Mereka tidak lantas tumbuh dengan segudang masalah yang kerap kita baca atau dengar akan terjadi pada anak yang mengalami perpisahan kedua orang tuanya. Mungkin karena dalam pergaulannya, kawan-kawan mereka pun tidak memberi stigma negatif pada adik sepupu saya yang mengalami broken home.
Sehingga alih-alih terpuruk akibat perpisahan orang tuanya, kedua adik sepupu saya tetap fokus dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dalam kehidupan prbadi maupun bersosialnya.
Mungkin saja mereka sempat mengalami depresi, insecure, atau apapun itu. Namun di situlah saya salut pada ibu mereka alias tante saya sebagai support system terdekat bagi adik-adik sepupu saya, yang justru mendoktrin bahwa the life must go on meskipun mereka secara jasmani ayah mereka tak lagi di posisi yang dekat.
Kelak, jika adik sepupu saya menikah dan langgeng dalam pernikahannya, maka saat itulah saya bisa mengatakan bahwa tak selamanya perpisahan orangtua yang pernah dialami seorang anak, akan menjadikan anak itu trauma dan tak berhasrat untuk menikah.
Pada dasarnya, ketika sepasang laki-laki dan perempuan mengucapkan akad nikah, janji pernikahan, atau apapun namanya, tentu saat itu tak ada yang menginginkan untuk berpisah kelak. Saat menikah, tentulah seseorang menaruh harapan bahwa pernikahan tersebut akan langgeng hingga maut memisahkan.
Namun kenyataanya, tak semua pernikahan akan mencapai tahap 'happily efer after'Â layaknya di dalam dongeng. Ada banyak faktor penyebab ikatan rumah tangga harus diakhiri, ketimbang tetap berumah tangga namun terus-menerus bermasalah.
Seperti dalam kasus gugatan cerai artis Deddy Desta kepada istrinya yang saya tuliskan di awal. Kuasa Hukum Desta, Hendra Siregar menyebut permohonan cerai diajukan Desta karena kerap terjadi percekcokan.
Perbedaan visi dan misi dalam berumah tangga juga disebut Hendra, menjadi penyebab gugatan cerai itu diajukan Desta. Ya, dari situ pun mudah kita simpulkan secara common sense orang awam bahwa perbedaan visi dan misi itulah yang menjadi 'bola salju' percekcokan dan kemudian berujung pada pendaftaran gugatan ke pengadilan agama.
Bahkan dalam proses sidang perceraian, ada tahap yang disebut mediasi. Pada tahap ini, pasangan yang ini bercerai akan ditanya penyebab ingin bercerai dan diminta mempertimbangkan kembali keinginan tersebut. Namun jika mediator pengadilan menilai sulit bagi pasangan yang akan bercerai untuk bisa mempertahankan rumah tangga, tentu akan diberikan rekomendasi kepada hakim untuk menjatuhkan vonis yang memutus ikatan pernikahan.
Ketika putusan cerai sudah dijatuhkan, maka semua teori dan wejangan yang menyebut bahwa ikatan rumah tangga semestinya tetap bertahan hingga maut memisahkan seperti yang banyak dikutip dari para konsultan pernikahan atau psikolog menjadi tidak berlaku lagi.
Kata-kata teoritis kalau ada perbedaan semestinya dibicarakan baik-baik jangan diselesaikan di pengadilan, kasihanilah nasib dan masa depan anak-anak yang akan menjadi korban perceraian, perpisahan hanya akan menimbulkan hal-hal negatif saja, dan nasehat pernikahan lainnya, semuanya menjadi tak lagi relevan saat putusan pengadilan sudah inkracht.