Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Industri Rokok, Ditekan tapi Dibutuhkan

23 Mei 2023   20:06 Diperbarui: 23 Mei 2023   20:12 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan di pabrik rokok. (Sumber: Kompas/Raditya Mahendra Yasa)

Beberapa tahun silam, saya berdialog dengan salah seorang pejabat Kementerian Perindustrian. Saya waktu itu bertanya berapa target pertumbuhan industri hasil tembakau pada akhir tahun itu.

Dan si pejabat eselon I ini pun mengaku sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut. Mengapa sulit?

Menurutnya, di satu sisi, sebagai kementerian yang bertugas membangun sektor industri sebagai penopang utama ekonomi Indonesia, Kemenperin tentu ingin seluruh industri manufaktur dalam negeri bertumbuh secara kuantitas maupun kualitas.  

Namun di sisi lain, jika industri hasil tembakau (IHT) dalam hal ini industri rokok didukung pertumbuhannya, maka akan kontraproduktif dengan langkah pemerintah untuk menekan jumlah konsumsi rokok di Indonesia.

Lain waktu, saya berdialog dengan asosiasi industri rokok. Menurut pengurus asosiasi, terjadi sebuah salah kaprah dalam penggunaan istilah IHT. Karena selama ini IHT hanya disempitkan maknanya sebagai rokok saja.

Padahal, industri hilir yang menggunakan tembakau tak hanya rokok. Tapi juga ada industri lain, seperti perisa, parfum, pestisida, bahkan industri farmasi. Karena itu, jika penggunaan industri hasil tembakau tentunya harus mencakup industri selain rokok juga.

Tapi memang penyebutan IHT sebagai istilah ganti industri rokok memang terlanjur menjadi penyebutan yang lazim di Indonesia. Hal ini tentu tak lepas dari posisi industri rokok sebagai pengguna terbesar tembakau dalam industri manufaktur hilir.

Termasuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan sebagai juru pemungut cukai negara, menggunakan istilah cukai hasil tembakau dan cukai rokok sebagai hal yang sama.

Bicara soal cukai rokok, data Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu menunjukkan realisasi pendapatan cukai IHT alias industri rokok terus meningkat, setidaknya dalam 10 tahun terakhir meski perekonomian Indonesia dihantam pandemi dalam tiga tahun belakangan.

Sebagai gambaran, realisasi cukai rokok pada 2013 sebesar Rp103,6 triliun, meningkat menjadi Rp112,5 triliun pada 2014 dan konsisten meningkat tiap tahun hingga mencapai Rp218,62 triliun pada 2022. Wajar kiranya jika pendapatan dari cukai rokok menjadi sumber pemasukan utama negara sejak lama.

Tak hanya dari sisi penerimaan negara, peran IHT juga sangat besar dalam penciptaan lapangan kerja. Tak kurang 7 juta masyarakat Indonesia menggantungkan perekonomian keluarganya pada industri tembakau hulu hingga hilir.

Tembakau, yang kemudian diolah menjadi rokok, nyatanya sudah menjadi salah satu simbol industri yang 'Indonesia banget'. Bahkan perjalanan industri rokok sudah berjalan jauh sebelum republik ini berdiri.

Dalam sebuah pertemuan di Eropa, KH Agus Salim pernah dengan santainya merokok di sela-sela pertemuan tersebut dan lantas ditanya oleh delegasi dari Eropa, benda apakah yang diisap dengan nikmat namun berbau menyengat itu?

Sang pahlawan nasional itu pun dengan santai menjawab "Bau inilah yang dahulu mengundang bangsa anda untuk datang ke negeri kami".

Ditekan tapi (sangat) dibutuhkan. Mungkin itu istilah yang tepat menggambarkan posisi industri rokok saat ini. Di luar kontribusi yang sudah diberikan industri rokok terhadap perekonomian Tanah Air, anggapan sebagai industri yang harus ditekan pertumbuhannya masih selalu muncul dalam bentuk sejumlah rancangan aturan hukum positif.

Sejumlah aturan juga telah diterbitkan untuk membatasi gerak industri rokok. Seperti larangan kegiatan iklan dengan menggambarkan atau menyebut nama merek rokok. Hingga pelarangan sponsor rokok untuk kegiatan-kegiatan.

Di satu sisi, ini efektif membatasi ruang gerak promosi rokok. Namun di sisi lain, kebijakan pemerintah termasuk dengan menaikkan cukai rokok secara berkala dinilai berbagai kalangan belum efektif menurunkan jumlah perokok aktif di Indonesia.

Seiring sejalan dengan hal itu, dorongan kelompok anti-tembakau agar aturan industri tembakau semakin ketat terus menguat.

Dan akhirnya, kontroversi rencana aturan pembatasan ruang gerak perokok pun muncul kembali. Dalam pasal 154 Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan dinyatakan tembakau sebagai zat adiktif setara narkotika dan psikotropika.

Sejumlah kalangan mulai dari komunitas kretek, asosiasi industri, hingga legislator pun kompak menyuarakan penolakan terhadap aturan yang menyetarakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika itu. Argumennya adalah tembakau sebagai sesuatu yang legal dan menjadi komoditas perkebunan strategis yang memberi sumbangsih signfikan terhadap penerimaan negara.

Spirit pembatasan rokok untuk pencegahan masalah yang berkaitan dengan kesehatan memang harus dikedepankan dalam pengendalian peredaran rokok. Namun jika ini dilakukan tanpa perencanaan yang komprehensif dan berorientasi jangka panjang, maka tentunya akan berdampak masif pada perekonomian nasional.

Sejauh ini, pemerintah memang sudah berusaha memainkan peran yang cukup baik sebagai regulator dalam pembatasan rokok. Hal itu ditunjukkan oleh berbagai kebijakan yang masif membatasi peredaran rokok, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Nah, dalam kasus RUU Kesehatan dengan sejumlah pasal kontroversial ini, nampaknya pemerintah dan DPR perlu duduk bersama, berdialog dengan para pemangku kepentingan lainnya dalam RUU Kesehatan Omnibus Law ini.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun