Pertandingan Indonesia melawan Thailand di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada Kamis 29 Desember 2022 lalu, diwarnai peristiwa yang memalukan. Bus yang mengangkut pemain dan ofisial tim nasional Thailand mengalami insiden pelemparan, ketika memasuki kawasan GBK.
Sejumlah video yang beredar di media sosial menggambarkan, jalan masuk ke stadion utama dipenuhi oleh pendukung timnas Indonesia jelang pertandingan melawa Thailand. Dan ketika bus yang ditumpangi timnas Thailand melintas, dari tengah-tengah massa yang krodit munculah lemparan sejumlah benda  yang mengenai beberapa bagian bus, sehingga menimbulkan kerusakan.
Sejumlah pihak menyesalkan peristiwa pelemparan tersebut, termasuk pelatih timnas Indonesia Shin Tae-yong. Pelatih berkebangsaan Korea ini was-was pelemparan tersebut akan berbuntut sanksi berat bagi Indonesia, bahkan menurutnya, bukan tak mungkin Indonesia akan mendapat hukuman pertandingan tanpa penonton.
Bicara soal penonton, wajar jika animo masyarakat untuk menyaksikan pertandingan Indonesia vs Thailand sangat  tinggi. Maklum, ini adalah pertandingan pertama di Indonesia yang bisa disaksikan langsung oleh penonton di stadion, usai Tragedi Kanjuruhan.
Namun peristiwa pelemparan terhadap bus pengangkut timnas Thailand ini---meski tak menimbulkan korban ataupun kerusakan signifikan---tetap saja menjadi catatan dalam hal keamanan penyelenggaraan pertandingan. Karena walaupun peristiwa tersebut terjadi di luar stadion, namun yang menjadi korban adalah tim yang bertanding.
Tindakan kurang terpuji ini pun seolah menjadi ulangan atas kejadian Sabtu kelabu 1 Oktober 2022 lalu. Ingat, Tragedi Kanjuruhan tidak hanya peristiwa di dalam stadion semata, tetapi juga menyangkut peristiwa teror dan intimidasi yang dialami oleh tim Persebaya dari oknum suporter saat akan meninggalkan Stadion Kanjuruhan usai pertandingan.
Masih dalam Tragedi Kanjuruhan Selain teror di luar stadion, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan pernah membeberkan temuan terkait tindakan suporter sebagai berikut:
- Suporter tidak mengetahui atau mengabaikan larangan dalam memasuki area lapangan pertandingan, termasuk larangan melempar flare ke dalam lapangan.
- Suporter melakukan tindakan dan mengeluarkan ucapan-ucapan bersifat provokatif dan melawan petugas.
- Suporter melakukan tindakan melawan petugas (melempar benda-benda keras dan melakukan pemukulan terhadap pemain cadangan Arema dan petugas).
Karena itulah TGIPF Tragedi Kanjuruhan dalam salah satu rekomendasinya meminta agar Polri segera menindak lanjuti hasil penyelidikan terhadap suporter yang melakukan provokasi. Â Seperti yang awal mula memasuki lapangan sehingga diikuti oleh suporter yang lain, suporter yang melakukan pelemparan suar, melakukan perusakan mobil di dalam stadion, dan melakukan pembakaran mobil di luar stadion.
Sayangnya, sampai saat ini rekomendasi TGIPF Tragedi Kanjuruhan soal tindakan negatif suporter ini seolah belum ada tindak lanjutnya. Tindak lanjut atas Tragedi Kanjuruhan seperti telah berakhir dengan ditetapkannnya 6 orang tersangka dari PT Liga Indonesia Baru (LIB), Panpel Arema FC, serta polisi yang bertugas saat kejadian.
TGIPF Tragedi Kanjuruhan dan rekomendasinya seperti hanya menjadi macan kertas bagi persepakbolaan Indonesia, karena hingga saat ini belum ada tindak lanjut yang nyata dan signifikan dari butir-butir rekomendasi yang diberikan, kecuali (mungkin) penetapan tersangka yang sudah dilakukan oleh polisi.
Ketika Liga 1 dilanjutkan tanpa penonton, maka menjadi sulit untuk menilai perubahan perilaku suporter pasca Tragedi Kanjuruhan. Dan ketika penonton kembali diperbolehkan menonton langsung di stadion, terjadilah tindakan tercela pelemparan terhadap bus pemain lawan.