Mohon tunggu...
Lukman Santoso Az
Lukman Santoso Az Mohon Tunggu... Lecturer Law -

Pengajar Hukum; Pembina FPM IAIN Ponorogo: Anggota SPN. Lahir di Sekincau pada 20 Mei 1985. Pernah nyanti ‘literasi’ di PPM Hasyim Asy’ari Yogyakarta di bawah asuhan KH. Zainal Arifin Thoha (alm). Resensi buku, essay dan artikelnya pernah di muat di Media Indonesia, Lampung Post, Riau Post, Bangka Pos, Pikiran Rakyat, Solo Pos, Surabaya Post, Harian Surya, Bali Post, Investor Daily, Koran Kontan, Jurnal Nasional, Republika, Kompas, Kedaulatan Rakyat, Harian Bernas, Koran Tempo, Majalah Gatra, NU Online, Kabar Bangsa, Harakatuna, JalanDamai, dll. Beberapa buku telah ditulis, diantaranya; Jagalah Lisanmu (PIM, 2008); Kebangkitan Indonesia (Iboekoe, 2008); Hukum Perjanjian; Teori dan Praktik (Cakrawala, 2011), Hukum Hak dan Kewajiban Nasabah (Pustaka Yustisia, 2012), Pintar Berperkara Hukum (Ekspresi, 2014), Syahrir; Pemikiran dan Kiprahnya (Palapa, 2014), Separatisme Islam di Indonesia (Diva Press, 2014), Para Martir Revolusi Dunia (Palapa, 2014), Hukum Pemerintahan Daerah (Pustaka pelajar, 2015), Pengantar Ilmu Hukum (Setara Press, 2016), Hukum Kontrak dan Bisnis (Setara Press, 2016), Negara Hukum dan Demokrasi (IAINPo Press, 2017), Dinamika Hukum Kontrak Di Indonesia (TrussMedia, 2017), Resolusi Menulis (Antologi, 2017), Merawat Nusantara (Antologi, 2017), Serta buku antologi, sosial dan hukum yang akan segera terbit. Untuk sharing dan korespondensi, penulis dapat di hubungi melalui email: cak_luk2005@yahoo.co.id, facebook (elsanaz_05@yahoo.co.id), Akun Twitter @CakLukmanAz. HP. 085643210185

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal featured

"Desentralisasi" Korupsi di Daerah

3 Mei 2011   18:40 Diperbarui: 15 September 2021   06:11 1357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi korupsi (KOMPAS.com/NURWAHIDAH)

Sejak desentralisasi dan otonomi daerah digulirkan satu dasarwarsa lalu, kebijakan ini kemudian menjadi penanda bergesernya paradigma otoriter yang dianut Orde Baru, menjadi paradigma desentralisasi demokrasi.

Desentralisasi dalam konteks Indonesia diyakini sebagai sebuah cara untuk membangun pemerintahan yang efektif, demokratis, menghargai berbagai keragaman lokal, menghormati dan mengembangkan potensi masyarakat lokal, serta memelihara integrasi nasional.

Selain itu, sejatinya otonomi daerah lahir sebagai upaya untuk membongkar sentralisme kekuasaan (centralism of power) terutama dalam hal tata relasi pusat dan daerah.

Artinya, desentralisasi dan demokratisasi menghendaki adanya pemencaran kekuasaan. Karena kekuasaan yang terlalu besar, sebagaimana ditengarai Lord Acton, akan disalahgunakan dan cenderung korup (power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely).

Pada ranah implementasi, pelaksanaan otonomi daerah justru jauh panggang dari api. Hasil evaluasi pelaksanaan otonomi daerah oleh berbagai kalangan, termasuk LIPI (2007) UNDP (2008) dan Depdagri (2011), memperlihatkan bahwa agenda ini lebih menunjukkan kegagalan daripada wujud kesuksesannya. Kegagalan yang sangat nyata adalah nampak dari "terdesentralisasikannya" korupsi ke daerah, sehingga banyak kepala daerah yang terlibat kasus korupsi.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan otonomi luas memicu kegairahan baru yang membuka ruang kebebasan bagi masyarakat dan elit lokal. Namun, kebebasan itu justru dipahami berbeda oleh para elite lokal sebagai kebebasan dalam segala aspek.

Moh. Mahfud MD (2011) menyebut fenomena ini sebagai euforia demokrasi lokal. Euforia merupakan ekspresi kegembiraan sesaat, yang menggambarkan bahwa proses politik hanya berlangsung dalam situasi darurat jangka pendek.

Kegembiraan jangka pendek itu tidak bakal membuahkan demokrasi lokal yang kokoh dan berkelanjutan, kecuali hanya membuahkan instabilitas dan merajalelanya korupsi. Praktek korupsi di era reformasi yang kian menyebar ke daerah dan melibatkan semakin banyak aktor ini tentu menggambarkan sebuah ironi dari desentralisasi.

Yang mengkhawatirkan adalah, sebagian besar praktek korupsi di daerah justru dilakukan oleh kepala daerah dan anggota legislatif (DPRD) yang jelas-jelas di pilih oleh rakyat.

Kasus terbaru adalah korupsi yang dilakukan Gubernur Bengkulu, Agusrin Najamuddin; walikota Tomohon, Jefferson Soleiman Montesqieu Rumajar; dan bupati Lampung Timur, Satono yang mengkorupsi dana APBD. Beberapa daftar kepala daerah yang sebelumnya sudah ditetapkan diantaranya, Sukawi Sutarip (wali kota Semarang), Bambang Bintoro (bupati Batang), Syamsul Arifin (gubernur Sumatera Utara), Yusak Yaluwo (bupati Boven Dogoel, Papua), Indra Kusuma (bupati Brebes), dan Fahriyanti (walikota Magelang), serta puluhan nama lainnya (Majalah Tempo, 2010). Deretan nama-nama tersebut tentu hanya sebagian kecil dari fenomena korupsi daerah yang terkuak.

Padahal jika fenomena tersebut dapat di bongkar secara lebik besar, tentu kita akan melihat kenyataan yang sangat mecengangkan. Hal ini diperkuat data Indonesia Coruption Watch, bahwa hingga akhir tahun 2010 ada 148 mantan kepala daerah dan mantan wakil kepala daerah, serta kepala daerah yang masih aktif terjerat kasus korupsi.

Namun yang kasusnya diizinkan disidik hanya 84 kasus, di luar 27 kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sedangkan sisanya belum diizinkan presiden.

Realitas ini tentu merupakan kabar buruk bagi proses demokratisasi di era desentralisasi. Lantas, bagaimana kita memahami fenomena korupsi yang secara nyata telah merambah di daerah tersebut? Menurut Prof. Dr. Saldi Isra (2009), menjamurnya korupsi di daerah dapat dilihat melalui tiga persoalan penting.

Pertama, sadar atau tidak, program otonomi daerah yang digulirkan oleh pemerintah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Dengan kata lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah.

Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elit lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.

Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah.

Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.

Kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun walikota, tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan bertanggunjawab ke DPRD.

Hubungan pemerintahan pusat dan daerah hanya fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah tanpa diikuti oleh pengawasan yang memadai.

Ketiga, legislatif daerah gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol. Justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan derah tidak terjadi, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah.

Yang perlu digarisbawahi bahwa adanya lembaga control seperti DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi kebijakan pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) tidak berarti kemungkinan akan adanya penyelewengan dan korupsi menjadi hilang.

Justru ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif dengan legislatif, sangat sulit bagi masyarakat untuk melakukan kontrol atas kedua lembaga tersebut oleh karena otonomi masyarakat tidak diwujudkan.

Maka, terkait berbagai problematika otonomi daerah tersebut, menjadi sangat urgen bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tegas dan strategis.

Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah, Pertama, segera merevisi UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah, terutama tekait pembagian wewenang pemerintah pusat dan daerah dan terkait pasal 126 yang memuat status kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.

Selama ini, dasar hukum tersebut memberi ketentuan bahwa sejauh belum menjadi terdakwa dan tuntutannya kurang dari lima tahun penjara, mereka bisa bebas dan tetap menempati jabatannya.

Status sebagai pejabat Negara juga kerap menyulitkan aparat penegak hukum ketika akan menahan dan memeriksa mereka. Undang-undang mengharuskan pemeriksaan terhadap kepala daerah atas izin presiden.

Sedangkan izin tersebut juga harus melalui birokrasi yang panjang dan rumit. Maka dengan melakukan revisi terhadap Undang-undang sebut diharapkan gubernur, bupati/walikota yang tersangkut kasus korupsi akan dinon-aktifkan begitu menjadi tersangka.

Jabatan dan hak mereka akan diberikan kembali jika penyidikan kasusnya dihentikan. Namun sebaliknya, jika status tersangka ini meningkat jadi terdakwa, secara otomatis mereka tidak bisa meneruskan jabatannya.

Kedua, pemerintah juga dapat mengefektifkan upaya dalam memerangi korupsi di daerah yang semakin menggurita dengan memanfaatkan KPK secara maksimal. Argumentasi ini didasarkan pada kapasitas legal yang dimiliki KPK untuk untuk masuk ke semua lembaga Negara dan melakukan evaluasi untuk pencegahan korupsi.

Sebelum itu di tempuh, tentu langkah yang harus diambil adalah penguatan posisi KPK di daerah, yakni dengan pembentukan KPK di daerah sebagaimana diamanatkan pasal 19 ayat 2 UU 30/2002. Ketiga, penting untuk menerapakan asas pembuktian terbalik.

Asas pembuktian terbalik merupakan aturan hukum yang mengharuskan seseorang untuk membuktikan kekayaan yang dimiliknya, sebelum menjabat dibandingkan setelah menjabat. Serta dari mana sumber kekayaan itu berasal. Jika kekayaan melonjak drastis dan bersumber dari kas Negara atau sumber lain yang illegal, tentu merupakan tindak pidana korupsi.

Korupsi memang merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), maka  harus ditangani secara luar biasa pula dan tentu dengan melibatkan semua pihak. Karena, langkah-langkah strategis tersebut tidak akan berarti tanpa kerja sama dari semua pihak, terutama aparat penegak hukum untuk menjunjung hukum seadil-adilnya. Agar otonomi daerah dapat menjadi benar-benar bernilai serta menjadi berkah bagi rakyat di daerah.

*Lukman Santoso Az, Peneliti Pada STAIDA Institute; Peserta Program Magister Ilmu Hukum UII Yogyakarta. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun