Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Seni Komedi, Terlihat Mudah Ternyata Susah

27 Februari 2024   15:22 Diperbarui: 1 Maret 2024   18:45 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dari kiri) Kasino, Nasir, Bolot, Malih, Bokir, Indro, dan Dono, Taman Ismail Marzuki 23 April 1983. (Sumber: Kompas/Bre Redana)

Dalam artikel bertajuk "Komedian itu Dewa Kecerdasan" yang diterbitkan di Harian Kompas pada 4 April 1994, personil kelompok Warkop DKI, Wahjoe Sardono alias Dono, mencoba memotret pandangan masyarakat pada dunia seni pertunjukan humor Indonesia di kala itu.

Dono bercerita, suatu ketika Warkop DKI membawakan materi lawakan yang diyakini bisa dipahami oleh penonton yang hadir saat itu:

Alkisah ada seorang tukang koran menjajakan dagangannya dengan berteriak "Waspada...Waspada....Angkatan Bersenjata...Kompas...Kedaulatan Rakyat...!!" Karena teriakan itu, si tukang koran pun dipanggil ke Koramil.

Namun usai pertunjukan, seorang penonton bertanya pada Dono "Mas, lawakan tadi apa maksudnya, ya?".

Dari pertanyaan itu, Dono pun mengerti bahwa masih ada masyarakat yang menganggap humor sebagai pemancing tawa. Sehingga pesan-pesan sosial kemasyarakatan yang ingin ditampilkan dan disampaikan dalam sebuah seni pertunjukan lawak kerap kurang menjadi perhatian hadirin.

Di bagian lain tulisannya. Dono berkisah Warkop DKI pernah membuka 'lowongan' penulis naskah untuk materi komedi yang akan dibawakan kelompok beranggotakan Wahjoe Sardono, Kasino Hadiwibowo, dan Indrodjojo Kusumonegoro ini.

Ternyata sebagian besar naskah yang masuk mayoritas plagiat dan leboh menonjolkan unsur slapstick. Dono menilai naskah seperti ini tidak memancing penonton untuk berfikir pesan yang ingin disampaikan.

Dono pun menilai masih banyak komedian yang memandang naskah hanya sebagai patokan dasar dalam sketsa humor yang ditampilkan. Akibatnya, komedian lebih banyak berimprovisasi di luar naskah.

Dalam artikel lainnya yang juga diterbitkan harian Kompas "Humor Berkelas Adalah Mengkritik", Dono memotret kian kritisnya penonton pertunjukan lawak di era 90-an. Akibatnya lawakan kelompok humor legendaris sekelas Srimulat yang dicitrakan sebagai kelompok lawak tradisional mengalami kejenuhan dari sisi cerita yang ditampilkan pada masa itu.

Masyarakat saat itu menilai lawakan Srimulat tak sesuai dengan era humor kritis dan tidak kekinian.

Opini publik tersebut memang tak bisa disalahkan. Mengingat di era berkembangnya televisi swasta saat itu, acara atau program humor dengan naskah yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman kian bermunculan.

Sejalan dengan perkembangan tersebut, Dono pun menyebut tuntutan masyarakat terhadap pelawan menjadi tinggi. Pelawak dianggap ikut berperan dalam mendidik bangsa.

"Mereka (pelawak) tak hanya harus lucu, melainkan juga mestri cerdas dan kritis terhadap keadaan sosial dan politik di sekitarnya. Pelawak ibarat 'manusia setengah dewa' harus serba bisa. Maka berbanggalah wahai pelawak, anda telah menggantikan peran kaum intelektual," tulis komedian legendaris yang wafat pada 30 Desember 2001 itu.

Apa yang dituliskan Dono soal lawakan intelektual tersebut, boleh jadi memang menggambarkan kelompok Warkop DKI---sebelumnya Warkop Prambors---itu sendiri.

Karena Warkop DKI memang lahir dari komunitas seni mahasiswa di almamater mereka, Universitas Indonesia, dan selalu tampil dengan lawakan intelektual, sesuai dengan sebutan yang kerap disematkan pada kaum mahasiswa, yakini sebagai agent of change.

Sejak munculnya era lawakan yang harus mencerminkan kecerdasan itulah, pentas lawak di era Warkop DKI hingga program lawak masa kini seolah perlu 'meratifikasi' pakem lawakan cerdas, agar bisa memenuhi tuntutan atas kecerdasan pelawak, seperti yang diungkapkan oleh Dono Warkop.

Pun demikian halnya di era tren lawak tunggal, yang kembali muncul saat ini. Setelah sebelumnya era lawak tunggal pernah hadir di masa dekade 1950-an, yang memunculkan sejumlah nama seperti Bing Slamet, Eddy Sud, S Bagyo, dan lain-lain.

Tuntutan kelucuan sekaligus aktualitas dalam materi lawak tunggal yang kini lazim disebut stand up comedy, seolah sudah menjadi tuntutan bagi sang komedian yang terjun dalam ranah stand up comedy.

Karena itu, dalam stand up comedy terdapat prinsip "Don't try to be funny, but tell something funny". Artinya, seorang komika (sebutan untuk seniman stand up comedy) jangan hanya berorientasi pada kelucuan, namun fokus pada seni tutur nan jenaka, dan menjadi nilai lebih jika mampu menghadirkan tutur jenaka nan cerdas.

Bahkan terkadang dalam stand up comedy, peristiwa biasa yang terjadi sehari-hari bisa diolah oleh para komika menjadi sebuah sajian yang mampu menggelakkan tawa.

Selain menambah khasanah dalam dunia komedi, nyatanya stand up comedy justru menambah tingkat kesulitan komedi itu sendiri.

Karena dalam penampilannya, komika umumnya tak perlu menggunakan kostum tertentu untuk sebagai bagian dari penampilannya. Karena memang stand up comedy pada dasarnya lebih merupakan seni bertutur--ketimbang penampilan fisik--yang menghasilkan kelucuan.

Tapi memang pada dasarnya komedi itu sebuah seni yang sulit. Bahkan budayawan sekaligus seniman teater kawakan Butet Kartaredjasa dalam sebuah dialog tentang komedi, menyebut bahwa seni komedi itu satu tingkat di atas teater.

Karena komedi tidak sekedar menghadirkan kata-kata atau dialog yang lucu layaknya dalam percakapan sehari-hari. Lebih dari itu, komedi merupakan seni mengolah sebuah kelucuan agar bisa tersampaikan dengan baik kepada hadirin yang menyaksikan pentas seni komedi itu.

Karena itu, adakalanya seniman komedi gagal 'mengeksekusi' sebuah kelucuan dalam penampilannya di atas pentas. Bahkan tak jarang pula sebuah materi komedi yang disajikan malah berbuntut kontroversi atau polemik di masyarakat, hingga membawa sang komedian berurusan dengan hukum.

Soal gagal mengeksekusi jokes dalam pentas komedi ini, nyatanya juga kerap dirasakan oleh Dono Warkop. Hal ini ditunjukkan beberapa waktu lalu, ketika viral kembali sebuah video lawas yang menggambarkan Dono terkadang merasa insecure dengan kelucuannya sendiri

"Saya kadang-kadang kok bertanya pada diri saya sendiri, apakah saya ini lucu gitu lho, kayaknya nggak gitu ya. Tapi saya berusaha membuat sebuah hiburan yang bisa menghibur orang lain untuk tertawa," ungkap Dono.

"Suka dukanya jadi pelawak itu...Paling suka adalah waktu tanda tangan kontrak. Dukanya, kalau sudah naik di atas panggung 5 menit pertama gak ada yang ketawa. Itu keringat getih, duh derasnya bukan main. Pingin rasanya mengembalikan honor itu, tapi kok ya nggak rela gitu lho," ujar pria kelahiran 30 September 1951 itu.

Jangankan tidak ada yang tertawa. Ketika penonton terlihat tertawa seluruhnya pun, kadang ada pula yang tak memahami humor yang disampaikan oleh komedian, seperti soal humor penjual koran yang ditulis Dono yang dikutip di atas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun