Usai kedatangan sejumlah perwira TNI ke kantor KPK pada Jumat 28 Juli 2023, komisi anti rasuah ini pun menggelar konferensi pers. Dalam pernyataannya yang diwakili oleh Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, mengakui lembaganya khilaf soal penetapan tersangka Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi serta Letkol Adm Afri Budi dalam kasus suap yang melibatkan Basarnas.
Keduanya saat ini masih menjadi prajurit aktif di TNI. Dan sempat ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, melalui pernyataan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada konferensi pers pada Selasa Rabu 26 Juli 2023.
Namun setelah pertemuan antara KPK dengan TNI pada Jumat lalu, Danpuspom TNI Marsda Agung Handoko menyatakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, kedua perwira yang sebelumnya berdinas di Basarnas itu akan ditangani kasus dugaan tindak pidananya oleh Polisi Militer (Pom) TNI.
Sebelum mendatangi KPK -- dan berakhir dengan permintaan maaf KPK atas kekhilafan dalam penetapan tersangka Marsdya Henri dan Letkol Afri -- Marsda Agung selaku Danpuspom TNI dalam sebuah wawancara dengan CNN Indonesia pada Kamis 27 Juli 2023, menyatakan kekecewaannya pada KPK, karena KPK tidak berkoordinasi dengan institusi yang dipimpinnya soal penetapan tersangka dari anggota TNI.
Agung menjelaskan sebagai sesama penegak hukum, semestinya KPK dan Puspom TNI bisa saling berkoordinasi. Dalam hal ini, ia menegaskan penetapan tersangka perwira militer hanya boleh dilakukan oleh penyidik di Puspom TNI.
Benarkah KPK blunder dalam penetapan tersangka anggota TNI ini? Mungkin saja.
Ironisnya, di hari Kamis atau sehari sebelum KPK akui kekhilafan, Alexander Marwata mengaku telah terjadi kesepakatan dengan Puspom TNI, termasuk dalam hal KPK menyebutkan nama dari oknum TNI sebagai tersangka meskipun penahanannya tidak dilakukan KPK.
Namun di sisi lain, Marsda Agung menyatakan Puspom TNI sudah menyampaikan keberatan jika KPK mengumumkan dua anggota TNI aktif itu sebagai tersangka usai gelar perkara. Hal itu karena TNI memiliki peraturan perundang-undangan tersendiri soal penindakan hukum atas anggotanya yang terlibat dalam tindak pidana.
Aturan tersebut yakni Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Aturan ini menjelaskan bahwa yang bisa menindak anggota TNI jika terlibat kasus pidana, adalah atasan yang berhak menghukum (Ankum), Polisi Militer, serta Oditur Militer.
Menjadi lebih ironis karena kekhilafan ini terjadi ketika KPK dipimpin oleh seorang purnawirawan perwira tinggi Polri dengan pangkat terakhir komisaris jenderal, yakni Firli Bahuri.
Asumsi common sense tentu mengatakan tidak mungkin seorang mantan jenderal polisi yang tentunya sangat paham peraturan perundang-undangan tidak mem-briefing anak buahnya soal peraturan yang saat ini masih berlaku.