Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Lembaran Baru Kehidupan Pasca Bercerai

18 Mei 2023   17:03 Diperbarui: 20 Mei 2023   08:53 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kabar perceraian sepasang suami istri berembus, sebagai manusia yang memiliki rasa simpati tentu kita menjadi terbawa perasaan. Terutama perasaan khawatir bagaimana psikologis anak-anak dari suami istri yang berpisah itu.

Pertanyaan yang kerap muncul adalah mampukah mereka menjalani masa depannya secara normal meski pernah mengalami terpisahnya ikatan keluarga antara ayah dan ibu mereka.

Kemarin, saya terkejut saat membaca berita di media, ada satu lagi pasangan selebritis yang sudah dalam posisi 'siap-siap' untuk bercerai. Mereka adalah pasangan musisi Deddy Mahendra Desta, atau dahulu dikenal dengan nama panggung Desta Club 80s, dengan istrinya artis peran Natasha Rizky.

Desta yang juga dikenal sebagai presenter di sejumlah program di televisi dan platform video ini sudah melayangkan gugatan cerai untuk istrinya pada 11 Mei lalu di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Mungkin banyak yang kaget dengan kabar gugatan cerai pasangan suami istri yang sudah menikah selama 10 tahun ini. Maklum saja, dalam beberapa tayangan di televisi maupun di platform video mereka kerap menunjukkan keharmonisan, termasuk dengan tiga buah hatinya.

Tapi ya, isi dalamnya kehidupan dan perjalanan rumah tangga siapa yang tahu, selain sepasang suami istri tersebut dan mungkin orang-orang terdekatnya. Dan jika rumah tangga sudah terlanjur berakhir, tentu yang kita harapkan adalah tidak serta-merta membawa banyak dampak buruk terutama bagi anak-anak dari keluarga broken home itu.

Bicara soal keluarga yang berakhir dengan perpisahan, saya jadi teringat pengalaman hidup yang pernah dialami oleh bulek saya.  Pada masa lampau, beliau harus menghadapi kenyataan perpisahan dengan suaminya setelah lebih dari 17 tahun berumah tangga.  

Sempat kembali menikah dengan orang lain, beliau pun harus menerima kenyataan rumah tangganya harus berakhir untuk kedua kalinya.

Blak-blakan beliau menceritakan pada saya mengapa perpisahan menjadi jalan yang harus dipilih dengan sang mantan suami. Tapi bukan untuk saya ungkapkan dalam tulisan ini yaa...

Saya lebih fokus pada dua orang sepupu saya yang menjadi anak dengan orang tua berpisah. Nyatanya, saya tidak melihat ada kondisi mental yang berbeda pada mereka, pasca perpisahan yang dialami oleh orang tuanya.

Mungkin sepupu saya sempat shock di fase-fase awal perpisahan yang dialami oleh bapak dan ibunya. Namun seiring berjalannya waktu, kondisi mental dan kehidupan bersosial mereka pun berjalan normal, alias tak berbeda dengan anak-anak pada umumnya.

Mereka tidak lantas tumbuh dengan segudang masalah yang kerap kita baca atau dengar akan terjadi pada anak yang mengalami perpisahan kedua orang tuanya. Mungkin karena dalam pergaulannya, kawan-kawan mereka pun tidak memberi stigma negatif pada adik sepupu saya yang mengalami broken home.

Sehingga alih-alih terpuruk akibat perpisahan orang tuanya, kedua adik sepupu saya tetap fokus dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dalam kehidupan prbadi maupun bersosialnya.

Mungkin saja mereka sempat mengalami depresi, insecure, atau apapun itu. Namun di situlah saya salut pada ibu mereka alias tante saya sebagai support system terdekat bagi adik-adik sepupu saya, yang justru mendoktrin bahwa the life must go on meskipun mereka secara jasmani ayah mereka tak lagi di posisi yang dekat.

Kelak, jika adik sepupu saya menikah dan langgeng dalam pernikahannya, maka saat itulah saya bisa mengatakan bahwa tak selamanya perpisahan orangtua yang pernah dialami seorang anak, akan menjadikan anak itu trauma dan tak berhasrat untuk menikah.

Pada dasarnya, ketika sepasang laki-laki dan perempuan mengucapkan akad nikah, janji pernikahan, atau apapun namanya, tentu saat itu tak ada yang menginginkan untuk berpisah kelak. Saat menikah, tentulah seseorang menaruh harapan bahwa pernikahan tersebut akan langgeng hingga maut memisahkan.

Namun kenyataanya, tak semua pernikahan akan mencapai tahap 'happily efer after' layaknya di dalam dongeng. Ada banyak faktor penyebab ikatan rumah tangga harus diakhiri, ketimbang tetap berumah tangga namun terus-menerus bermasalah.

Seperti dalam kasus gugatan cerai artis Deddy Desta kepada istrinya yang saya tuliskan di awal. Kuasa Hukum Desta, Hendra Siregar menyebut permohonan cerai diajukan Desta karena kerap terjadi percekcokan.

Perbedaan visi dan misi dalam berumah tangga juga disebut Hendra, menjadi penyebab gugatan cerai itu diajukan Desta. Ya, dari situ pun mudah kita simpulkan secara common sense orang awam bahwa perbedaan visi dan misi itulah yang menjadi 'bola salju' percekcokan dan kemudian berujung pada pendaftaran gugatan ke pengadilan agama.

Bahkan dalam proses sidang perceraian, ada tahap yang disebut mediasi. Pada tahap ini, pasangan yang ini bercerai akan ditanya penyebab ingin bercerai dan diminta mempertimbangkan kembali keinginan tersebut. Namun jika mediator pengadilan menilai sulit bagi pasangan yang akan bercerai untuk bisa mempertahankan rumah tangga, tentu akan diberikan rekomendasi kepada hakim untuk menjatuhkan vonis yang memutus ikatan pernikahan.

Ketika putusan cerai sudah dijatuhkan, maka semua teori dan wejangan yang menyebut bahwa ikatan rumah tangga semestinya tetap bertahan hingga maut memisahkan seperti yang banyak dikutip dari para konsultan pernikahan atau psikolog menjadi tidak berlaku lagi.

Kata-kata teoritis kalau ada perbedaan semestinya dibicarakan baik-baik jangan diselesaikan di pengadilan, kasihanilah nasib dan masa depan anak-anak yang akan menjadi korban perceraian, perpisahan hanya akan menimbulkan hal-hal negatif saja, dan nasehat pernikahan lainnya, semuanya menjadi tak lagi relevan saat putusan pengadilan sudah inkracht.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya sedikitpun kepada mereka yang kerap mengutip nasihat agar pasangan suami istri tidak sampai bercerai karena perceraian hanya akan berbuntut hal-hal negatif, saya hanya ingin berkata semua teori dan konsep ideal rumah tangga itu akan runtuh jika kita kita berada dalam posisi orang yang akan atau sudah pernah bercerai.

Justru bisa jadi, perceraian itu menjadi fase yang haru dilalui sebagai pintu agar mantan suami dan mantan istri bisa menjadi lebih baik, khususnya dalam hubungan antar keduanya meski hanya teman biasa bukan teman hidup.

Lho koq bisa?

Ya bisa saja. Banyak kok yang sudah membuktikan itu, termasuk di kalangan selebritis yang terekspos dan bisa menjadi 'referensi' anda. Umumnya, pasangan yang demikian adalah pasangan yang memutuskan untuk berpisah secara baik-baik, alias bukan berpisah karena tindakan menyimpang yang menjadikan traumatis seperti KDRT atau karena adanya orang ketiga yang menjadikan suami atau istri berselingkuh.

Meskipun pada dasarnya, tidak ada perceraian yang baik, karena jika baik-baik saja tentu tak akan terjadi perceraian.

Dalam hal ini, perceraian bukan menjadi hal baik, tetapi menjadi keputusan atau jalan terbaik di antara yang terburuk agar ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga tidak terus-terusan menjadi bahaya laten yang terus mengganggu.

Perpisahan justru bisa jadi menjadi pintu untuk memulai lembaran hubungan baru dengan mantan suami, mantan istri, serta anak-anak yang selamanya akan berstatus anak dari orang tua yang sudah berpisah.

Lembaran baru inilah yang kemudian akan diisi dengan catatan-catatan baru yang bisa jadi lebih buruk atau bahkan lebih baik dengan sang mantan daripada ketika masih berumah tangga.

Lebih dari itu, lembaran baru ini akan diisi dengan sikap saling legawa dan saling menghormati dengan mantan pasangan, termasuk juga menjadi lembaran baru untuk tetap hadir sebagai sosok ayah dan ibu dalam konteks pengasuhan dan tumbuh kembang bagi anak.

Saya percaya, upaya pemberian kasih sayang yang maksimal kepada anak dari orang tua meski telah berpisah, akan bisa menjaga anak dari terpapar hal-hal negatif yang selama ini sering disebut-sebut kerap terjadi pada anak yang pernah mengalami broken home.

Kalaupun suatu saat anak melakukan tindak negatif pasca perceraian orang tuanya, maka tentu bukanlah perceraian itu yang menjadi penyebab, tetapi hal-hal lain yang lebih mempengaruhi. Misalnya lingkungan pergaulan ataupun pola asuh dari orang tua.

Di luar stigma anak-anak yang pernah mengalami broken home rentan menjadi pelaku kejahatan, nyatanya banyak pula anak-anak yang sukses dan kehidupan dan karirnya meski pernah mengalami perpisahan ayah dan ibunya.

Soal kehidupan pasca perceraian ini bukan hanya cerita tentang orang lain. Namun juga menjadi pengalaman pribadi yang pernah melewati sebuah episode perpisahan dalam rumah tangga sendiri.      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun