Beberapa tahun silam, seorang kawan meminjam uang pada saya. Tidak sampai setengah juta rupiah. Ia meminjam uang untuk membantu pengobatan ayahnya yang sedang sakit diabetes.
Beberapa hari kemudian, saya mendengar kabar ayah kawan saya meninggal dunia, setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Saya pun mengatakan pada kawan saya, tidak perlu mengganti uang yang dulu ia pinjam. Hitung-hitung meringankan bebannya yang sedang ditimpa musibah kehilangan orang tercinta.
Namun kawan saya justru bersikukuh ingin mengembalikan uang pinjaman tersebut. Meski saya sudah menolak, namun ia tetap "memaksa" untuk melunasi utangnya kepada saya.
Kawan saya menganggap, akadnya di awal adalah dia meminjam uang, bukan meminta bantuan uang. Karena itu, ia berasumsi sampai kapanpun statusnya adalah uang pinjaman, yang harus dikembalikan.
Lain waktu, ada kawan saya yang lain tiba-tiba bertanya kabar melalui WhatsApp. Dan setelah bertanya kabar, pesan berikutnya yang dikirimkan adalah ingin meminjam sejumlah uang untuk kebutuhan hariannya, karena saat itu ia sedang menganggur dan dipusingkan oleh kebutuhan anak dan istrinya.
Saya pun langsung mentransfer sejumlah uang seperti yang ia minta. Namun kawan saya ini tak mengatakan kapan ia akan mengembalikan pinjaman uang itu.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tak ada kabar darinya perihal (rencana) pelunasan pinjaman uang darinya.
Suatu ketika, saya ada suatu keperluan dan berharap kawan saya bisa membayar ataupun mencicil utangnya agar uangnya bisa saya gunakan untuk keperluan itu.
Namun ketika saya hubungi dia, eh, beliau malah curhat masih menganggur dan keadaan ekonominya lebih buruk daripada saya. Oke, meski dia tak mengatakan langsung, namun saya anggap curhatannya itu adalah menyiratkan bahwa ia masih belum bisa mengembalikan uang pinjamannya kepada saya.
Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Saya kan bukan debt collector yang memang pekerjaannya adalah menagih utang.
Belakangan ini, perkara pinjam-meminjam uang, khususnya kepada teman, kembali ramai menjadi pembicaraan di ranah media sosial. Meme dengan caption "pinjam dulu seratus" kini kembali beredar menghiasi linimasa media sosial.
Saya menduga, kembali populernya meme beserta pembahasan soal 'Pinjam dulu seratus' ini usai akun Tiktok @sipalingperubahan mengunggah video yang menampilkan Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 Anies Baswedan.
Dalam video itu, terdengar suara seorang pria "Pak, kata-kata hari ini dong, pak..." yang ditujukan pada Anies.
Dan pria yang kini menjadi bakal calon presiden 2024  itu pun menjawab "Kata-kata hari ini? Ya begini... Mumpung ini bulan Agustus, biar silaturahmi nggak putus, pinjam dulu seratus" seraya tertawa.
Baiklah, ada meme atau tidak ada meme soal pinjam uang, nyatanya utang alias peminjaman uang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat saat ini. Temasuk pinjam meminjam uang antar sahabat bahkan saudara.
Meskipun saat ini, meminjam uang bisa lebih mudah dengan membanjirnya platform pinjaman online, dengan segala kemudahan dan iming-iming yang ditawarkan oleh platform-platform tersebut, nyatanya pinjam uang ke teman atau kerabat masih menjadi pilihan utama bagi sebagian orang.
Meskipun saya belum pernah membaca atau menemukan survei berapa persen masyarakat Indonesia yang lebih suka meminjam ke pinjol, dan berapa persen yang lebih memilih pinjam uang ke kerabat.
Namun saya yakin pinjam ke teman masih menjadi budaya yang lazim ditemui di masyarakat Indonesia, sebagai makhluk sosial yang gemar saling tolong menolong, kalau kata guru Pendidikan Moral Pancasila dulu.
Salah satu faktor utama seseorang lebih memilih meminjam kepada orang terdekat, tentunya karena tidak ada persyaratan hukum, seperti lazimnya meminjam uang di lembaga keuangan.
Cukup menghubungi kawan, sebut nominal yang akan dipinjam, dan dalam hitungan menit pinjaman pun sudah masuk ke rekening atau dompet digital si peminjam. Ya, karena sekarang sudah era daring, seseorang bisa meminjam uang ke temannya tanpa harus bertatap muka terlebih dahulu.
Faktor utama lainya, yang menjadikan meminjam uang ke teman masih 'diminati' setidaknya sampai saat ini, adalah karena tidak adanya persyaratan khusus soal periode cicilan atau pelunasannya.Â
Inilah yang paling membedakan dengan meminjam ke lembaga keuangan, baik itu bank, multifinance, pinjol, paylater, ataupun lembaga keuangan lainnya termasuk koperasi.
Lagipula teman yang baik jelas tak akan "membisniskan" pinjaman uang kepada temannya. Karena pinjaman yang diberikan tentu memiliki unsur separuh menolong. Ya kan?
Yang jelas, meski tak diatur oleh hukum, pinjaman antar teman harus berlandaskan pada etika dan saling pengertian. Etika, itu kata kuncinya. Saling pengertian adalah bagaimana menjalankan etika tersebut.
Dan kalau kita lihat filosofi etika, maka seperti dinyatakan Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969) "Law floats in a sea of ethics".Â
Dalam konteks pinjaman kepada kawan, meski tidak ada aturan hukum yang mengikatnya, tetap harus berlandaskan pada etika, yang kedudukannya lebih tinggi dan luas daripada hukum.
Kalau pinjam meminjam uang antar teman tidak dilandaskan pada etika, ya siap-siap saja hubungan sosial pertetanggan, pertemanan, persahabatan, atau bahkan kekeluargaan jadi hancur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H