Â
IHWAL AHWA
Sejarah AHWA muncul pada Muktamar NU di Situbondo tahun 1984 karena kondisi genting dan darurat berupa keterpecahan dua kubu NU antara Cipete dan Situbondo. Lalu muncullah inisiatif dari KH. Asad Syamsul Arifin yang mengajukan enam nama kiai sepuh yang menentukan Rois ‘Aam dan Ketua Umum Tanfidziyyah, yaitu KH. Ahmad Sidiq dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). KH. Masruri Ghozali (Ketua Lajnah Falakiyyah PBNU) menyampaikan pendapat dalam Munas 14 Juni bahwa aspek kedaruratan untuk pemberlakuaan AHWA itu hari ini tidak ada.
Ada juga bias pemahaman para pengusung AHWA yang mengatasnamakan sistem AHWA perlu diterapkan agar pemilihan NU tidak sama dengan pilkada langsung. Padahal pemilihan Rois Aam dan Ketua Umum Tanfidziyyah selama ini memang tidak bisa disamakan dengan pilkada langsung, dimana pilkada langsung itu setiap warga pemilik hak pilih menentukan pilihannya sementara dalam Muktamar NU yang sudah-sudah melalui sistem perwakilan dari PC dan PW.
Pemilihan pengurus NU bisa agak disamakan dengan pilkada langsung, bila setiap warga NU diberikan hak memilih. Maka pemilihan pemimpin NU yang berbasis perwakilan PC dan PW itu tidak bisa disamakan dengan pilkada langsung, sehingga madhorot pilkada langsung tidak bisa dijadikan alasan untuk pemaksaan sistem AHWA. Kerena yang terjadi dalam pemilihan pengurus NU sebagaimana AD/ART NU adalah sistem pemilihan tidak langsung melalui perwakilan.
Logika yang aneh para pengusuh AHWA juga terlihat dari upaya pemaksaan AHWA yang sebatas untuk pemilihan Rais A’am, dengan alasan untuk menjaga muru’ah kiai dari money politics. Ini sama saja dengan membiarkan pemilihan tanfidziyyah berlangsung dengan rusak-rusakan. Sementara potensi adanya money politics itu justeru lebih rawan di tingkat tanfidziyyah, sedang para pengurus syuriyah lebih relatif terjaga. Dan lagian baik syuriyah dan tanfidziyyah sama sama berbasis NU yang notebene berlabel ulama, sehingga perlu dijaga muruah keduanya.
Mengapa sistem AHWA sangat ngotot diberlakukan untuk pemilihan Rois Aam? Tentu ini mengundang pertanyaan. Jangan-jangan justeru ada pihak-pihak yang berambisi untuk menduduki jabatan Rois Aam dengan memaksakan sistem AHWA khusus untuk Rois Aam itu dan sekaligus menjegal tokoh lain yang berpeluang dipilih dengan sistem perwakilan peserta Muktamar.
Jadi pendukung Ahwa jangan terkecoh dengan hal ini, seakan-akan ada ijtihad yang sungguh-sungguh untuk mengembalikan NU kepada relnya dengan mengatasnamakan Ahwa. Tunggu dulu! Cermatilah alur dan modusnya.
Pada saat terjadi pemaksaan sistem AHWA hanya untuk urusan pemilihan syuriyyah, patut diduga ada skenario besar. Pertama, upaya pelemahan syuriyyah yang dipilih oleh AHWA karena bisa jadi diasumsikan memiliki legitimasi yang lebih rendah ketimbang tanfidziyyah yang dipilih langsung oleh Muktamirin. Kalau yang terjadi adalah supremasu tanfidziyyah dan lemahnya syuriyyah, maka tahap selanjutnya adalah penetrasi paham selain ahlussunah wal jamaah ke tubuh NU, yang tidak bisa dibendung di saat para syuriyyahnya dilemahkan.
Kedua, skenario permainan politik uang justeru memang telah disiapkan untuk jajaran pemilihan tanfidziyyah. Dugaan ini menguat ketika sekali lagi perlu diingat bahwa ahwa dengan alasan menimalisir politik uang itu hanya dipaksakan khusus untuk pemilihan Rois Aam. Mafhum mukholafahnya adalah petualang tanfidziyyah akan bermain uang di pemilihan tanfidziyyah yang ia setting tidak memakai pola AHWA.
Yang tidak ketemu logikanya lagi, sistem ahwa ini disebut untuk menghindari money politics. Namun sekarang ini muncul sistem ahwa gaya baru hasil Munas yang direkayasa bahwa Ahwa itu dilakukan dengan pola pemilihan 9 orang anggota AHWA oleh PWNU dan PCNU. Loh, kalau begini apa betul bisa menghindari money politics. Karena bisa saja pemilik modal besar akan dengan memudah menyuap PWNU dan PCNU dengan menitipkan paket 9 nama untuk dipilih sebagai anggota AHWA yang akan memilih Rois Aam.