Apakah bapak-bapak yang punya ide pembedaan tarif ini tidak mencoba membandingkan dengan KAJJ, yang memilki kelas-kelas dan berbeda pelayanannya di tiap-tiap kelas tersebut? Apakah tidak pula mengacu pada moda transportasi lain seperti pesawat terbang yang juga berbeda pelayanannya di setiap kelas? Atau seperti di konser musik yang membedakan antara penonton kelas festival dengan kelas VIP?
Kalau pemerintah masih bersikukuh dengan rencana pemberlakuan kebijakan tarif KRL untuk orang kaya itu, bagaimana kemudian pelaksanaannya di lapangan?
Saya pun pernah membaca dalam sebuah warta, Presiden Joko Widodo pada 2019 pernah dalam sebuah rapat terbatas (Ratas) memberi arahan kawasan Jabodetabek harus memiliki sistem transportasi massal yang mampu mendorong masyarakat lebih banyak menggunakan angkutan umum. Hal itu untuk menekan tingkat kemacetan yang menimbulkan dampak kerugian materil maupun non-materil.
Nah, kalau orang-orang kaya (yang punya mobil pribadi) itu diwajibkan membayar mahal tapi tak ada kompensasi lebih atas tarif mahal yang dibayarkan, apalagi layanannya disamakan dengan orang non kaya, bukan tak mungkin orang-orang kaya ini mengabaikan KRL dan lebih memilih naik mobil mereka sendiri.
Nah, mumpung sekarang presidennya masih sama dengan yang pada tahun 2019 mendorong sistem transportasi Jabodetabek agar mampu menekan kemacetan, tentunya pak presiden masih bisa menolak wacana menteri perhubungannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H