Ada dua aspek ‘kesesatan’ pemaksaan AHWA yang perlu diungkapkan. Pertama terkait dengan proses pemaksaan AHWA itu melalui berbagai forum dan yang terakhir Musyawarah Nasional (Munas) 14 Juni, dan yang kedua logika pikir tentang AHWA yang dibangun.Â
Sistem Ahlul Halli Wal A’qdi yang kemudian dipopulerkan menjadi AHWA (yang berakar kata sama dengan bahasa arab ‘hawa’ yang berarti hawa nafsu) telah berhasil dipaksakan untuk disepakati melalui Munas Alim Ulama NU yang berlangsung 14 Juni 2015 di PBNU.
Munas itu sendiri terbilang aneh karena waktunya dilaksanakan berdekatan dengan Muktamar NU yang akan berlangsung 1-5 Agustus 2015 dan dilaksanakan tanpa Konferensi Besar (Konbes) NU. Padahal beberapa waktu (1-2 November 2014) sudah dilaksanakan Munas dan Konbes meskipun tanpa menghasilkan keputusan soal Ahawa tersebut.
Lazimnya, sebagaimana tercantum dalam AD/ART NU (Pasal 74/75 ART) Munas selalu dibarengi dengan Konferensi Besar. Munas merupakan forum yang terdiri dari para syuriyah tingkat Pengurus Wilayah dengan materi permasalahan keagamaan, sementara Konbes diikuti para pengurus tanfidziyyah untuk membahas persoalan organisasi dan kelembagaan.
Yang terjadi pada Munas yang dipaksakan itu adalah Munas tanpa Konbes dengan bahasan materi sistem pemilihan Rois Aam melalui AHWA. Barangkali ini baru pertama kali dilakukan Munas oleh PBNU tanpa adanya Konbes.
Dan untuk diingat bahwa dalam undangan Munas yang dikirim kepada PWNU tercantum agenda: pembahasan materi Muktamar (Masail Diniyyah/masalah keagamaan). Apa lacur undangan Munas dan pelaksanaannya berbeda, karena menyusupkan masalah organisasi, di luar masalah keagamaan.
Tawaran sistem AHWA dalam acara Pra Muktamar sebanyak 3 kali di Lombok, Makassar dan Medan, telah ditolak oleh rata-rata Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang NU. Bahkan para pengurus PWNU yang hadir waktu itu mempertanyakan ungkapan pengurus PBNU yang selalu mengatasmakan AHWA telah disepakati di Munas dan Konbes.
Pengurus PW yang juga menghadiri Munas dan Konbes, sebelumnya tidak merasa dan tidak mengakui kalau Munas dan Konbes dinyatakan memutuskan AHWA. Karena yang terjadi pada Munas dan Konbes justeru perdebatan soal alasan AHWA dan tidak terjadi kesepakatan apalagi keputusan.
Kalau dikatakan Munas dan Konbes (1-2 Nov 2015) benar sudah memutuskan AHWA, mengapa merasa perlu diadakan kembali Munas pada 14 Juni dengan agenda utama untuk membahas AHWA? Dan itu sekali lagi dilaksanakan tanpa Konbes.
Ternyata, itu Munas tanpa Konbes itu pulalah yang menjadikan penggagas Munas untuk menjalankan siasatnya. Rupanya sengaja dibuat Munas agar tidak terjadi perlawanan sengit dari undangan yang terdiri dari para kiai syuriyyah. Ini tentu berbeda kondisinya bila yang diadakan adalah Konbes yang dihadiri oleh pengurus tanfidziyyah yang telah nyata bersuara lantang menolak ahwa di forum sebelumnya. Celah inilah yang dimanfaatkan, namun sekaligus membuka kedok pemaksaaan ahwa.
Belum lagi pada Munas 14 Juni ini praktek yang terjadi adalah pemaksaan AHWA dimana peserta terutama yang dari PWNU tidak banyak diberikan kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya dan sekedar mendengarkan paparan dari pengurus PBNU. Karena itu 27 PWNU sekarang sudah mengirimkan kepada PBNU tentang penolakan AHWA.
Â
IHWAL AHWA
Sejarah AHWA muncul pada Muktamar NU di Situbondo tahun 1984 karena kondisi genting dan darurat berupa keterpecahan dua kubu NU antara Cipete dan Situbondo. Lalu muncullah inisiatif dari KH. Asad Syamsul Arifin yang mengajukan enam nama kiai sepuh yang menentukan Rois ‘Aam dan Ketua Umum Tanfidziyyah, yaitu KH. Ahmad Sidiq dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). KH. Masruri Ghozali (Ketua Lajnah Falakiyyah PBNU) menyampaikan pendapat dalam Munas 14 Juni bahwa aspek kedaruratan untuk pemberlakuaan AHWA itu hari ini tidak ada.
Ada juga bias pemahaman para pengusung AHWA yang mengatasnamakan sistem AHWA perlu diterapkan agar pemilihan NU tidak sama dengan pilkada langsung. Padahal pemilihan Rois Aam dan Ketua Umum Tanfidziyyah selama ini memang tidak bisa disamakan dengan pilkada langsung, dimana pilkada langsung itu setiap warga pemilik hak pilih menentukan pilihannya sementara dalam Muktamar NU yang sudah-sudah melalui sistem perwakilan dari PC dan PW.
Pemilihan pengurus NU bisa agak disamakan dengan pilkada langsung, bila setiap warga NU diberikan hak memilih. Maka pemilihan pemimpin NU yang berbasis perwakilan PC dan PW itu tidak bisa disamakan dengan pilkada langsung, sehingga madhorot pilkada langsung tidak bisa dijadikan alasan untuk pemaksaan sistem AHWA. Kerena yang terjadi dalam pemilihan pengurus NU sebagaimana AD/ART NU adalah sistem pemilihan tidak langsung melalui perwakilan.
Logika yang aneh para pengusuh AHWA juga terlihat dari upaya pemaksaan AHWA yang sebatas untuk pemilihan Rais A’am, dengan alasan untuk menjaga muru’ah kiai dari money politics. Ini sama saja dengan membiarkan pemilihan tanfidziyyah berlangsung dengan rusak-rusakan. Sementara potensi adanya money politics itu justeru lebih rawan di tingkat tanfidziyyah, sedang para pengurus syuriyah lebih relatif terjaga. Dan lagian baik syuriyah dan tanfidziyyah sama sama berbasis NU yang notebene berlabel ulama, sehingga perlu dijaga muruah keduanya.
Mengapa sistem AHWA sangat ngotot diberlakukan untuk pemilihan Rois Aam? Tentu ini mengundang pertanyaan. Jangan-jangan justeru ada pihak-pihak yang berambisi untuk menduduki jabatan Rois Aam dengan memaksakan sistem AHWA khusus untuk Rois Aam itu dan sekaligus menjegal tokoh lain yang berpeluang dipilih dengan sistem perwakilan peserta Muktamar.
Jadi pendukung Ahwa jangan terkecoh dengan hal ini, seakan-akan ada ijtihad yang sungguh-sungguh untuk mengembalikan NU kepada relnya dengan mengatasnamakan Ahwa. Tunggu dulu! Cermatilah alur dan modusnya.
Pada saat terjadi pemaksaan sistem AHWA hanya untuk urusan pemilihan syuriyyah, patut diduga ada skenario besar. Pertama, upaya pelemahan syuriyyah yang dipilih oleh AHWA karena bisa jadi diasumsikan memiliki legitimasi yang lebih rendah ketimbang tanfidziyyah yang dipilih langsung oleh Muktamirin. Kalau yang terjadi adalah supremasu tanfidziyyah dan lemahnya syuriyyah, maka tahap selanjutnya adalah penetrasi paham selain ahlussunah wal jamaah ke tubuh NU, yang tidak bisa dibendung di saat para syuriyyahnya dilemahkan.
Kedua, skenario permainan politik uang justeru memang telah disiapkan untuk jajaran pemilihan tanfidziyyah. Dugaan ini menguat ketika sekali lagi perlu diingat bahwa ahwa dengan alasan menimalisir politik uang itu hanya dipaksakan khusus untuk pemilihan Rois Aam. Mafhum mukholafahnya adalah petualang tanfidziyyah akan bermain uang di pemilihan tanfidziyyah yang ia setting tidak memakai pola AHWA.
Yang tidak ketemu logikanya lagi, sistem ahwa ini disebut untuk menghindari money politics. Namun sekarang ini muncul sistem ahwa gaya baru hasil Munas yang direkayasa bahwa Ahwa itu dilakukan dengan pola pemilihan 9 orang anggota AHWA oleh PWNU dan PCNU. Loh, kalau begini apa betul bisa menghindari money politics. Karena bisa saja pemilik modal besar akan dengan memudah menyuap PWNU dan PCNU dengan menitipkan paket 9 nama untuk dipilih sebagai anggota AHWA yang akan memilih Rois Aam.
Inilah beda konteks Ahwa di Muktamar Situbondo 1984 dengan modus ahwa sekarang ini yang penuh dengan manipulasi. Ahwa saat ini adalah ‘ahlal hillati wal ‘aqali’, karena sarat rekayasa dan akal-akalannya….
Wallahu a’lam bishshowaab…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H