Penjadwalan dan Persidangan
- Tidak pernah ada agenda Muktamar yang ditawarkan dan disampaikan ke Muktamirin untuk disepakati. Seharusnya ada sebuah forum persidangan yang meligitmasi dan menyepakati agenda Muktamar selama kurang lebih lima/enam hari bermuktamar itu.
- Agenda muktamar pada prakteknya berubah-ubah sesuai kepentingan dan kemauan panitia dan PBNU. Sungguh sangat tidak bisa diterima, sebuah even sekelas muktamar NU dilaksanakan dengan agenda yang tidak jelas pasti.
- Agenda sidang tata tertib yang menurut jadwal dilaksanakan sehabis pembukaan, kemudian mundur sampai siang hari berikutnya Minggu (2/8). Penetapan jadwal tersebut jelas tidak rasional, karena pada awalnya akan dilakukan sehabis pembukaan (tercatat 22.00-24.00) dimana waktu pembukaan pasti tidak akan selesai pada pukul 22.00 WIB pas. Di samping karena pendaftaran peserta masih belum selesai, juga peserta tentu masih merasa kelelahan sehingga tidak mungkin pada saat itu dilakukan sidang pembahasan tata tertib.
Materi tata tertib tidak pernah dibagikan kepada peserta beserta materi lain yang dikirimkan ke PWNU dan PCNU. Materi tatib tersebut sengaja disembunyikan dan baru diberikan pada pagi hari di arena sidang sebelum pelaksanaan sidang pleno pembahasan tatib. Pada saat pembahasan sidang tatib, terjadi deadlock terutama ketika memasuki pembahasan pasal 19, yakni soal mekanisme pemilihan Rois Am dan Ketua Umum yang menyebutkan soal ahlul halli wal aqdi (AHWA). Pada draft yang dibagikan mendadak itu tertulis Pemilahan Rais Am. Deadlock inilah yang kemudian sampai hari berikutnya belum usai, sehingga Rois Am Gus Mus tampil di meja pimpinan sidang dan menyampaikan pidato yang mendayu. Karena pidato beliau itu ketegangan antara pro dan penolak ahwa mereda, dengan kesimpulan bahwa jika tidak terjadi kesepakatan tentang tata cara pemilihan Rois Am maka dikembalikan kepada pemungutan suara oleh para rois syuriyyah sebagaimana diatur dalam AD/ART. Itulah isi pidato beliau yang dipersepsikan pemiliha Rois Am kembali kepada Ad/ART karena tidak terjadi kesepakatan antar muktamirin tentang hal tersebut. Seharusnya dengan pidato ini maka sistem ahwa tidak bisa diberlakukan lagi untuk Muktamar ke-33 Jombang. Sampai-sampai berbagai media sudah menulis judul yang menyebutkan bahwa sistem ahwa tidak dipakai, da nada juga yang menulis dengan judul “Sistem Ahwa Ditanggalkan”.
- Sehabis sidang pembahasan tata tertib, tiba-tiba diumumkan akan dilakukan sidang komsi-komisi. Sebuah alur agenda persidangan muktamar yang tidak lazim. Karena seharusnya setelah sidang tata tertib dilakukan sidang pleno penyampaian laporan pertanggung jawaban dan pemandangan umum peserta muktamar. Karena pengumuman pelaksanaan sidang komisi sudah sore, maka pelaksanaan sidang tersebut menjadi tidak maksimal karena soal waktu. Bahkan sidang komisi organisasasi yang baru dibuka, langsung ditutup tanpa pembahasan apapun karena waktu sudah maghrib.
- Sidang pleno pembahasan laporan pertanggung jawaban dilakukan tanpa adanya pemandangan umum oleh muktamirin. Aneh bin ajaib, tiba-tiba setelah Ketua Umum PBNU domsioner selesai membacakan LPJ dan memutar film, pimpinan sidang yang dipegang oleh Sekjen PBNU Marsudi Suhud langsung menanyakan kepada peserta ‘apakah LPJ bisa diterima?’, yang langsung dijawab dengan koor dari peninjau yang disetting untuk menyatakan ‘setuju’. Sementara peserta resmi yang protes dan akan memberikan pandangannya tidak digubris. Sempat terungkap ucapan dari pimpinan sidang bahwa masukan-masukan peserta dapat disampaikan dalam sidang pemandangan umum. Namun ucapan itu tidak pernah terbukti karena sampai selesai muktamar tidak pernah ada forum pemandangan umum tersebut. Dan paginya langsung dilaksanakan lanjutan sidang komisi-komisi. Sungguh ngawur. Selang tak berapa lama setelah penyampaikan LPJ tanpa pemandagan umum tersebut, langsung direlease berita ke media bahwa ‘LPJ PBNU diterima dan KH. Said Aqil Siap Pimpinan NU Kembali’. Sebuah drama yang tidak lucu. Bagaimana mungkin sudah diklaim LPJ diterima sementara pemandangan umum peserta belum ada? Ini ibarat sudah lulus sebelum ujian dilakukan.
- Pada saat sidang komisi organisasi terjadi keanehan berikutnya. Terjadi pemaksaan praktek pembagian sidang komisi organisasi antara syuriyyah dan tanfidziyyah, dimana forum syuriyyah membahas kembali soal ahwa dan tanfidziyyah membahas soal AD/ART. Inilah pertama kali dalam sejarah muktamar NU, di komisi organisasi terdapat sub komisi syuriyyah dan tanfidziyyah. Sedangkan syuriyyah itu seharunya membahas persoalan keagamaan (masail diniyyah) bukan persoalan keorganisasian, termasuk mekanisme pemilihan Rois Am. Tapi begitulah, forum yang tidak lazim ini tetap dipaksakan bahkan sampai terjadi proses voting yang diwarnai rekayasa dan kecurangan. Bagaimana mungkin sebuah sidang komisi (sub komisi) melakukan voting untuk memutuskan pemakaian ahwa atau tidak ahwa, sementara normalnya hasil sidang komisi tetap harus diplenokan untuk disepakati atau tidak. Dan terjadilah voting itu yang sarat dengan rekayasa dan manipulasi, misalnya adanya pengurus syuriyyah yang tidak dapat masuk karena alasan Rois Syuriyyahnya tidak ada sehingga tidak bisa diwakilkan dan adanya adanya praktek noken untuk 30 suara dari papua sementara PCNU di sana tidak mencapai jumlah itu.
Terdapat juga pelarangan terhadap Rois Syuriyyah yang asli untuk masuk ruang sidang karena disebutkan sudah ada perwakilannya (mungkin Rois Syuriyyah palsu). Karena penuh rekayasa itulah maka voting yang janggal itu dimenangkan oleh kubu pro ahwa (sebagaimana diprediksikan sebelumnya). Sungguhpun demikian, ada pihak yang menganggap voting berjalan demokratis, sementara sebenarnya penuh rekayasa.
Di sisi lain pada komisi organisasi sub tanfidziyyah jelas disepakati bahwa pelaksanaan AD/ART yang baru termasuk di dalamnya soal ahwa, akan diberlakukan pada Muktamar 34. Jelas dinyatakan demikian dari sebuah kesepakatan yang diketok palu sidang. Namun hal itu diabaikan.
Pada sidang komisi organisasi sub syuriyyah ini juga terjadi insiden baku pendapat antara KH. Malik Madany dan Nushron Wahid. Waktu itu KH. Malik bersikukuh bahwa kehadiran syuriyyah pada forum tersebut mewakili kelembagaan syuriyyah bukan personal Rois Syuriyyah, sehingga kalau ada Rois Syuriyyah yang tidak hadir maka dapat diwakilkan oleh Wakil Rois Syuriyyah sepanjang ada surat kuasa atau mandat. Namun Nushron bersikukuh bahwa Rois Syuriyyah yang tidak bisa hadir langsung, termasuk karena sakit tidak bisa diwakilkan. Padahal diketahui banyak Rois Syuriyyah penolak ahwa yang berhalangan hadir karena udzur. Inilah juga sebab voting ahwa dimenangkan oleh kubu pemaksa ahwa.
- Usai sidang komisi yang dramatik itu, panitia mengumumkan bahwa akan dilaksanakan sidang pleno pembahasan hasil sidang komisi. Namun ketika peserta bersiap berangkat dan ada juga peserta yang sudah sampai alun-alun tempat sidang berlangsung, entah kenapa tiba-tiba mendadak ada pembatalan dan dikatakan bahwa sidang pleno hasil komisi akan dilakukan esok paginya. Ini adalah perubahan jadwal yang kesekian kalinya. Namananya juga muktamar suka-suka.
- Pelaksanaan sidang pleno pembacaan hasil komisi, diskeneriokan denga sangat cepat dan kilat. Pimpinan sidang lagi-lagi tidak memberikan kesempatan leluasa bagi muktamirin untuk menyampaikan pendapat, terutama pada saat sidang pleno hasil komisi organisasi yang memutuskan soal pemaksaan pengguanaan mekanisme ahwa. Tidak diberikan kesempatan bantahan dan sanggahan dari peserta. Termasuk di dalamnya dipaksakan bahwa pelaksanaan mekanisme ahwa dilakukan di Muktamar 33 ini, sementara hasil sidang komisi menyepakati pelaksaaan mekanisme ahwa pada muktamar 34. Dengan enaknya pimpinan sidang menganulir kesepakatan komisi organisasi sub tanfdziyyah dan pada saat yang sama pimpinan sidang menegaskan kesepakatan sidang komisi sub syuriyyah tentang mekanisme ahwa, sehingga diputuskanlah pelaksanaan mekanisme ahwa pada muktamar 33 Jombang. Klop sudah sesuai dengan keinginan segelintir kalangan.
- Dan inilah puncak dari kedzoliman dan rekayasa Muktamar, yakni terjadi pada sidang pleno pemilihan anggota ahwa yang berjumlah Sembilan orang. Katakanlah penolak ahwa sudah mengalah untuk menerima mekanisme ahwa, sehingga yang seharusnya dilakukan adalah pemilihan 9 anggota ahwa oleh syuriyyah PWNU dan PCNU yang sudah diverifikasi untuk masuk ruang sidang selama hamper 2 jam. Caranya adalah setiap syuriyyah PWNU dan PCNU menulis 9 nama yang akan ditabulasi secara terbuka. Itu seharusnya. Tapi apa yang terjadi, tiba-tiba pimpinan sidang mengumumkan sembilan anggota ahwa tanpa melibatkan pemilihan oleh Rois Syuriyyah PWNU dan PCNU. Sembilan anggota ahwa itu diklaim ditabulasi dari peserta muktamar saat pendaftaran. Disebutkan bahwa sejumlah 358 PWNU dan PCNU telah mengusulkan anggota ahwa melalui isian formulir saat pendaftaram. Ini jelas janggal, karena pada saat registrasi banyak sekali peserta yang tidak mengisi anggota ahwa karena menolak pemaksaan, yang berkibat diskriminasi kepada mereka. Kedua, tabulasi itu dilakukan secara tertutup. Ini harus dibongkar karena kuat dugaan tabulasi 9 anggota ahwa tersebut hanyalah akal-akalan, termasuk skor dan rangking yang dimunculkan.
Kalau prakteknya begitu, untuk apa para rois syuriyyah tersebut dikumpulkan dan disuruh masuk forum “sidang pleno pemilihan anggota ahwa”, kalau kenyataanya tidak diberikan kesempatan ikut menentukan anggota ahwa pada saat itu juga. Aturan ahwa itu muncul secara resmi setelah diplenokan secara paksa. Sehingga pelaksanaan ahwa itu seharusnya terjadi pada saat sidang pleno pemilihan anggota ahwa dengan mekanisme terbuka dan setiap Rois Syuriyyah PWNU dan PCNU menentukan pilihannya. Tapi yang terjadi adalah lelucon muktamar kesekian yang paling mendzalimi peserta, yakni pemilihan anggota ahwa itu tidak ada, karena yang ada hanyalah pengumunan oleh pimpinan sidang bahwa inilah 9 anggota ahwa. Jadi tidak ada proses pemilihan anggota ahwa (alias formatur) dalam sebuah sidang yang disebut sebagai ‘sidang pleno pemilihan anggota ahwa’. Uniknya, kesembilan orang yang diumumkan ini sudah disiapkan di sekitar arena sebelum sidang pleno pemilihan anggota ahwa dilakukan, seolah-olah sidang pleno tersebut hanyalah formalitas belaka untuk melegitimasi rekayasa mereka. Protes PWNU dan PCNU saat itu lagi-lagi tidak didengarkan.
Itulah puncak kekecewaan peserta muktamar pada panitia muktamar, pimpinan sidang dan PBNU domisioner. Sehingga diambil keputusan oleh sebanyak 29 PWNU dan PCNU yang berada di bawahnya untuk tidak mengikuti sidang pleno pemilihan Ketua Umum Tanfidziyyah PBNU, karena pelanggaran dan penistaan hak peserta sedemikian nyata dan tanpa ada rasa malunya sedikitipun.
Kemudian dilakukanlah sidang pleno pengumuman hasil sidang ahwa yang memutuskan Gus Mus sebagai Rois Am dan KH. Makruf Amin sebagai Wakil Rois Am. Karena Gus Mus tidak bersedia, maka diaulatlah KH. Makruf sebagai Rois Am. Politisi PKB ini menerima keputusan untuk menjadikannya Rais Am.
- Pemilihan Ketua Umum Tanfdziyyah yang kemudian menetapkan KH. Said Aqil patut diduga kuat berjalan tanpa quorum. Karena jelas sekali sebagian besar pengurus PWNU dan PCNU (29 PWNU dan 400 PCNU) menyatakan tidak ikut dan memilih bertemu dan beristighotsah di Tebuireng disertai dengan bubuhan tanda tangan. Proses pemilihan ketua umum itu juga tampaknya mengabaikan satu fase yaitu persetujuan oleh KH. Makruf Amin sebagai orang yang diaulat sebagai Rois Am hasil keputusan anggota ahwa yang tidak memiliki legalitas.
Itulah beberapa hal yang membuat Muktamar ke-33 NU tidak legitimate, sehingga 29 PWNU dan PCNU yang berada di bawahnya akan melakukan gugatan hukum. Ini bukan soal memang dan kalah, namun soal martabat dan marwah NU harus dijaga dari praktek-praktek dan perilaku organisasi yang manipulatif dan penuh rekayasa.
Keputuan Gus Mus tidak bersedia menjadi Rois Am sangatlah tepat dan perlu diapresiasi, karena beliau barangkali sudah mulai mengetahui bahwa muktamar berjalan dengan tidak beres. Itu artinya, meskipun agak terlambat, Gus Mus (dan juga tokoh lain) sekali lagi perlu meminjam lebih banyak mata dan telinga muktamirin agar semakin tahu proses muktamar yang manipulatif.
Kedzoliman dan kemungkaran tidak bisa dibiarkan, untuk menjaga NU agar tetap berjalan sesuai garis Islam Ahlussunah Waljamaah sebagaimana ditegaskan oleh para muassis NU. Sangat tidak bisa dibenarkan bahwa Muktamar NU yang berada di tempat kelahirannya justeru ternodai oleh praktek culas dan curang.