Baiklah, anggaplah itu pernyataan sebelum Raffi Ahmad dinobatkan sebagai doktor honoris causa dari UIPM. Hingga pada akhirnya UIPM dinyatakan belum memiliki izin operasional di NKRI.
Dengan adanya temuan terbaru Kemendikbudristek ini, maka sangat terbuka kemungkinan gelar yang diberikan pada Raffi Ahmad untuk dicabut. Atas dasar operasional UIPM telah bertentangan dengan hukum positif di Indonesia, yakni Undang-undang Nomor 12 tentang Pendidikan Tinggi.
Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa perguruan tinggi swasta dan lembaga negara lain wajib memperoleh izin dari pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia. "Tanpa izin operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi dari pemerintah, gelar akademik yang diperoleh dari perguruan tinggi asing tersebut tidak dapat diakui," kata Abdul Haris.
Contoh selebritas yang gelar kehormatannya dicabut, yakni penyanyi Sean John Combs alias P. Diddy.Â
Gelar kehormatan dari Howard University yang diterima Diddy pada 2015 dicabut Dewan Kehormatan Howard University, karena kasus kekerasan terhadap mantan pacarnya, Cassie Ventura. Pelantun 'I Need a Girl' itu juga dituduh terlibat dalam pemberian obat bius dan pemerkosaan.
Di Indonesia, Raffi Ahmad memang bukan satu-satunya pesohor yang pernah mendapat gelar doktor honoris causa.
Sebelumnya, ada penyair mendiang WS Rendra yang mendapat gelar doktor kehormatan di bidang kebudayaan pada tahun 2008 dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Sutradara Garin Nugroho juga pada tahun 2022 mendapat gelar doktor honoris causa dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dalam bidang penciptaan seni film.
Namun secara awam tentu kita bisa menilai pencapaian Rendra dan Garin yang menjadikan dua tokoh legenda itu mendapatkan gelar kehormatan. Pun tidak perlu diragukan lagi kredibilitas perguruan tinggi yang memberikan gelar kehormatan tersebut.
Beberapa hari lalu, saya sempat membahas dalam obrolan secara random saat nongkrong dengan kolega saya, soal mengapa Raffi Ahmad bisa diberi gelar doktor kehormatan oleh perguruan tinggi yang kurang jelas kredibilitasnya.
Kawan saya pun berkata bahwa mungkin saja Raffi dimanfaatkan oleh "perguruan tinggi" yang memberinya gelar doktor kehormatan justru untuk meningkatkan kredibilitas lembaga itu sendiri. Dan jika sudah begitu, maka lembaga ini bisa mengutip testimoni (positif) soal kesan Raffi Ahmad atas gelar doktor kehormatan dari lembaga yang memberikan gelar, untuk mengangkat pamor lembaga itu.
Jika itu terjadi, maka terciptalah semacam 'simbiosis mutualisme'. Raffi terangkat prestisenya karena meraih gelar kehormatan, lembaga yang memberikan juga terangkat prestisenya oleh testimoni dan kepopuleran sang penerima gelar.