Dulu, ketika saya duduk di kelas V SD jelang akhir tahun ajaran atau sesudah pelaksanaan ulangan umum, wali kelas saya mengumumkan bahwa seluruh siswa kelas V harus menghadiri 'wisuda' kelas VI.Â
Itu karena buku laporan hasil pendidikan (rapor) caturwulan III akan dibagikan bersamaan dengan pelaksanaan 'wisuda' tersebut.
Saya dan sebagian teman sekelas saya saat itu pun bertanya pada wali kelas soal makna wisuda yang disebutkan akan diikuti oleh siswa kelas VI. Yang saya ingat lebih kurang dialognya seperti ini:
"Pak, maksudnya wisuda kelas VI itu apa ya?"
"Ya itu, kan kelas VI sudah selesai menempuh tingkat SD. Jadinya ya diwisuda, seperti sarjana gitu,"
Kami para siswa pun tak melanjutkan dialog itu, ya mungkin karena masih kecil, jadi manut saja sama penjelasan bapak guru.
Nah, pagi ini, salah seorang kawan saya mengunggah swafotonya bersama sang anak, yang baru saja menyelesaikan masa taman kanak-kanaknya.Â
Dalam foto tersebut, terlihat sang bocah menggunakan toga lengkap dengan topi segilima bertali, layaknya seorang wisudawan perguruan tinggi ataupun calon guru besar.
Ingatan saya pun langsung melayang ke sebuah meme yang pernah saya baca. Dalam meme itu tergambar sejumlah anak TK yang menggunakan toga dan diberi caption:
"Buat para sarjana, nggak usah sombong karena pernah memakai toga dan diwisuda. Anak TK juga sekarang diwisuda dan pakai toga..."
Jlebbb....
Saya kurang tahu kapan persisnya istilah wisuda, yang ketika saya kecil saya pahami sebagai prosesi kelulusan di perguruan tinggi, kemudian bergeser maknanya bukan hanya untuk lulusan perguruan tinggi saja, melainkan juga untuk para siswa yang baru menyelesaikan jenjang pendidikan TK, SD, SMP, dan SMA atau yang sederajatÂ
Mungkin karena itulah, saya dan beberapa teman saya pun bertanya-tanya pada guru saat itu, mengapa prosesi perpisahan siswa kelas VI SD juga disebut sebagai wisuda. Meskipun saya saat itu tidak memperoleh jawaban yang memuaskan.
Pertanyaan yang mengemuka soal makna wisuda pun kini muncul kembali, bertahun-tahun setelah saya pertama kali bertanya pada guru soal makna wisuda untuk anak yang lulus SD.
Lantas apakah keliru jika prosesi perpisahan -- sebagai sebutan zaman dulu untuk prosesi akhir studi di TK, SD, SMP, dan SMA atau sederajat -- kini kerap diistilahkan sebagai wisuda, layaknya prosesi akhir studi di perguruan tinggi?
Kalau kita tinjau secara etimologis, wisuda berasal dari bahasa Inggris, graduate. MacMillan Dicitionary menjelaskan kata graduate memiliki 2 arti.
- someone who has finished their studies at a high school, college, or university
- someone who has a degree from a university
Dalam perkembangannya, arti ke-2 menjadi yang identik dengan pemaknaan kata graduate, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi wisuda, khususnya wisuda di jenjang perguruan tinggi.
Bisa jadi, ini karena -- sejumlah literatur menyebut -- perguruan tinggilah yang menjadi pelopor kegiatan wisuda bagi para peserta didiknya. Dua universitas tertua di Dunia, yakni Universitas Oxford dan Universitas Bologna, tercatat sudah melaksanakan wisuda sejak abad pertengahan.
Dari situ, wisuda menjadi sebuah budaya yang mendunia dan menjadi sebuah 'standar' bagi perguruan tinggi atau yang sederajat, sebagai sebuah prosesi akhir dari kegiatan belajar yang dilakukan oleh peserta didiknya.
Sejalan dengan perkembangan zaman,sejumlah literatur menyebut pada abad 15, kata graduate memiliki makna "seseorang yang mendapatkan/memiliki gelar".Â
Atau dalam bahasa Medieval Latin, graduatus memiliki arti "untuk mengambil gelar", sedangkan dalam Bahasa Latin, gradus memiliki arti "sebuah langkah", atau dalam bahasa Inggris adalah grade.
Pemaknaan kata graduate memiliki makna "seseorang yang mendapatkan/memiliki gelar" inilah yang kemudian lazim digunakan hingga saat ini.Â
Oleh karena itu, wisuda akan menjadi bermakna dalam jenjang pendidikan selepas SMA, karena tidak ada gelar bagi seseorang yang dinyatakan lulus dari TK, SD, SMP, SMA , ataupun lembaga pendidikan yang sederajat.
"Mendapatkan gelar", itulah yang menjadikan wisuda berbeda dengan kelulusan siswa TK, SD, SMP, dan SMA atau yang sederajat. Karena wisuda merupakan prosesi yang menandai penyematan gelar yang diberikan untuk wisudawannya.
Artinya, dalam prosesi wisuda tersebut, sang wisudawan dinyatakan resmi menyandang gelar sesuai dengan jurusan/departemen studi yang telah dipilih dan dijalani selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Sejak diwisuda itulah, seluruh hak dan kewajiban yang terdapat pada gelar yang disandang wisudawan mulai berlaku.
Kemudian, di dalam wisuda juga ada prosesi pemindahan tali yang terdapat pada topi toga yang semula disampirkan ke bagian kiri wajah wisudawan menjadi ke sebalah kanan wajah wisudawan.Â
Konon, prosesi ini sebagai simbol bahwa usai menjalani wisuda dan kembali ke masyarakat, para wisudawan harus lebih memaksimalkan penggunaan otak kanan, yang berhubungan dengan imajinasi, inovasi, serta kreativitas.
Prosesi dan simbolisasi Inipun tidak akan didapatkan dalam kelulusan siswa TK, SD, SMP, dan SMA. Alias hanya ada dalam wisuda, di jenjang pendidikan setelah SMA/sederajat.
Nah, terkait protes sejumlah warganet di media sosial, yang menyatakan keberatan dengan prosesi wisuda jenjang TK hingga SMA karena dinilai memberatkan khususnya secara finansial bagi orang tua, saya tak ingin berkomentar atau membahas lebih jauh ke arah sana.
Namun, Kemendikbudristek melalui Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Humas (BKHM) Anang Ristanto seperti dikutip Sindonews pada 16 Juni 2023 menyatakan kegiatan wisuda oleh jenjang PAUD/TK, SD, SMP, hingga SMA merupakan kegiatan yang bersifat opsional.
Sejauh ini, menurut saya tanggapan dari Kemendikbud sudah tepat, jika terkait dengan biaya partisipasi wisuda yang oleh sebagian wali murid dianggap memberatkan.
Nah, disinilah semestinya fungsi Komite Sekolah dimaksimalkan. Artinya, dalam fungsi pengawawan dan pengawalannya terhadap kegiatan di satuan pendidikan, Komite Sekolah bisa menampung dan menjembatani aspirasi wali murid soal biaya pendidikan.
Bisa jadi, ada wali murid keberatan soal tambahan biaya pendidikan untuk prosesi wisuda karena di awal sang anak masuk sekolah tidak ada transparansi soal biaya wisuda ini dalam daftar biaya pendidikan yang dinyatakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
Oke, kembali ke filosofi wisuda, mumpung sedang hangat-hangatnya pembicaraan publik soal perlu atau tidaknya wisuda di kalangan PAUD hingga SMA.
Hemat saya, Kemendikbudristek memang seyogianya menyerahkan kembali pada sekolah untuk menyelenggarakan ataupun tidak menyelenggarakan wisuda untuk siswanya.
Tapi, mungkin perlu juga bagi kementerian yang dipimpin oleh Nadiem Makarim ini untuk meninjau pula perlu atau tidaknya ada prosesi wisuda bagi siswa PAUD hingga SMA, berdasarkan filosofi wisuda yang telah dijabarkan di atas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI