Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Debat Pilpres Tanpa Penonton Langsung, Mengapa Tidak?

27 Januari 2024   13:21 Diperbarui: 27 Januari 2024   14:05 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Kompas.id/Hendra A Setyawan.

Sebagai bagian dari seluruh rangkaian gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, pada 4 Februari mendatang akan dilaksanakan debat oleh KPU, yang kembali akan mempertemukan tiga calon presiden peserta Pilpres 2024, yakni Anies Baswedan, Prabowo Subianto, serta Ganjar Pranowo.

Yang menarik, menjelang debat yang kelima, atau menjadi penutup dalam rangkaian debat capres dan cawapres ini, juga diiringi dengan isu debat yang membahas 8 tema utama ini akan digelar tanpa kehadiran penonton.

Adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menyebut perilaku para pendukung capres dan cawapres selama berlangsungnya empat kali debat sebelumnya, menjadi catatan serius.

Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, seperti dikutip Kompas.com pada 24 Januari lalu mengatakan, polah tingkah para pendukung kandidat yang hadir langsung di lokasi selama berlangsungnya debat sudah dalam tahap mengganggu kondusivitas acara debat.

"Catatannya noise. Suporternya terlalu noise, bahkan cenderung mengganggu," ujar Rahmat Bagja.

Salah satu pelanggaran yang selalu berulang pada setiap penyelenggaraan debat capres maupun cawapres, yang juga menjadi perhatian khusus Bawaslu, adalah terkait perilaku penonton yang meneriakkan yel-yel dukungan. Menurut aturan, para suporter diberikan waktu untuk meneriakkan yel-yel jelang jeda iklan ketika suatu segmen berakhir.

Namun yang terjadi, sejak debat pertama hingga keempat, para suporter selalu meneriakkan yel-yel setelah jagoannya masing-masing selesai bicara, hingga harus berulang kali ditertibkan oleh moderator.

Menurut Bagja, hal ini seharusnya menjadi evaluasi menjelang debat kelima mendatang.

Tak hanya yel-yel, Bagja juga menyoroti tingkah sejumlah suporter yang berkomentar ketika lawan debat kandidat yang didukungnya sedang berbicara.

"Yang kita pengin kan perdebatannya, bukan sahut-menyahut suporter. Itu di rapat umum sajalah kalau begitu, bukan di debat," ujar Bagja. Karena itulah, Bawaslu sempat mengapungkan usulan agar debat kelima diselenggarakan tanpa kehadiran penonton atau pendukung kandidat capres-cawapres.

Namun usulan tersebut seolah bertepuk sebelah tangan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 25 Januari lalu menyatakan debat kelima Pilpres 2024 tetap dilaksanakan denga kehadiran penonton.

Dalam hal ini, tiap paslon peserta Pilpres diperkenankan menghadirkan 75 orang tim sukses untuk berada satu lokasi dengan capres dan cawapres yang menjadi peserta debat.

Soal kehadiran penonton langsung, yang notabene merupakan tim sukses kandidat presiden maupun kandidat wakil presiden peserta debat, memang menjadi perbincangan tersendiri dalam rangkaian debat capres cawapres kali ini.

Walaupun perbincangan ini sebenarnya muncul juga dalam debat-debat capres cawapres terdahulu, alias bukan sesuatu yang baru. Karena pelanggaran yang dilakukan pun cenderung memiliki kesamaan, terutama yang terkait yel-yel dukungan serta suara-suara yang tadi diistilahkan oleh Bawaslu mengganggu kondusivitas acara debat.

Pembahasan soal penonton pada debat Pilpres 2024 ini, menurut catatan saya pribadi, sudah dimulai pada debat pertama. Yakni pada saat cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka yang saat itu ikut bertindak sebagai penonton, menunjukkan gestur mengajak pendukungnya untuk bersorak menyuarakan dukungan.

Namun karena tidak ada sanksi tegas apalagi hingga membuat efek jera dari penyenggara debat, aksi yang nyaris serupa kembali dilakukan oleh putra sulung Presiden Joko Widodo ini dalam debat keempat yang mempertemukan para kandidat wakil presiden.

Baiklah, saya tak akan membahas lebih jauh soal perilaku pria yang kini masih menjadi wali kota Solo ini.

Hal lain yang menyangkut kehadiran penonton dalam rangkaian debat Pilpres 2024 ini, yakni ketika dua petinggi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menghampiri pasangan moderator pada saat jeda iklan siaran langsung debat ketiga yang diselenggarakan pada 7 Januari lalu.

Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie dan Anggota Dewan Pembina PSI Isyana Bagoes Oka, terlihat mendatangi meja moderator dan sempat berdialog dengan pasangan moderator Ariyo Ardhi dan Anisha Dasuki.

Dan seperti halnya pelanggaran yang dilakukan Gibran. KPU pun tak menjatuhkan sanksi berat atas pelanggaran yang dilakukan dua mantan pembawa acara berita televisi nasional ini. Lembaga pimpinan Hasyim Asy'ari itu secara diplomatis hanya menyatakan tindakan Grace dan Isyana sebagai pelanggaran, dan menjadi bahan evaluasi.

Grace saat itu berkilah, tindakannya mendatangi moderator debat pada jeda segmen 2 dan segmen 3, karena merasa keberatan terhadap perilaku penonton pendukung kandidat yang mengacungkan gestur nomror urut, saat kandidat presidennya, Prabowo Subianto tengah berbicara.

Ngomong-ngomong soal sanksi atas tindakan pelanggaran, sepertinya KPU memang alih-alih menjatuhkan sanksi berat terhadap paslon maupun tim sukses yang melanggar lebih berharap semua yang hadir dalam debat Pilpres 2024 lebih sadar akan kedisiplinan menaati peraturan yang telah disepakati.

"KPU akan mendengarkan dan kemudian akan mengambil keputusan apa-apa yang perlu kita evaluasi, termasuk memperingatkan kembali tampilan-tampilan yang boleh dikatakan sudah disepakati untuk tidak dilakukan pada saat debat ini,"

"Sebetulnya ini kan komitmen ya, komitmen antar calon dan kami menganggap masing-masing calon kan orang yang secara politik sudah dewasa semua tentang apa yang sudah disepakati itu," ungkap Hasyim seperti dikutip Kompas.com.

Baiklah. Saya malah jadi mencoba merasakan apa yang dihadapi oleh para moderator, saat berulangkali menenangkan para pendukung paslon yang hadir langsung di arena debat Pilpres.

Soal ini, kawan saya bilang "Kasihan juga ya para moderator itu kalau harus disibukkan berulang kali menyuruh para pendukung peserta debat untuk diam, padahal tugas utama mereka bukan seperti itu,".

Saya pun menjawab. "Ya bagaimana ya? Namanya juga budaya suporter di Indonesia seperti itu. Coba saja kamu lihat di stadion lalu ada prosesi One Minute Silence, pasti penontonnya tetap ribut, beda sama di Eropa yang langsung hening satu stadion,".

Saya dan kawan saya itu pun lantas melanjutkan pembicaraan seandainya debat capres di Indonesia bisa digelar dengan jumlah penonton yang lebih sedikit, atau bahkan tanpa penonton sama sekali.

Kami mengacu pada penyelenggaraan debat Pilpres di Amerika Serikat, yang ditayangkan di televisi dari dalam ruangan yang lebih kecil daripada venue debat Pillpres di Indonesia, dan menghadirkan penonton yang lebih sedikit dibanding penonton debat yang merangkap tim sukses paslon.

Debat Capres Amerika Serikat 2016. (Sumber: tangkapan layar CNBC)
Debat Capres Amerika Serikat 2016. (Sumber: tangkapan layar CNBC)
Tapi ya begitulah. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Lain di Amerika Serikat lain pula di Indonesia.

Mungkin memang kehadiran tim sukses satu frame dengan paslon yang didukungnya menjadi bagian dari budaya lokal masyarakat Indonesia, yang doyan berkumpul untuk sebuah kebanggaan.

Budaya inilah yang mungkin coba dikedepankan oleh KPU selaku penyelenggara debat. Dalam artian, paslon dengan tim sukses yang mengiringinya dilihat sebagai satu kesatuan.

Ibarat dalam pertandingan sepak bola, jika hanya ada tim sepak bola yang bertanding tanpa kehadiran pendukunya menjadi bagaikan sayur kurang garam. Meski kehadiran pendukung tersebut tentu bukannya tanpa risiko, termasuk risiko pelanggaran terhadap aturan seperti yang kita saksikan dalam rangkaian debat Pilpres tahun ini.

Tentu apa-apa saja yang terjadi selama dalam rangkaian debat Pilpres tahun ini, bisa menjadi bahan evaluasi untuk penyelenggaraan debat yang serupa di tahun 2029 mendatang.

Misalnya, dalam hal kehadiran pendukung kandidat. Bisa saja kandidat tetap hadir satu lokasi dengan lokasi debat, namun di ruangan yang berbeda dengan ruangan tempat para capres atau cawapres yang berdebat.

Dengan demikian, para capres dan cawapres bisa leluasa dan fokus untuk menyampaikan visi dan misi serta tanggapan terhadap visi misi dan program kompetitornya. Tanpa harus terdistraksi oleh tindak-tanduk para pendukung yang hadir di ruangan yang sama.

Nah, sebagai selingan dalam debat Pilpres tersebut, bisa saja ada sesi atau segmen para pentolan tim sukses paslon dihadirkan untuk berdebat, di dalam satu ruangan dengan tim sukses yang hadir.

Jadi, masyarakat yang menyaksikan pun selain bisa menilai kompetensi paslon juga bisa mengukur kualitas para anggota tim sukses yang ada di belakang mereka.

Di atas semua itu, dengan penyelenggaraan debat yang memisahkan spot debat kandidat dengan spot para pendukung paslon, maka akan bisa memfasilitasi kehadirkan pendukung namun tetap bisa menekan terjadinya pelanggaran yang berulang, seperti yang di atas telah disebutkan oleh Bawaslu.

       

     

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun