PDIP) telah terjawab pada akhir pekan lalu. Gubenur Jawa Tengah Ganjar Pranowo resmi dinyatakan oleh partai berlambang kepala banteng itu, untuk bertarung dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 mendatang.
Teka-teki siapa yang akan menjadi calon presiden yang akan diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Sebenarnya tidak ada kejutan dalam penunjukan (atau pemilihan) Ganjar sebagai capres dari PDIP dalam pengumuman yang dilakukan di Istana Batu Tulis, Bogor itu. Meskipun sebelumnya banyak yang menyangka Puan Maharani-lah yang akan dipilih oleh Megawati Soekarnoputri sebagai capres, terutama pasca bertebarannya baliho dan spanduk bergambar ketua DPR-RI ini dengan tagline Kepak Sayap Kebhinekaan.
Namun hasil survei capres manapun yang selalu menempatkan Ganjar jauh di atas Puan, jelas tak bisa dibohongi. Artinya, PDIP tetap mengedepankan tradisi mengusung kader terbaik dan terpopuler untuk menjadi kontestan dalam pilpres.
Pada akhirnya, sejumlah drama yang mengiringi 'tebak-tebakan' apakah Puan atau Ganjar yang akan diusung PDIP sebagai capres pada akhirnya hanya menjadi cerita dan gimmick yang mengiringi cairnya dinamika dalam dunia politik termasuk di internal PDIP. Kisah sebutan 'banteng versus celeng' pun menjadi satu simbol dinamika politik tersebut.
Dengan terpilihnya Ganjar sebagai capres dari PDIP, maka untuk sementara pupuslah harapan trah Soekarno untuk kembali ke Istana Kepresidenan sebagai pucuk pimpinan negeri ini. Namun dengan tidak dipilihnya Puan Maharani sebagai capres, bukan berarti putri dari Megawati Soekarnoputri ini nirtugas khusus di partainya.
Secara umum, Puan sepertinya akan mendapat tugas dari Sang Ibu untuk mempertahankan eksistensi PDIP di Indonesia, alias meneruskan dan membantu tugas yang dilakukan oleh Megawati selama memimpin PDIP, partai dengan jargon "Partainya Wong Cilik".
Megawati Soekarnoputri sendiri, bisa dibilang merupakan tokoh partai paling senior di Indonesia saat ini. Bisa juga dikatakan sebagai tokoh politik yang pengaruhnya paling kuat, setidaknya di partainya sendiri.
Selain karena nama Soekarno yang melekat pada namanya sebagai ayah, secara personal Megawati memiliki karakter kepemimpinan yang cukup unik. Megawati sadar, ia bukan seperti ayahnya yang suka beradu argumen dalam forum-forum intelektualitas.
Alih-alih memasuki ranah intelektualitas, Megawati memanfaatkan loyalitas para kader PDIP terhadap dirinya sebagai pengukuh eksistensinya sebagai pucuk pimpinan partai yang semula merupakan pecahan dari PDI itu.
Harus diakui, dengan 'keterbatasan' yang dimilikinya, Megawati justru pandai menggunakan kelebihannya dalam berhubungan dengan pihak lain untuk menguntungkan PDIP termasuk menguntungkan dirinya sebagai ketua umum.
Dalam Unforgettable Queens of Islam, Shahla Haeri menyebut Megawati ibarat Limbuk---seorang tokoh dalam dunia pewayangan---yang kemudian menjadi ratu. Limbuk yang awalnya merupakan perempuan yang tak banyak bicara dan cenderung tak dianggap oleh lingkungannya, kemudian menjelma menjadi pemimpin perempuan (ratu).