
    1. Mekanisme pemilihan Anggota AHWA juga dipilih secara voting (tertutup) yang dipaksakan kepada peserta muktamar dan diserahkan pada saat registrasi dan kemudian akan dilakukan tabulasi tersendiri.
    2. Orang-orang yang dianggap pantas sebagai (calon) anggota ahwa, sudah ditentukan sebelumnya oleh panitia secara subyektif dengan cara memasukkan nama tertentu dan menafikan nama yang lain.
    3. Pemaksaan ahwa dengan dalih tidak mau mengadu kiai hanyalah bohong belaka, karena faktanya muncul 39 nama kiai yang kemudian diadu melalui sistem skoring untuk dipilih 9 di antaranya yang menjadi anggota ahwa.
    4. Pemunculan 39 nama itu juga melalui mekanisme yang janggal karena lahir dari forum rapat gabungan syuriyyah dan mustasyar yang dihadiri oleh sedikit syuriyyah dan sedikit mustasyar.
    5. Ahwa hanya diperuntukkan bagi pemilihan Rois Am Syuriyyah dan tidak untuk pemilihan Ketua Umum Tanfidziyyah. Padahal potensi money politics, justeru lebih memungkinkan pada kalangan tanfidziyyah. Atau, apakah itu artinya menyilahkan dan justeru menyiapkan pemilihan tanfidziyyah untuk dilalukan dengan penuh money politics?
    6. Pemaksa ahwa adalah pihak-pihak yang berada di belakang calon Rois Am dan Ketua Umum petahana serta tentu memiliki agenda di baliknya.

Proses Pendaftaran

  • Telah terjadi praktek penjegalan status kepesertaan oleh panitia muktamar yang dikendalikan sebagian elit PBNU, dengan cara melakukan diskriminasi peserta PWNU/PCNU/PCINU yang secara sadar menolak ahwa. Penolak ahwa diperlakukan secara tidak adil dan didzolimi dengan tidak diakui sebagai peserta muktamar, dibuktikan dengan pemberian tanda pengenal sementara yang hanya diperuntukkan acara pembukaan. Anehnya lagi, setiap peserta yang menyatakan menolak ahwa akan diberi kode TA (Tolak Ahwa) baik di dokumen kwitansi pembayaran uang registrasi, maupun tanda pengenal (ID). Perlakuan ini oleh peserta dirasakan seperti perlakuan pemerintah orde baru yang menandai orang-orang tertentu dengan kode Eks Tapol PKI.
  • Telah terjadi pelecehan dan ketidakhormatan kepada kiai dan ulama sepuh, yang ditunjukkan antara lain dengan perilaku kasar dan jauh dari akhlakul karimah kepada para kiai pada saat pendaftaran dan pembiaran terhadap kiai yang menunggu registrasi dengan pelayanan terbatas/minim. Padahal, para kiai dan ulama itu merupakan tokoh di daerahnya yang datang jauh-jauh ke Jombang untuk bermuktamar dan seharusnya mendapat pelayanan prima. Peserta yang mau mendaftar dipersepsikan sebagai pihak yang mengancam panitia, sehingga diberlakukan sistem pengamanan ketat dan galak.
  • Telah terjadi perilaku kurang terpuji seorang anak muda yang menduduki jabatan Katib Syuriyyah PBNU, Yahya Tsaquf (yang kebetulan adalah keponakan Pejabat Rois Am) terhadap Katib Am KH. Malik Madaniy yang telah secara benar dan tegas menyatakan bahwa tidak boleh ada perilaku diskriminatif status kepesertaan terhadap PWNU/PCNU pada saat registrasi. Yahya Tsaquf ini dengan lancangnya di area pendaftaran bersikeras membantah serta menyalahkan kebijakan Katib Am dan meminta Katib Am untuk menganulirnya.
  • Terdapat design proses registrasi peserta muktamar yang berbelit, dipersulit dan syarat motif politik sehingga menimbulkan keributan dan kegaduhan, misalnya adanya nuansa interogasi dan pemaksaan, jumlah pintu masuk yang terbatas (hanya satu) dan berlapis, ketersediaan jumlah loket yang tidak banyak (hanya enam meja) untuk melayani ribuan peserta, dan keharusan kehadiran semua utusan PWNU/PCNU langsung di meja pendafataran (padahal banyak yang sudah sepuh). Juga terjadi perubahan kebijakan penerimaan pendaftaran secara tidak konsisten oleh panitia dan diwarnai kebohongan.
  • Terdapat pembelokan perilaku Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dari yang seharusnya ‘menjaga ulama’ tetapi malah sebaliknya menghalang-halangi dan berperilaku kasar kepada ulama. Hal ini terutama ditunjukkan pada saat registrasi dimana Banser yang biasanya mencium tangan ulama untuk mendapatkan barokah malah mendorong-dorong ulama. Dugaan kuat, Banser tersebut hanya menjalankan perintah ‘tuannya’ atau bukan Banser yang sebenarnya alias jadi- jadian.

Penjadwalan dan Persidangan

  • Tidak pernah ada agenda Muktamar yang ditawarkan dan disampaikan ke Muktamirin untuk disepakati. Seharusnya ada sebuah forum persidangan yang meligitmasi dan menyepakati agenda Muktamar selama kurang lebih lima/enam hari bermuktamar itu.
  • Agenda muktamar pada prakteknya berubah-ubah sesuai kepentingan dan kemauan panitia dan PBNU. Sungguh sangat tidak bisa diterima, sebuah even sekelas muktamar NU dilaksanakan dengan agenda yang tidak jelas pasti.
  • Agenda sidang tata tertib yang menurut jadwal dilaksanakan sehabis pembukaan, kemudian mundur sampai siang hari berikutnya Minggu (2/8). Penetapan jadwal tersebut jelas tidak rasional, karena pada awalnya akan dilakukan sehabis pembukaan (tercatat 22.00-24.00) dimana waktu pembukaan pasti tidak akan selesai pada pukul 22.00 WIB pas. Di samping karena pendaftaran peserta masih belum selesai, juga peserta tentu masih merasa kelelahan sehingga tidak mungkin pada saat itu dilakukan sidang pembahasan tata tertib.

Materi tata tertib tidak pernah dibagikan kepada peserta beserta materi lain yang dikirimkan ke PWNU dan PCNU. Materi tatib tersebut sengaja disembunyikan dan baru diberikan pada pagi hari di arena sidang sebelum pelaksanaan sidang pleno pembahasan tatib. Pada saat pembahasan sidang tatib, terjadi deadlock terutama ketika memasuki pembahasan pasal 19, yakni soal mekanisme pemilihan Rois Am dan Ketua Umum yang menyebutkan soal ahlul halli wal aqdi (AHWA). Pada draft yang dibagikan mendadak itu tertulis Pemilahan Rais Am. Deadlock inilah yang kemudian sampai hari berikutnya belum usai, sehingga Rois Am Gus Mus tampil di meja pimpinan sidang  dan menyampaikan pidato yang mendayu. Karena pidato beliau itu ketegangan antara pro dan penolak ahwa mereda, dengan kesimpulan bahwa jika tidak terjadi kesepakatan tentang tata cara pemilihan Rois Am maka dikembalikan kepada pemungutan suara oleh para rois syuriyyah sebagaimana diatur dalam AD/ART. Itulah isi pidato beliau yang dipersepsikan pemiliha Rois Am kembali kepada Ad/ART karena tidak terjadi kesepakatan antar muktamirin tentang hal tersebut. Seharusnya dengan pidato ini maka sistem ahwa tidak bisa diberlakukan lagi untuk Muktamar ke-33 Jombang. Sampai-sampai berbagai media sudah menulis judul yang menyebutkan bahwa sistem ahwa tidak dipakai, da nada juga yang menulis dengan judul “Sistem Ahwa Ditanggalkan”.

  • Sehabis sidang pembahasan tata tertib, tiba-tiba diumumkan akan dilakukan sidang komsi-komisi. Sebuah alur agenda persidangan muktamar yang tidak lazim. Karena seharusnya setelah sidang tata tertib dilakukan sidang pleno penyampaian laporan pertanggung jawaban dan pemandangan umum peserta muktamar. Karena pengumuman pelaksanaan sidang komisi sudah sore, maka pelaksanaan sidang tersebut menjadi tidak maksimal karena soal waktu. Bahkan sidang komisi organisasasi yang baru dibuka, langsung ditutup tanpa pembahasan apapun karena waktu sudah maghrib.
  • Sidang pleno pembahasan laporan pertanggung jawaban dilakukan tanpa adanya pemandangan umum oleh muktamirin. Aneh bin ajaib, tiba-tiba setelah Ketua Umum PBNU domsioner selesai membacakan LPJ dan memutar film, pimpinan sidang yang dipegang oleh Sekjen PBNU Marsudi Suhud langsung menanyakan kepada peserta ‘apakah LPJ bisa diterima?’, yang langsung dijawab dengan koor dari peninjau yang disetting untuk menyatakan ‘setuju’. Sementara peserta resmi yang protes dan akan memberikan pandangannya tidak digubris. Sempat terungkap ucapan dari pimpinan sidang bahwa masukan-masukan peserta dapat disampaikan dalam sidang pemandangan umum. Namun ucapan itu tidak pernah terbukti karena sampai selesai muktamar tidak pernah ada forum pemandangan umum tersebut. Dan paginya langsung dilaksanakan lanjutan sidang komisi-komisi. Sungguh ngawur. Selang tak berapa lama setelah penyampaikan LPJ tanpa pemandagan umum tersebut, langsung direlease berita ke media bahwa ‘LPJ PBNU diterima dan KH. Said Aqil Siap Pimpinan NU Kembali’. Sebuah drama yang tidak lucu. Bagaimana mungkin sudah diklaim LPJ diterima sementara pemandangan umum peserta belum ada? Ini ibarat sudah lulus sebelum ujian dilakukan.
  • Pada saat sidang komisi organisasi terjadi keanehan berikutnya. Terjadi pemaksaan praktek pembagian sidang komisi organisasi antara syuriyyah dan tanfidziyyah, dimana forum syuriyyah membahas kembali soal ahwa dan tanfidziyyah membahas soal AD/ART. Inilah pertama kali dalam sejarah muktamar NU, di komisi organisasi terdapat sub komisi syuriyyah dan tanfidziyyah. Sedangkan syuriyyah itu seharunya membahas persoalan keagamaan (masail diniyyah) bukan persoalan keorganisasian, termasuk mekanisme pemilihan Rois Am. Tapi begitulah, forum yang tidak lazim ini tetap dipaksakan bahkan sampai terjadi proses voting yang diwarnai rekayasa dan kecurangan. Bagaimana mungkin sebuah sidang komisi (sub komisi) melakukan voting untuk memutuskan pemakaian ahwa atau tidak ahwa, sementara normalnya hasil sidang komisi tetap harus diplenokan untuk disepakati atau tidak. Dan terjadilah voting itu yang sarat dengan rekayasa dan manipulasi, misalnya adanya pengurus syuriyyah yang tidak dapat masuk karena alasan Rois Syuriyyahnya tidak ada sehingga tidak bisa diwakilkan dan adanya adanya praktek noken untuk 30 suara dari papua sementara PCNU di sana tidak mencapai jumlah itu.

Terdapat juga pelarangan terhadap Rois Syuriyyah yang asli untuk masuk ruang sidang karena disebutkan sudah ada perwakilannya (mungkin Rois Syuriyyah palsu).  Karena penuh rekayasa itulah maka voting yang janggal itu dimenangkan oleh kubu pro ahwa (sebagaimana diprediksikan sebelumnya). Sungguhpun demikian, ada pihak yang menganggap voting berjalan demokratis, sementara sebenarnya penuh rekayasa.

Di sisi lain pada komisi organisasi sub tanfidziyyah jelas disepakati bahwa pelaksanaan AD/ART yang baru termasuk di dalamnya soal ahwa, akan diberlakukan pada Muktamar 34. Jelas dinyatakan demikian dari sebuah kesepakatan yang diketok palu sidang. Namun hal itu diabaikan.

Pada sidang komisi organisasi sub syuriyyah ini juga terjadi insiden baku pendapat antara KH. Malik Madany dan Nushron Wahid. Waktu itu KH. Malik bersikukuh bahwa kehadiran syuriyyah pada forum tersebut mewakili kelembagaan syuriyyah bukan personal Rois Syuriyyah, sehingga kalau ada Rois Syuriyyah yang tidak hadir maka dapat diwakilkan oleh Wakil Rois Syuriyyah sepanjang ada surat kuasa atau mandat. Namun Nushron bersikukuh bahwa Rois Syuriyyah yang tidak bisa hadir langsung, termasuk karena sakit tidak bisa diwakilkan. Padahal diketahui banyak Rois Syuriyyah penolak ahwa yang berhalangan hadir karena udzur. Inilah juga sebab voting ahwa dimenangkan oleh kubu pemaksa ahwa.

  • Usai sidang komisi yang dramatik itu, panitia mengumumkan bahwa akan dilaksanakan sidang pleno pembahasan hasil sidang komisi. Namun ketika peserta bersiap berangkat dan ada juga peserta yang sudah sampai alun-alun tempat sidang berlangsung, entah kenapa tiba-tiba mendadak ada pembatalan dan dikatakan bahwa sidang pleno hasil komisi akan dilakukan esok paginya. Ini adalah perubahan jadwal yang kesekian kalinya. Namananya juga muktamar suka-suka.
  • Pelaksanaan sidang pleno pembacaan hasil komisi, diskeneriokan denga sangat cepat dan kilat. Pimpinan sidang lagi-lagi tidak memberikan kesempatan leluasa bagi muktamirin untuk menyampaikan pendapat, terutama pada saat sidang pleno hasil komisi organisasi yang memutuskan soal pemaksaan pengguanaan mekanisme ahwa. Tidak diberikan kesempatan bantahan dan sanggahan dari peserta. Termasuk di dalamnya dipaksakan bahwa pelaksanaan mekanisme ahwa dilakukan di Muktamar 33 ini, sementara hasil sidang komisi menyepakati pelaksaaan mekanisme ahwa pada muktamar 34. Dengan enaknya pimpinan sidang menganulir kesepakatan komisi organisasi sub tanfdziyyah dan pada saat yang sama pimpinan sidang menegaskan kesepakatan sidang komisi sub syuriyyah tentang mekanisme ahwa, sehingga diputuskanlah pelaksanaan mekanisme ahwa pada muktamar 33 Jombang. Klop sudah sesuai dengan keinginan segelintir kalangan.
  • Dan inilah puncak dari kedzoliman dan rekayasa Muktamar, yakni terjadi pada sidang pleno pemilihan anggota ahwa yang berjumlah Sembilan orang. Katakanlah penolak ahwa sudah mengalah untuk menerima mekanisme ahwa, sehingga yang seharusnya dilakukan adalah pemilihan 9 anggota ahwa oleh syuriyyah PWNU dan PCNU yang sudah diverifikasi untuk masuk ruang sidang selama hamper 2 jam. Caranya adalah setiap syuriyyah PWNU dan PCNU menulis 9 nama yang akan ditabulasi secara terbuka. Itu seharusnya. Tapi apa yang terjadi, tiba-tiba pimpinan sidang mengumumkan sembilan anggota ahwa tanpa melibatkan pemilihan oleh Rois Syuriyyah PWNU dan PCNU. Sembilan anggota ahwa itu diklaim ditabulasi dari peserta muktamar saat pendaftaran. Disebutkan bahwa sejumlah 358 PWNU dan PCNU telah mengusulkan anggota ahwa melalui isian formulir saat pendaftaram. Ini jelas janggal, karena pada saat registrasi banyak sekali peserta yang tidak mengisi anggota ahwa karena menolak pemaksaan, yang berkibat diskriminasi kepada mereka. Kedua, tabulasi itu dilakukan secara tertutup. Ini harus dibongkar karena kuat dugaan tabulasi 9 anggota ahwa tersebut hanyalah akal-akalan, termasuk skor dan rangking yang dimunculkan.

Kalau prakteknya begitu, untuk apa para rois syuriyyah tersebut dikumpulkan dan disuruh masuk forum “sidang pleno pemilihan anggota ahwa”, kalau kenyataanya tidak diberikan kesempatan ikut menentukan anggota ahwa pada saat itu juga. Aturan ahwa itu muncul secara resmi setelah diplenokan secara paksa. Sehingga pelaksanaan ahwa itu seharusnya terjadi pada saat sidang pleno pemilihan anggota ahwa dengan mekanisme terbuka dan setiap Rois Syuriyyah PWNU dan PCNU menentukan pilihannya. Tapi yang terjadi adalah lelucon muktamar kesekian yang paling mendzalimi peserta, yakni pemilihan anggota ahwa itu tidak ada, karena yang ada hanyalah pengumunan oleh pimpinan sidang bahwa inilah 9 anggota ahwa. Jadi tidak ada proses pemilihan anggota ahwa (alias formatur) dalam sebuah sidang yang disebut sebagai ‘sidang pleno pemilihan anggota ahwa’. Uniknya, kesembilan orang yang diumumkan ini sudah disiapkan di sekitar arena sebelum sidang pleno pemilihan anggota ahwa dilakukan, seolah-olah sidang pleno tersebut hanyalah formalitas belaka untuk melegitimasi rekayasa mereka. Protes PWNU dan PCNU saat itu lagi-lagi tidak didengarkan.

Itulah puncak kekecewaan peserta muktamar pada panitia muktamar, pimpinan sidang dan PBNU domisioner. Sehingga diambil keputusan oleh sebanyak 29 PWNU dan PCNU yang berada di bawahnya untuk tidak mengikuti sidang pleno pemilihan Ketua Umum Tanfidziyyah PBNU, karena pelanggaran dan penistaan hak peserta sedemikian nyata dan tanpa ada rasa malunya sedikitipun.

Kemudian dilakukanlah sidang pleno pengumuman hasil sidang ahwa yang memutuskan Gus Mus sebagai Rois Am dan KH. Makruf Amin sebagai Wakil Rois Am. Karena Gus Mus tidak bersedia, maka diaulatlah KH. Makruf sebagai Rois Am. Politisi PKB ini menerima keputusan untuk menjadikannya Rais Am.

  • Pemilihan Ketua Umum Tanfdziyyah yang kemudian menetapkan KH. Said Aqil patut diduga kuat berjalan tanpa quorum. Karena jelas sekali sebagian besar pengurus PWNU dan PCNU (29 PWNU dan 400 PCNU) menyatakan tidak ikut dan memilih bertemu dan beristighotsah di Tebuireng disertai dengan bubuhan tanda tangan. Proses pemilihan ketua umum itu juga tampaknya mengabaikan satu fase yaitu persetujuan oleh KH. Makruf Amin sebagai orang yang diaulat sebagai Rois Am hasil keputusan anggota ahwa yang tidak memiliki legalitas.

Itulah beberapa hal yang membuat Muktamar ke-33 NU tidak legitimate, sehingga 29 PWNU dan PCNU yang berada di bawahnya akan melakukan gugatan hukum. Ini bukan soal memang dan kalah, namun soal martabat dan marwah NU harus dijaga dari praktek-praktek dan perilaku organisasi yang manipulatif dan penuh rekayasa.

Keputuan Gus Mus tidak bersedia menjadi Rois Am sangatlah tepat dan perlu diapresiasi, karena beliau barangkali sudah mulai mengetahui bahwa muktamar berjalan dengan tidak beres. Itu artinya, meskipun agak terlambat, Gus Mus (dan juga tokoh lain) sekali lagi perlu meminjam lebih banyak mata dan telinga muktamirin agar semakin tahu proses muktamar yang manipulatif.

Kedzoliman dan kemungkaran tidak bisa dibiarkan, untuk menjaga NU agar tetap berjalan sesuai garis Islam Ahlussunah Waljamaah sebagaimana ditegaskan oleh para muassis NU. Sangat tidak bisa dibenarkan bahwa Muktamar NU yang berada di tempat kelahirannya justeru ternodai oleh praktek culas  dan curang.

 Ini bukan soal membela orang perorang. Bukan pula memperjuangkan siapa menjadi apa. Tapi proses ber-jam`iyyah NU harus tetap dijaga dengan baik dan benar. Pada saat yang sama NU perlu dijauhkan dari anasir jahat yang ‘menghalalkan segala cara’ dengan menabrak norma, etika dan aturan yang ada, termasuk AD/ART dan akhlak nahdliyyah

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun