Tembakau, yang kemudian diolah menjadi rokok, nyatanya sudah menjadi salah satu simbol industri yang 'Indonesia banget'. Bahkan perjalanan industri rokok sudah berjalan jauh sebelum republik ini berdiri.
Dalam sebuah pertemuan di Eropa, KH Agus Salim pernah dengan santainya merokok di sela-sela pertemuan tersebut dan lantas ditanya oleh delegasi dari Eropa, benda apakah yang diisap dengan nikmat namun berbau menyengat itu?
Sang pahlawan nasional itu pun dengan santai menjawab "Bau inilah yang dahulu mengundang bangsa anda untuk datang ke negeri kami".
Ditekan tapi (sangat) dibutuhkan. Mungkin itu istilah yang tepat menggambarkan posisi industri rokok saat ini. Di luar kontribusi yang sudah diberikan industri rokok terhadap perekonomian Tanah Air, anggapan sebagai industri yang harus ditekan pertumbuhannya masih selalu muncul dalam bentuk sejumlah rancangan aturan hukum positif.
Sejumlah aturan juga telah diterbitkan untuk membatasi gerak industri rokok. Seperti larangan kegiatan iklan dengan menggambarkan atau menyebut nama merek rokok. Hingga pelarangan sponsor rokok untuk kegiatan-kegiatan.
Di satu sisi, ini efektif membatasi ruang gerak promosi rokok. Namun di sisi lain, kebijakan pemerintah termasuk dengan menaikkan cukai rokok secara berkala dinilai berbagai kalangan belum efektif menurunkan jumlah perokok aktif di Indonesia.
Seiring sejalan dengan hal itu, dorongan kelompok anti-tembakau agar aturan industri tembakau semakin ketat terus menguat.
Dan akhirnya, kontroversi rencana aturan pembatasan ruang gerak perokok pun muncul kembali. Dalam pasal 154 Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan dinyatakan tembakau sebagai zat adiktif setara narkotika dan psikotropika.
Sejumlah kalangan mulai dari komunitas kretek, asosiasi industri, hingga legislator pun kompak menyuarakan penolakan terhadap aturan yang menyetarakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika itu. Argumennya adalah tembakau sebagai sesuatu yang legal dan menjadi komoditas perkebunan strategis yang memberi sumbangsih signfikan terhadap penerimaan negara.
Spirit pembatasan rokok untuk pencegahan masalah yang berkaitan dengan kesehatan memang harus dikedepankan dalam pengendalian peredaran rokok. Namun jika ini dilakukan tanpa perencanaan yang komprehensif dan berorientasi jangka panjang, maka tentunya akan berdampak masif pada perekonomian nasional.
Sejauh ini, pemerintah memang sudah berusaha memainkan peran yang cukup baik sebagai regulator dalam pembatasan rokok. Hal itu ditunjukkan oleh berbagai kebijakan yang masif membatasi peredaran rokok, baik di tingkat pusat maupun daerah.