Kericuhan terjadi pada pertandingan yang mempertemukan tuan rumah Gresik United dengan Deltras FC, di Stadion Gelora Joko Samudro, Gresik Jawa Timur pada Minggu 19 November 2023. Lebih memprihatinkan lagi, kericuhan ini juga diwarnai tembakan gas air mata oleh aparat.
Dalam sebuah unggahan video amatir, yang kemudian juga diunggah ulang oleh sejumlah media arus utama, nampak seorang aparat kepolisian -- yang disorot kamera dari arah belakang -- mengokang pelontar gas air mata. Sejumlah orang berkostum suporter di sekitarnya terlihat berupaya mencegah agar polisi ini tak menembakkan gas air mata.
Namun gas air mata itu pun tetap ditembakkan oleh sang aparat keamanan. Penembakan itu pun dilabeli 'viral' oleh sejumlah media arus utama. Â
Penembakan gas air mata yang coba dicegah oleh suporter ini pun, seolah menjadi ulangan atas peristiwa di Stadion Kanjuruhan. Saat itu pun sempat beredar sebuah video amatir yang menggambarkan suporter meminta aparat untuk tidak menembakkan gas air mata, namun tak dihiraukan.
Salah seorang kawan saya Aremania mengatakan, penembakan gas air mata di Kanjuruhan terjadi sekitar 5 menit setelah pertandingan usai, di saat situasi mulai kondusif pasca terjadinya pitch invasion suporter akibat kekalahan tuan rumah Arema FC dari Persebaya Surabaya kala itu.
Akibatnya, terjadilah kekacauan yang baru, dimana kebanyakan korban jiwa yang jatuh adalah yang berdesakan dalam upaya menyelamatkan diri dari dampak penembakan gas air mata. Meski di kemudian hari, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang menyidangkan para pesakitan Tragedi Kanjuruhan menyatakan, gas air mata yang ditembakkan anggota Samapta Polri saat itu tidak pernah sampai di tribun karena sudah lebih dulu terkena arus angin. Â
Baiklah, apapun itu, nampaknya memang kita hanya sedikit mengambil pelajaran dari rangkaian kejadian dalam Tragedi Kanjuruhan yang terjadi setahun silam. Â
Entah, mungkin karena usai Tragedi Kanjuruhan Indonesia tidak mendapat sanksi berat dari FIFA, dan justru ditunjuk jadi tuan rumah Piala Dunia U-17. Entah mungkin karena sidang pengadilannya hanya berakhir dengan vonis yang relatif ringan, lalu suporter yang melakukan pitch invasion dan menjadi pemicu awal kericuhan tidak turut dijadikan tersangka (sesuai rekomendasi TGIPF), serta sejumlah ironisme lainnya.
Jadilah Tragedi Kanjuruhan oleh sebagian kalangan, termasuk suporter dan aparat keamanan saat ini, hanya dianggap angin lalu. Hanya sekedar sebuah peristiwa kelam biasa dalam perjalanan sepak bola Indonesia. Â
Ironisnya, kericuhan yang terjadi kemarin, pecah justru saat Indonesia tengah menyelenggarakan Piala Dunia U-17, yang notabene merupakan wujud kepercayaan FIFA kepada Indonesia untuk menyelenggarakan pertandingan sepak bola yang aman dan nyaman bagi siapapun. Â
Dan lokasi kericuhan tersebut, yakni Stadion Joko Samudro, berada di wilayah yang bertetangga dengan salah satu venue turnamen ini, yakni Stadion Gelora Bung Tomo. Â
Baiklah, soal penembakan gas air mata oleh polisi dalam kericuhan di Stadion Gelora Joko Samudro kemarin, untuk sementara ini biarlah kita serahkan pada mekanisme pemeriksaan yang berlaku di Polri. Normatif sesuai dengan pernyataan para pejabat kepolisian yang dikonfirmasi oleh sejumlah pewarta usai kejadian.
Namun persoalan suporter klub sepak bola Indonesia dengan segala tindakan negatifnya, memang masih menjadi pekerjaan rumah tersendiri dalam persepakbolaan Indonesia, khususnya pasca Tragedi Kanjuruhan. Â
Sejumlah upaya memang telah dilakukan oleh PSSI dan juga operator Liga untuk menekan potensi kericuhan. Seperti larangan suporter tamu untuk melakukan tandang alias away ke stadion lawan.
Namun kenyataannya di lapangan, masih banyak suporter klub yang 'curi-curi' away. Dan ironisnya diperbolehkan untuk masuk ke dalam stadion. Â
Seperti dalam pertandingan Persebaya Surabaya melawan Persib Bandung pada 7 Oktober 2023 lalu di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya. Tampak dalam tribun sejumlah penonton yang mengenakan atribut suporter Persib Bandung.
Akibatnya, Persib pun harus menerima sanksi dari Komisi Disiplin PSSI berupa denda sebesar Rp25 juta. Â
Sebelumnya, Persib juga mendapat sanksi denda masing-masing Rp25 juta usai laga tandang melawan Persik di Stadion Brawijaya Kediri, lawan Persis di Stadion Manahan (8 Agustus 2023) dan lawan PSIS di Stadion Jatidiri Semarang. Penyebabnya ya sama. Kehadiran suporter di markas lawan.
Sejenak, saya pun mengingat momen saat Azrul Ananda menyatakan pengunduran dirinya sebagai Presiden Klub Persebaya, pada 16 September 2022 silam. Saat itu, Azrul curhat soal masa depan sepak bola Indonesia jika perilaku negatif suporter Indonesia masih juga membayangi.
"Dengan kondisi liga kita, dengan situasi kondisi masyarakat kita, dengan situasi kondisi perkembangan sepak bola kita, jangan-jangan semakin sulit bagi klub-klub yang punya sejarah panjang, punya basis suporter besar, untuk berkembang. Karena terbebani oleh suporternya dan masa lalunya. Â
Sehingga kelak, klub-klub yang justru eksis di indonesia ini adalah justru klub-klub yang tidak punya basis, yang tidak punya kota. Yang kemudian kelak karena dia tidak punya tanggungan dan lain-lain, dia bisa memulai dan menjalaninya dengan lebih tenang dan lebih maju."
Meski tak secara langsung menyebut klub apa yang dimaksud, namun tentu tak salah jika banyak yang menafsirkan pernyataan Azrul itu justru menggambarkan Persebaya itu sendiri. Â
Karena sehari sebelum Azrul menyatakan mundur, Persebaya dikalahkan klub 'kemarin sore' RANS Nusantara FC dengan skor 1-2, yang berujung pitch invasion suporter dan berimbas hancurnya sejumlah sarana di Stadion Gelora Delta Sidoarjo yang menjadi venue pertandingan antara klub legendaris dan klub 'kemarin sore' itu.
Saya pun mencoba mengkaitkan kalimat terakhir Azrul itu dengan kiprah Bhayangkara Presisi Indonesia FC pada musim ini. Dimana sampai dengan pekan ke-19, klub milik Polri itu masih berada di dasar klasemen.
Dan meski menjadi juru kunci, namun klub yang hampir selalu berpindah markas di setiap musim kompetisi ini cenderung selow, meski pada putaran kedua Liga 1 ini, Bhayangkara Presisi Indonesia FC langsung jor-joran mendatangkan pemain dan pelatih baru, baik yang didatangkan memalui metode transfer maupun peminjaman. Â
Termasuk menarik kembali I Putu Gede Juni Antara dari Persib dengan memakai surat perintah kepada anggota Polri. Hal yang tak lazim ditemukan dalam konteks olah raga profesional.
Dan meski mencatatkan prestasi yang buruk musim ini, nyaris tak ada aksi protes sama sekali dari pendukung Bhayangkara FC, terkait posisinya yang berada di dasar jurang. Lha mau ada unjuk rasa suporter bagaimana? Wong basis pendukung yang kuat saja mereka tak punya.
Tentu akan beda cerita kalau yang di dasar klasemen itu adalah Persebaya, Persija, atau Persib misalnya . Waah, bisa-bisa akan ada aksi demonstrasi 'berjilid-jilid' oleh suporter, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Demikianlah fenomena suporter di Indonesia. Di satu sisi ia menjadi pendukung klub. Namun ironisnya di sisi lain malah berpotensi membebani klub. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H