Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setelah Mimbar Akademik, Lalu Apa?

5 Februari 2024   05:07 Diperbarui: 5 Februari 2024   06:10 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembacaan pernyataan Petisi Bulaksumur. (Sumber foto: Kompas.id)

Ada salah seorang kawan yang menulis kurang lebih seperti ini di beranda media sosialnya.

"Kok baru sekarang para akademisi itu membuat pernyataan? Di saat menjelang Pemilu, ketika semua gerakan dan tindakan rawan dipolitisasi oleh kubu tertentu."

"Cuma pernyataan segelintir akademisi saja kan bukan pernyataan resmi dari institusi kampus. Kalau pernyataan dari kampus kan pakai kop surat dan ditandatangani oleh pimpinan kampus bersangkutan."

Hmmm....oke. Silakan. Bebas bersuara. Ini negeri demokrasi yang menerima perbedaan opini.

Meski rasanya gatal tangan ini ingin menulis komentar di kolom komentar media sosial kawan saya itu. Tapi ketika saya menelusuri dan menemukan bukti bahwa ia berada di kubu pendukung Kanjeng Gusti Pangeran Gibran Rakabuming Raka, saya urungkan keinginan saya untuk berkomentar yang berpotensi membawa pada perdebatan.

Karena ada kata-kata bijak yang mengatakan Berdebat di medsos ibarat menguras air laut. Capek iya, berhasil tidak.

Alih-alih meneruskan hasrat berdebat, saya malah mencermati efek domino dan efek bola salju dari pernyataan aspirasi para akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang disuarakan melalui Petisi Bulaksumur yang dibacakan di Balairung UGM pada 31 Januari lalu.

Petisi Bulaksumur yang ditujukan pada Presiden Joko Widodo itu, menyoroti penyimpangan demokrasi yang dilakukan oleh pemerintahan yang notabene dipimpin juga oleh alumni UGM itu.

Dalam petisi tersebut, ada sejumlah poin yang menjadi catatan. Antara lain pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK), keterlibatan penegak hukum dalam proses demokrasi, hingga pernyataan Presiden Jokowi tentang dibolehkannya pejabat publik berkampanye karena pejabat publik disebut juga merupakan pejabat politik.

Sampai dengan 4 Februari lalu, tercatat setidaknya 30 perguruan tinggi dan lembaga non pendidikan yang menggelar mimbar akademik terkait penyelenggaraan Pemilu 2024.

Mulai dari UGM, Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Padjadjaran (Unpad), hingga Universitas Airlangga (Unair). Bahkan Persatuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) pun turut ambil bagian dalam mimbar akademik ini.

Mimbar akademik bukanlah sesuatu yang ilegal. Pernyataan aspirasi semacam ini memiliki dasar hukum, yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Pasal 8 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2012 menyatakan: Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.

Kemudian, dalam pasal 9 ayat 1 dan ayat 2 disebutkan:

(1) Kebebasan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kebebasan Sivitas Akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.

(2) Kebebasan mimbar akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan wewenang profesor dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya.

Jadi, jelaslah bahwa meskipun tidak harus berbentuk dalam sebuah surat pernyataan yang ditandatangani oleh pimpinan lembaga pendidikan apalagi harus menggunakan stempel, namun mimbar akademik tetap sah untuk disebut sebagai pernyataan sebuah lembaga pendidikan. Jika dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun yang dikritik, nampaknya masih adem ayem saja dalam menghadapi kritikan dari 30 lembaga yang menyuarakan mimbar akademik terkait Pemilu 2024. Suara-suara yang mengkritisi rangkaian pelaksanaan Pemilu (khususnya Pilpres) 2024 dijawab oleh istana dengan jawaban normatif mimbar akademik merupakan hak demokrasi.

"Itu (mimbar akademik) hak demokrasi ya," kata Jokowi dalam sebuah kesempatan.

"Bapak Presiden juga telah menegaskan freedom of speech adalah hak demokrasi," ujar Koordinator Stafsus Presiden Ari Dwipayana kepada wartawan, 2 Februari lalu.

Baiklah, dengan tanggapan yang datar dan normatif seperti ini, Jokowi sebagai presiden tentu sudah mencermati dan menerima masukan dari lingkaran terdekatnya secara seksama bahwa suara-suara mimbar akademik ini masih dalam batas-batas yang ditoleransi.

Artinya, suara-suara protes terhadap manuver yang dilakukan Jokowi beserta para menterinya, yang dilantangkan oleh 30 lembaga itu, tidak akan sampai membahayakan posisinya sebagai pucuk pimpinan negeri. Jokowi tentu saat ini telah mengukur gelombang protes itu tidak akan membesar hingga menjadi sebuah konflik horisontal yang membawa implikasi mengerikan, seperti yang terjadi pada tahun 1998 lalu.

Hanya saja, potensi membesarnya 'bola salju' mimbar akademik juga masih sangat terbuka. Bukan tidak mungkin jumlah lembaga pendidikan dan non pendidikan yang akan menyuarakan aspirasi melalui mimbar akademik akan bertambah ke depannya.

Itu sangat mungkin terjadi, jika Jokowi kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait Pemilu atau Pilpres 2024.

Seperti diketahui, suara para akademisi muncul dan mengemuka usai Jokowi menyatakan presiden dan wakil presiden serta para menteri mempunyai hak untuk berkampanye. Jokowi pun menyebut hak kampanye presiden telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang notabene disahkan oleh Jokowi sendiri pada 15 Agustus 2017 lalu.

"Itu yang saya sampaikan. Ketentuan mengenai UU Pemilu. Jangan ditarik kemana-mana," ujar ayah cawapres nomor urut 2 ini.

Namun nyatanya pernyataan soal dibolehkannya presiden, wakil presiden, serta menteri untuk berkampanye inilah, yang kemudian memicu keprihatinan para akademisi, yang kemudian dituangkan dalam mimbar akademik yang bermula dari UGM kemudian diikuti oleh kampus-kampus lainnya.

Nah, setelah mimbar akademik mengemuka, yang ditunjukkan oleh partisipasi 30 lembaga pendidikan dan non pendidikan ini, maka langkah selanjutnya dari para sivitas akademika yang dituangkan melalui mimbar akademik ini pun tentu patut dinanti.

Apakah mimbar akademik hanya berakhir dengan pernyataan sikap dari para akademisi semata, lalu setelah itu tidak ada konsistensi dalam perlawanan terhadap sesuatu yang mereka anggap menyimpang dari nilai-nilai intelektualitas dan etika dalam bernegara?

Menarik untuk dicermati.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun