Wong ko ngene kok dibanding-bandingke saing-saingke yo mesti kalah
Tak oyak'o aku yo ora mampu mung sak kuatku mencintaimu
Ku berharap engkau mengerti di hati ini hanya ada kamu
Jelas bedo yen dibandingke ora ono sing tak pamerke
Aku ra iso yen kon gawe-gawe, jujur sak onone....
Lagu berjudul Ojo Dibandingke tersebut berkumandang di Istana Merdeka pada 17 Agustus 2022 lalu, pada Upacara Peringatan HUT RI ke-77.Â
Lagu Ojo Dibandingke yang cukup fenomenal dan akrab di telinga pendengar musik Indonesia di tahun lalu ini, menambah daftar lagu-lagu berbahasa Jawa yang eksis di jagad musik Tanah Air. Bahkan tak sedikit kalangan generasi Z yang ikut menikmati lagu-lagu berbahasa Jawa belakangan ini.
Untuk hal ini, jelas kita tidak bisa mengesampingkan  peran dari mendiang Didi Kempot, yang kembali muncul ke permukaan panggung musik nasional beberapa tahun sebelum wafat pada 5 Mei 2020 lalu.
Sepeninggal Didi Kempot, musisi-musisi muda yang kerap mendendangkan lagu berbahasa Jawa di ruang dengar publik, seperti Denny Cakman, Ndarboy Genk, Woro Widowati, dan lain-lain, turut serta mengeksiskan lagu-lagu berbahasa Jawa. Seperti yang dilakukan oleh Didi Kempot semasa hidupnya.
Nah, jika ditarik sebuah persamaan di antara lagu-lagu Jawa yang didendangkan Didi Kempot maupun penyanyi lainnya yang saya sebutkan tadi.
Maka titik temunya adalah mayoritas lagu yang dinyanyikan bertema mendayu-dayukan perasaan, kisah tentang kegalauan hati yang dituangkan dalam baris-baris lagu. Â
Lagu-lagu dengan tema kesedihan hati tersebut, juga kerap digunakan sebagai backsound dalam konten-konten yang diunggah di media sosial. Misalnya lagu Mendung Tanpo Udan yang dibawakan oleh Ndarboy Genk:
Awak dewe tau duwe bayangan
Besok yen wis wayah omah-omahan
Aku moco koran sarungan
Kowe belonjo dasteran
Nanging saiki wes dadi kenangan
Aku karo kowe wis pisahan
Aku kiri kowe nganan wis bedo dalan
Selain lagu-lagu baru baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa daerah, beberapa lagu sendu mendayu yang populer belasan atau puluhan tahun lalu juga belakangan didendangkan kembali oleh sejumlah penyanyi 'cover' di platform pemutar video yang muncul ke permukaan akhir-akhir ini.Â
Seperti Vanny Vabiola, Indah Yastami, atau Zinidin Zidan yang menyanyikan ulang lagu Buih Jadi Permadani yang dipopulerkan pertama kali oleh grup asal Malaysia, Exist, pada 1997 silam
Lagu kesedihan hati yang berirama mendayu pula yang akhirnya menandai kembalinya Kangen Band di blantika musik Indonesia, lewat single-nya Cinta Sampai Mati (yang juga kerap dijadikan backsound video di media sosial) yang mampu memanen jutaan viewers hanya dalam hitungan bulan.Â
Demikian pula lagu kesedihan dengan judul Hati-hati di Jalan yang dipopulerkan oleh Tulus juga sempat menduduki trending nomor 1 di Youtube.
Masih sering diperdengarkannya lagu-lagu bertema kesedihan hati, menunjukkan bahwa tema lagu seperti ini seolah tak pernah mati, meski zaman berganti.
Tak hanya di dalam negeri, di mancanegara lagu-lagu bertema kegalauan hati juga kerap menghiasi jajaran tangga lagu dari masa ke masa. Dulu kita mengenal lagu Eleanor Rigby-nya The Beatles, kemudian Boulevard-nya Dan Byrd.
Kemudian melintas zaman ada lagu hits-nya Joji Glimpse of Us, Angel Baby-nya Troye Sivam, dan Here's You Perfect dari Jamie Miller.
Lantas mengapa lagu-lagu bertema kesedihan hati selalu muncul dari masa ke masa, serta banyak pendengar dan penggemarnya? Ternyata ada penelitian ilmiahnya.
Mengutip Independent, penelitian yang dilakukan Frontiers in Psychology menemukan mengapa sebagian pendengar musik lebih menikmati musik kisah sedih ketimbang genre kisah lainnya. Dan itu banyak berkaitan dengan empati
Penelitian tersebut menyatakan, saat kita mendengarkan lagu sedih kemudian kata-kata di lagu tersebut berbicara tentang pengalaman yang dialami seseorang yang mirip dengan pengalaman kita, atau pengalaman kebanyakan manusia, maka pendengarnya langsung merasa seperti tidak sendirian pernah mengalami hal yang sama.
Di sisi lain, sebuah penelitian di Scientific Reports menyebut, ketika sebuah musim diputar maka saraf parasimpatik pendengarnya pun ikut bergerak.Â
Dan saat musik diputar kemudian pendengarnya merasa rileks, maka saat itu saraf parasimpatik diaktifkan dan hormon yang berpengaruh untuk menimbulkan rasa jatuh cinta, gembira, ataupun percaya pada suatu hal, sudah aktif pada diri sang pendengar.
Perasan empati saat mendengar lagu tersebut, akan muncul apalagi jika lagu tersebut berasal dari sebuah pengalaman nyata yang dialami sang pencipta lagu. Contohnya lagu Gelas-gelas Kaca ciptaan Rinto Harahap.Â
Jujur, sayapun kadang suka terbawa perasaan alias baper jika mendengar lagu ini dan pernah membaca kisah menyentuh nurani yang melatarbelakangi penciptaan lagu ini.
Nia Daniati, penyanyi yang mendapat 'mandat' dari Rinto untuk mempopulerkan lagu Gelas-gelas Kaca, dalam kanal Youtube RepShow dikutip Kompas.com menuturkan, ide penciptaan lagu ini muncul ketika dirinya bersama Rinto bertemu anak-anak yatim piatu di Yayasan Sayap Ibu, Jakarta.
Di dalam panti tersebut, Rinto merasa pilu mendengar tangisan bayi-bayi yang tak tahu siapa orangtuanya, dan seolah ingin bertanya siapa dan di mana sebenarnya ayah dan ibu mereka. Namun bayi-bayi tersebut hanya mampu menangis dalam sebuah ruangan berdinding kaca.
Pengalaman itu pun dituangkan oleh Rinto Harahap dalam sebuah lagu:
Gelas-gelas kaca tunjukkan padaku siapa diriku ini
Ayah aku tak punya ibupun tak punya, siapapun aku tak punya
Hanya air mata yang selalu bercerita kepadaku
Nah, bicara soal lagu bertema kesedihan yang membuat pendengarnya menjadi mellow, pernah dalam suatu masa pemerintah Republik Indonesia casu quo Menteri Penerangan Harmoko, merasa gerah dengan maraknya lagu-lagu dengan kisah yang sedih alias cengeng di era pertengahan 80-an.
Pria kelahiran Nganjuk, 7 Februari 1939 ini menilai, lagu-lagu cengeng dianggap tidak bisa menumbuhkan semangat kerja masyarakat.Â
Adapun TVRI sebagai corong program-program pemerintah, dianggap memiliki peranan vital atas tumbunnya semangat bekerja membangun negeri.
Harmoko kala itu menegaskan, semangat bekerja rakyat Indonesia dalam pembangunan tidak akan berhasil jika acara-acara di TVRI banyak diwarnai lagu yang disebutnya sebagai ratapan patah semangat berselera rendah, atau kesedihan akibat keretakan rumah tangga.Â
Kata Pak Harmoko, apa yang digambarkan dalam lagu-lagu cengeng itu bukanlah kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Salah satu lagu cengeng yang menjadi sorotan Kementerian Penerangan yakni Hati Yang Luka gubahan Obbie Messakh.Â
Soal kritikan tajam pemerintah terhadap lagu ini pernah pula diangkat ke layar lebar dalam format dialog komedi oleh Warkop DKI dalam film Godain Kita Dong (1989).
Tapi Obbie Messakh berpendapat lain. Seperti dikutip Yock Fang Liaw dan Leo Suryadinata dalam Essential Indonesian Reading: A Learner's Guide (2005: 48), komposer berdarah Nusa Tenggara Timur itu mengaku mencipta lagu berdasarkan apa yang dilihat dan dialaminya. Karena itu, sejumlah lagu karya Obbie merupakan gambaran nyata dari kehidupan ini.
Termasuk lagu Hati Yang Luka, dikatakan Obbie inspirasi menciptakan lagu yang dipopulerkan Betharia Sonata ini, khususnya di lirik 'Lihatlah tanda merah di pipi bekas gambar tanganmu' merupakan gambaran tindak KDRT, karena Obbie kerap menyaksikan pria tetangganya melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya sendiri.
Namun setelah gaung pelarangan beredarnya lagu-lagu sedih kian mereda, lagu-lagu bertema kegalauan jiwa kembali muncul dan populer di ruang dengar musik Indonesia.
Dan perjalanan lagu sedih mendayu yang dulu pernah dilarang oleh pemerintah pun sampai pada episode sebuah lagu sedih dinyanyikan langsung di hadapan kepala negara pada momen sakral Upacara HUT RI ke-77, yakni Ojo Dibandingke. Â
Saat sang penyanyi Farrel Prayoga mendendangkan lagu sedih itu di hadapan mimbar kehormatan, semua yang hadir---kecuali para peserta upacara---seolah ikut larut menikmati irama lagu. Apalagi setelah suara kendang mulai terdengar pertanda tak lengkap rasanya mendengarkan lagu Ojo Dibandingke tanpa menggoyangkan badan.
Demikianlah sekelumit sejarah lagu sedih di Indonesia. Sempat dilarang beredar pada tahun 1988 oleh Menteri Penerangan Harmoko, yang notabene perpanjangan tangan istana kepresidenan, namun 34 tahun kemudian lagu cengeng mengalun di Istana Merdeka.
Lantas lagu cengeng apa yang menjadi favorit Kompasianers sekalian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H