Ada kawan saya yang kini fokus mengurus anak dan rumah tangga sembari berkegiatan melalui media sosial sebagai kreator konten. Beberapa konten videonya pun berisi tentang keseharian kehidupan rumah tangganya, baik bersama buah hati maupun bersama sang suami.
Salah satu videonya bersama suami menceritakan tentang dirinya  yang ingin memberi kejutan untuk sang belahan jiwa di sebuah momen yang spesial untuknya. Akan tetapi video itu digambarkan sang suami cenderung cuek, dan ekspresinya cenderung datar menerima kejutan yang disuguhkan istrinya.
Dan ketika saya membaca beberapa komentar unggahan video tersebut, beberapa followers kawan saya ini berkomentar setengah curhat soal sifat suami mereka yang kurang lebih sama, cenderung menunjukkan ekspresi 'lempeng' saat diberi kejutan atau hadiah oleh sang istri.
Lain waktu ia pun mengunggah video yang menceritakan kekecewaannya, karena sang suami terkesan tak memenuhi sebuah janji yang diucapkan kepada istrinya, untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
Ada followers perempuan yang berkomentar jika itu terjadi pada dirinya, maka lebih baik dirinya saja yang mengerjakan pekerjaan itu, ketimbang menunggu suami memenuhi janjinya. Ada pula yang berkomentar bercanda setengah sarkas, kalau suami berjanji seperti itu, tak usah dipercaya karena hampir pasti tak dipenuhi.
Nah, lini masa di media sosial saya dalam 3 hari belakangan menampilkan sejumlah warta dari media online tentang seorang perempuan yang viral, usai dirinya curhat dalam sebuah majelis taklim yang menghadirkan seorang dai kondang. Â
Intinya, si perempuan ini curhat kepada sang dai tentang kesedihannya usai ditalak oleh suaminya. Ia bertanya beberapa hal terkait rumah tangganya yang kandas, termasuk apakah suami yang menceraikan istri demi ibunya juga akan mendapatkan balasan surga.
Unggahan video viral itu ternyata berbuntut panjang. Sejumlah berita di media daring mainstream dan media sosial menyebut sang mantan suami merasa tersudut oleh pernyataan mantan istrinya dalam video yang sudah terlanjur beredar luas dan viral itu.
Beberapa video di media sosial menyebut sang mantan suami meminta mantan istrinya itu memberi klarifikasi pada publik, dan mengklaim  apa yang diceritakan dalam majlis taklim itu tak seluruhnya benar. Ia pun menyindir para warganet yang berpersepsi masing-masing atas masalah yang menyebabkan karam biduk rumah tangganya itu.
Pada dasarnya,sepasang suami dan istri kerap diibaratkan sebagai pakaian. Filosofi pakaian di sini adalah sesuatu yang paling dekat dengan tubuh kita.
Dengan kedekatannya itu, pakaian dapat 'memandang' kulit tubuh kita secara utuh. Sama halnya dengan pasangan hidup yang menjadi satu-satunya manusia paling berhak untuk memandang tubuh kita sebagai aurat, tanpa ada penghalang apapun.
Tubuh membutuhkan pakaian sebagai penanda kehormatan. Demikian pula pakaian membutuhkan tubuh sebagai penanda fungsinya sebagai pakaian. Karena itu, suami membutuhkan keberadaan istri demikian pula istri membutuhkan keberadaan suami.
Pakaian pula yang menjadi pelindung  bagi tubuh. Pakaian juga dapat menutupi kekurangan yang ada dalam tubuh kita.
Maka seperti itu pulalah fungsi pasangan hidup. Sebagai pelindung yang memberi rasa tenang pada pasangannya, juga sebagai penutup atas kekurangan yang ada pada pasangannya.
Karena itu, tentunya sebagai masyarakat yang juga hidup dalam norma kesopanan, sepertinya memang kurang etis jika seorang suami atau istri, secara gamblang menceritakan kekurangan pasangan hidupnya di ruang publik, termasuk di media sosial. Â
Meskipun katakanlah, suami atau istri menerima saja pasangannya mengumbar sifat buruk suami atau istri di media sosial, namun seperti kita tahu media sosial ibarat pisau bermata dua yang bisa jadi justru memberi dampak negatif.
Salah satu bahaya laten yang tak disadari dari mengunggah kebiasaan atau sifat buruk pasang di media sosial, adalah hujatan dari dunia maya kepada pasangan yang dinilai memiliki sifat buruk.
Jikalau pasangan memang punya kekurangan, tentu akan lebih baik dibicarakan langsung agar bisa segera didapatkan solusi atau bagaimana cara menghilangkan kebiasaan buruk itu, tanpa harus dibumbui dengan cerita ke media sosial.
Di sisi lain, kehidupan rumah tangga sepasang suami istri memang semestinya bertahan hingga akhir kehidupan salah satunya. Namun lika-liku perjalanan biduk rumah tangga tentu tak sama pada setiap manusia, demikian pula dengan kisah akhirnya.
Ada yang berhasil melalui perjalanan itu hingga terpisahkan oleh maut. Namun ada pula yang karena satu atau banyak hal, harus menerima kenyataan kandas dalam perjalanan.
Jika memang perpisahan harus terjadi, maka salah satu hal yang penting untuk dilakukan adalah tetap saling menutupi kekurangan mantan pasangan hidup.
Terkecuali bila kekurangan itu harus diceritakan kepada pihak ketiga yang dianggap netral dan bisa memberi saran yang seobjektif mungkin atas kehancuran rumah tangga. Misalnya kepada psikolog atau konsultan pernikahan.
Dan yang harus diperhatikan juga adalah konsultasi itu hendaknya dilakukan dalam sebuah forum yang sebisa mungkin tertutup, bukan dalam sebuah forum terbuka yang menghadirkan banyak orang.
Baiklah, semoga saja masalah antara sepasang mantan suami istri yang viral ini dapat lekas selesai, dan tak berlarut-larut. Karena meski mereka telah berpisah, namun hak anak untuk mendapatkan orang tua yang tetap kompak dan sejalan dalam pengasuhan, tetap harus diutamakan dan dikedepankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H