Suatu malam, saya makan di sebuah warung tenda di sebuah wilayah pinggiran Kota Bogor, Jawa Barat. Ketika akan memarkir sepeda motor di pinggir jalan dekat warung tenda tersebut, seorang pria paruh baya dengan gestur tangan mengarahkan saya untuk memarkirkan sepeda motor di dekat tempatnya berdiri.Ia pun meniup peluit setelah saya memarkirkan kendaraan dalam posisi yang benar sesuai denagn arahannya.
Usai makan di warung tenda tersebut, layaknya S.O.P seorang tukang parkir jalanan pada umumnya, pria paruh baya tadi membantu saya untuk bisa kembali melanjutkan perjalanan. Tak lupa, saya pun memberikan padanya selembar uang Rp2.000 sebagai imbalan atas apa yang dilakukannya sebelum, selama, dan sesudah saya makan.
Yang saya perhatikan adalah, si pria paruh baya ini mengenakan jaket sebuah ormas dengan motif loreng-loreng. Jaket yang dikenakannya juga menunjukkan nama dirinya serta nama ormasnya itu. Â
Dan hampir setiap hari saya melewati warung tenda itu, meskipun tidak untuk singgah, namun selalu melihat si bapak tukang parkir 'bekerja'. Dan saat bekerja itulah, selalu ia menggunakan jaket ormas yang sama seperti pertama kali saya melihatnya di situ.
Baiklah, penafsiran common sense saya, jaket ormas yang dikenakan pria tersebut, adalah semacam 'seragam kerja'nya saat menjadi tukang parkir. Jadi bisa dikatakan, bapak itu sebagai representatif ormas yang menjadi "pengelola" parkir kendaraan pengunjung warung tenda itu. Â
Perihal ormas yang menjadi pengelola parkir di pinggir jalan ini, nampaknya sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, khususnya di kawasan perkotaan. Â
Dan tidak di warung tenda itu saja saya melihat tukang parkirnya berseragam ormas. Saya pun pernah melihat tukang parkir berseragam ormas di beberapa minimarket waralaba.
Dan jika berbicara soal pengelolaan parkir oleh ormas ini, tidak sekali dua kali saya membaca atau menyaksikan pemberitaan gesekan antar ormas akibat berebut lahan parkir. Bahkan pernah ada pula berita sekelompok anggota ormas menggeruduk sebuah tempat usaha, untuk diperbolehkan mengelola parkir di tempat usaha itu.
Seperti yang terjadi pada akhir September 2023 lalu, di Medan, Sumatera Utara. Sekelompok anggota ormas mendatangi sebuah gerai Mie Gacoan di Jalan Sisingamangaraja, Medan. Dan meminta agar ormas itu diizinkan mengelola parkir di gerai tersebut.
Sebagai buntut tindakan yang mengarah pada pemaksaan itu, Polrestabes Medan pada akhir Oktober 2023 menetapkan dua orang anggota ormas terkait atas tindak pidana pemaksaan, dalam hal ini Pasal 335 ayat 1 KUHP. Â
Adapun salah satu tersangka berinsial O, merupakan residivis atas kasus yang sama. Boleh jadi, ini menunjukkan bahwa pemaksaan pengelolaan parkir oleh ormas, bukanlah hal yang pertama kali terjadi di Medan, dan juga di kota-kota lain di Indonesia
Sejumlah media arus utama, pernah membahas soal pengelolaan parkir oleh ormas di gerai-gerai minimarket waralaba. Pembahasan seperti ini menjadi menarik, mengingat manajemen perusahaan pengelola gerai minimarket itu sebenarnya menerapkan kebijakan parkir gratis kepada pelanggannya.
Seperti diwartakan Kompas.com ada 17 Desember 2021, salah seorang pengunjung gerai Alfamart di wilayah Kemayoran, Jakarta Pusat, membayar uang parkir sebesar Rp2.000 dengan pecahan uang logam Rp.200. Tak terima dibayar dengan uang receh, si tukang parkir memaki si pengunjung yang notabene seorang perempuan, dengan kata-kata kasar dan kurang pantas.
Si tukang parkir (liar) inipun diamankan polisi. Dan dalam pemeriksaan, ia mengaku uang hasil parkir yang dikumpulkannya secara rutin disetorkan pula kepada ormas di wilayah setempat.
Budi Santoso, Regional Corporate Communication Manager PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk pada saat itu menyebut, sebenarnya gerai minimarket yang dikelolanya, yakni Alfamart dan Alfamidi, sebenarnya biaya parkir untuk pelanggan.
Namun Budi pun mengakui sulit untuk merealisasikan sepenuhnya kebijakan parkir gratis itu. Karena juru parkir liar yang berada di luar kontrol perusahaannya. Ia pun membenarkan bahwa pengelola parkir yang selama ini mengutip uang parkir di gerai Alfamart dan Alfamidi, berasal dari masyarakat atau ormas setempat.
Saya berprasangka baik, manajemen tempat usaha sebenarnya juga tak ingin kenyamanan dan kepuasan pelanggan sedikit terganggu dengan keberadaan tukang parkir representatif ormas setempat. Namun tentu mengusir tukang parkir utusan ormas ini tak semudah membalikkan telapak tangan.
Dalam kasus di medan yang saya sebutkan tadi, Manajer Legal Mie Gacoan Region III Romy Tampubolon, seperti dikutip Detik.com mengaku resah dan prihatin dengan pemaksaan ormas setempat untuk mengelola parkir di unit usaha perusahaannya itu. Â
Ia pun mengaku sempat diadakan mediasi antara pihak Mie Gacoan, pemerintah, TNI, Polri dan ormas. Namun Ronny mengeluhkan oknum ormas setempat tetap ngotot ingin mengelola parkir dengan alasan anggotanya perlu makan.
Baiklah, mungkin Anda pun berpendapat ormas tersebut sebenarnya meresahkan warga dan pelaku usaha, dengan pemaksaan atas lahan parkir itu. Mungkin Anda pun berpikir ormas seperti itu harusnya dibubarkan saja ketimbang terus-menerus meresahkan.
Akan tetapi, saya jadi teringat dengan kelakar salah seorang kawan saya:
"Ya bagaimana mau dibubarkan? Lha wong pentolan ormas itu sekarang jadi pimpinan lembaga tinggi negara," ujar kawan saya beretorika. Â
Anda tentu tahu ormas apa yang dimaksud dan siapa pimpinan lembaga yang dimaksud kawan saya ini, tanpa menyebut nama ormasnya. Â
Tapi apakah pentolan ormas yang menjadi petinggi negeri itu pun tahu kelakuan oknum anggota ormasnya di lapangan yang memaksa untuk mengelola lahan parkir? Entahlah.
Sementara itu, belakangan ini pembicaraan soal legalisasi parkir liar kembali mengemuka. Termasuk di Jakarta. Â
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan sedang mengkaji rencana melegalkan sejumlah titik parkir di ibu kota. Pelegalan parkir di sejumlah lokasi yang selama ini dianggap legal dan terlarang, diharapkan juga mampu menambah pendapatan asli daerah.
Akan tetapi, dengan kondisi perparkiran (liar) saat ini yang mayoritas dikelola oleh ormas dan warga setempat, tentu ini juga harus menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengambil alih pengelolaan parkir tersebut. Â
Karena bukan tak mungkin, ketika keputusan pengambilalihan parkir tersebut sudah diterbitkan, resistensi dari kelompok akamsi dan ormas akan sangat kuat. Karena mereka akan merasa 'pundi-pundi' uangnya dari pendapatan jasa parkir akan direbut oleh pemerintah.
Bagaimanakah negara menghadapi resistensi tersebut? Mari kita tunggu perkembangannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H