Kemarin, dalam perjalanan menuju Jakarta untuk bekerja, sekira pukul 07:00 ponsel saya berdering. Ternyata ibu saya yang menelepon.
"Kamu berangkat ke Jakarta, Nak?
"Iya, memangnya kenapa, Mah?"
"Bukannya disuruh WFH ya? Karena mau ada badai"
"Nggak, ah. Dari kantor nggak ada instruksi WFH"
Saya menyimpulkan, ibu saya berasumsi bahwa saya termasuk pegawai yang terkena anjuran untuk bekerja dari rumah alias work from home (WFH), seperti dinyatakan oleh Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, sehari sebelumnya.
Pada saat menyatakan anjuran tersebut, Heru Budi juga menyebut pihak Pemprov DKI Jakarta bersama tim BNPB beserta BRIN dan TNI AU direncanakan bakal melakukan modifikasi cuaca.
Nyatanya, sepanjang hari Rabu 28 Desember kemarin, cuaca Jakarta pada pagi hari cerah berawan. Kemudian pada siang hari menjelang Dzuhur, hujan ringan pun mulai turun dan konsisten membasahi tanah Jakarta hingga malam hari.
Pun demikian halnya dengan pagi ini, Kamis 29 Desember. Cuaca di seputar Jabodetabek juga sama seperti kemarin, cenderung dilanda hujan ringan dan berawan mendung.
Apakah badai yang 'batal' melanda Jakarta pada Rabu kemarin adalah dampak dari modifikasi cuaca? Ternyata bukan. Karena BPBD DKI Jakarta menyatakan teknik modifikasi cuaca (TMC) baru akan dilakukan jika kondisi cuaca semakin ekstrem, dan harus mengacu pada hasil analisis BMKG.
Jika kondisi cuaca Jakarta dinilai masih 'aman-aman saja', maka TMC tidak akan dilakukan karena tidak akan bermanfaat. Baiklah, kita tunggu saja perkembangannya.
Yang jelas, prediksi badai Jakarta 28 Desember yang ternyata tak terjadi tersebut, juga menarik perhatian parlemen. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Dia mengatakan, BMKG dan BRIN akan dipanggil oleh komisi yang terkait dengan kedua badan tersebut, untuk menjelaskan soal prediksi badai 28 Desember 2022.
Dasco menyatakan, pemanggilan tersebut untuk menyinkronkan dan mengintegrasikan data dari kedua lembaga riset itu, sebelum informasi yang dimiliki disebarluaskan kepada masyarakat. Menurut Dasco, BRIN dan BMKG tidak boleh membuat warga waswas karena cuaca, karena BRIN dan BMKG berbeda pernyataan.
Akan tetapi, dalam sejumlah warta yang saya baca, BRIN melalui salah satu penelitinya dalam akun twitter @EYulihastin menyebutkan, potensi hujan ekstrem dan badai dahsyat berdasarkan analisis data dari Satellite Early Warning System atau Sadewa.
Adapun BMKG alih-alih menggunakan istilah badai, Kepala BMKG Dwikornita Karnawati mengatakan, pihaknya memilih menggunakan istilah hujan lebat dan hujan ekstrem. Jadi, pernyataan dua lembaga tersebut tetap memiliki benang merah, yakni hujan ekstrem.
Selama dua lembaga tersebut menggunakan metode ilmiah modern dalam penyampaian hasil risetnya kepada masyarakat, tentunya tidak masalah, kan? Bukankah prakiraan terjadinya cuaca ekstrem merupakan hal yang lazim di Indonesia. Â
Cuma, apakah memang hujan ekstrem harus dihadapi dengan bekerja dari rumah? Dan apakah perlu juga untuk dibahas secara khusus di parlemen?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H