Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Catatan di Akhir Putaran Pertama Liga 1 2022/2023

25 Desember 2022   15:31 Diperbarui: 25 Desember 2022   20:15 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya, putaran pertama kompetisi Liga 1 2022/2023 pun terselesaikan sudah. Hampir semua tim sudah menyelesaikan 17 pertandingan, kecuali PSM, Persib, Persija, PSIS, Bhayangkara FC, PSS, serta Barito Putra.

Adapun Persija masih memiliki 2 laga tunda, yakni melawan PSS Sleman yang tertunda di awal babak ke-2 akibat hujan deras, serta melawan Persib Bandung yang tak jadi dilaksanakan, karena berdekatan dengan Tragedi Kanjuruhan. Tak hanya Persib vs Persija, laga PSIS Semarang melawan Bhayangkara FC juga menjadi belum jelas jadwalnya usai berdekatan dengan Tragedi Kanjuruhan.

Hingga tulisan ini dibuat, PT Liga Indonesia Baru (LIB) masih belum merilis secara pasti, kapan jadwal pelaksanaan pertandingan tunda Persib Bandung vs Persija Jakarta, PSIS Semarang vs Bhayangkara FC, dan Barito Putera vs PSM Makassar, termasuk sisa laga PSS vs Persija. Namun Direktur Operasional LIB Sudjarno, seperti dikutip sejumlah media pernah mengisyaratkan laga tunda akan digelar pada jeda kompetisi.

Sejalan dengan usainya putaran pertama Liga 1 2022/2023, saya merangkum sejumlah poin yang patut menjadi renungan sekaligus perhatian bagi para pemangku kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan pertandingan Liga 1.

Tragedi Kanjuruhan

Inilah tragedi terkelam dalam sejarah persepakbolaan Indonesia. Seolah tak mau belajar dari tewasnya dua orang pendukung Persib usai berdesak-desakan dalam laga Piala Presiden di Stadion Gelora Bandung Lautan Api pada pertengahan tahun ini, pertandingan larut malam tetap digelar dengan kehadiran penonton, hingga akhirnya peristiwa naas itu pun terjadi.

Tanggal 1 Oktober 2022 akan selalu dikenang dalam sejarah persepakbolaan Indonesia. Pada Sabtu malam kelabu itu, pertandingan yang berjalan menarik hingga peluit panjang dibunyikan, sekejap berubah menjadi labirin kematian yang memilukan, dan harus mengorbankan 135 jiwa.

Peristiwa ini pun menjadi perhatian dunia, termasuk dari Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA), hingga Presiden FIFA Gianni Infantino secara khusus bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada 18 Oktober 2022 di Istana Merdeka.

Transformasi Sepak Bola Indonesia

Meski Tragedi Kanjuruhan telah mengakibatkan korban jiwa dalam jumlah besar, namun  Indonesia berhasil lolos dari sanksi FIFA. Alih-alih menjatuhkan hukuman, Gianni Infantino bersama Presiden Jokowi menyepakati untuk melakukan transformasi sepak bola Indonesia secara menyeluruh.

Dalam hal ini, seluruh pertandingan di kompetisi sepak bola Indonesia harus berjalan sesuai standard keamanan yang ditetapkan oleh FIFA, agar pemain dan penonton terjamin keselamatannya. Selain itu, Indonesia dan FIFA juga sepakat untuk menerapkan teknologi yang akan membantu memitigasi aneka potensi yang membahayakan penonton dan pemain.

Terminologi transformasi ini memang terdengar seperti sebuah 'angin surga' usai Tragedi Kanjuruhan. Namun bagaimana pelaksanaannya di lapangan?

Sejak dibentuk pada 13 Oktober 2022 lalu, Satgas Transformasi Sepak Bola Indonesia belum memunculkan gebrakan-gebrakan yang menjadi pengejawantahan transformasi itu sendiri. Entah, mungkin karena tidak ada patokan atau batas waktu yang jelas dan tegas kapan tugas-tugas transformasi ini harus selesai.

Amat disayangkan jika Satgas ini masih belum menunjukkan progres kinerja yang signifikan, karena di dalamnya diisi unsur-unsur yang terkait dengan penyelenggaraan pertandingan sepak bola, yakni PSSI, FIFA, AFC, Kemenpora, Kemendagri, KemenPUPR, serta Kemenkes.

Dan dengan berakhirnya putaran pertama Liga 1, maka kerja satgas ini akan semakin berpacu dengan waktu, alias makin dekat dengan putaran kedua, yang dijadwalkan akan bergulir pada 14 Januari mendatang.

Jika memang amanat transformasi sepak bola Indonesia yang disepakati oleh Presiden Joko Widodo dan Presiden FIFA Gianni Infantino adalah memastikan keselamatan pemain dan penonton, maka tentu Satgas harus mampu segera mengejawantahkan amanat itu.

Kecuali jika putaran kedua akan dijalankan tanpa penonton dengan alasan penyelenggara belum siap dengan kehadiran penonton, meski pertandingannya tetap sistem kandang tamdang.

Sistem Gelembung

Sebagai langkah darurat untuk melanjutkan putaran pertama Liga 1 yang hiatus sekira 2 bulan usai Tragedi Kanjuruhan, LIB melanjutkan kompetisi sisa putaran pertama dengan sistem bubble atau gelembung, alias terpusat di satu wilayah dan tanpa dihadiri penonton. Dalam hal ini, Jawa Tengah dan Yogyakarta ditunjuk menjadi lokasi penyelenggaraan dengan 4 stadion sebagai venue.

Menurut Direktur Utama LIB Ferry Paulus, kebijakan tanpa penonton tersebut dikeluarkan, agar LIB dan klub bisa memuluskan implementasi regulasi-regulasi baru pasca tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang. Sementara Jawa Tengah dipilih, karena letak geografisnya yang di tengah Pulau Jawa dan memiliki infrastruktur memadai yang sudah diverifikasi oleh Kementerian PUPR.

Dalam pernyataannya pada awak media, Ferry Paulus pun menegaskan bahwa semua tim Liga 1 2022-2023 setuju dengan skema gelembung itu.

Jelang usainya putaran pertama, LIB mengisyaratkan bahwa sistem kandang-tandang berpotensi dilakukan pada putaran kedua. Namun yang perlu diperhatikan sekaligus dipertanyakan adalah, apakah pada putaran kedua nanti penonton sudah boleh hadir di stadion?

Biarlah waktu dan para pemangku kepentingan yang menjawabnya.  

Kinerja Wasit dan Asisten Wasit

Kinerja Korps Baju Hitam juga (kembali) menjadi sorotan di putaran pertama Liga 1. Adapun tiga keputusan kontroversial yang saya soroti kali ini adalah keputusan wasit dalam pertandingan Persebaya vs Persik, Borneo FC vs PSS, serta Borneo FC vs PSM.

Dalam pertandingan Persebaya melawan Persik, menjelang akhir pertandingan winger Persebaya Ahmad Nufiandani dalam tayangan terlihat dilanggar kiper Persik Dikri Yusron, di dalam kotak penalti. Namun wasit Ginanjar Rahman yang posisinya tak jauh dari insiden kontak fisik tersebut, bergeming alias tak meniup peluit tanda pelanggaran.

Lalu dalam pertandingan Borneo FC melawan PSS, wasit Gideon F Dapaherang tak mengesahkan gol penyerang Borneo FC Matheus Pato, setelah hakim garis mengangkat bendera tanda pemain asal Brasil itu dalam posisi off side sebelum menceploskan bola ke gawang. Namun dalam tayangan ulang di sejumlah situs yang direkayasa dengan garis off side imajiner, terlihat bahwa Pato tidak lebih dekat ke gawang daripada para pemain PSS.

Dalam pertandingan Borneo FC melawan PSM, kiper PSM Reza Arya terlihat melanggar Matheus Pato di dalam kotak penalti, wasit Steven Yubel Polii sempat meniup peluit menghentikan pertandingan. Namun setelah berdiskusi dengan asisten wasit dan asisten wasit tambahan, alih-alih memberi hukuman penalti, wasit hanya mengganjar PSM dengan tendangan bebas di dpan kotak penalti.

Perbaikan kualitas dan kinerja wasit pun kembakli mendesak untuk dilakukan di kompetisi sepak bola Indonesia saat ini. Dalam hal ini saya setuju dengan opini dari bos non-aktif Persebaya Azrul Ananda, yang disampaikan dalam blog pribadinya. Ia menyuratkan pesan perubahan yang harus dilakukan oleh PSSI, sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam perwasitan di Indonesia.

Opini Azrul Ananda soal perwasitan di Liga 1. (Sumber foto: Tangkapan layar Happywednesday.id)
Opini Azrul Ananda soal perwasitan di Liga 1. (Sumber foto: Tangkapan layar Happywednesday.id)
Apalagi, soal perbaikan perwasitan ini, tidak termasuk dalam poin-poin penting transformasi sepak bola nasional. Karena itu, hal ini menjadi salah satu pekerjaan besar bagi PSSI, jika memang masih punya spirit dalam perbaikan persepak bolaan nasional.

Nah secara garis besar, usai berakhirnya putaran pertama Liga 1 (minus pertandingan tunda), subjektivitas saya mengatakan transformasi sepak bola nasional masih berjalan sangat lambat.

Yang dikhawatirkan kita bersama adalah, pemangku kepentingan tak lagi punya semangat yang menggelora dalam memperbaiki karut marutnya penyelenggaraan pertandingan sepak bola di Indonesia.

Lebih parah lagi jika Tragedi Kanjuruhan hanya dianggap 'hangat-hangat bubur ayam', alias hanya berakhir dengan ditetapkannya enam orang tersangka. Ini masih jauh dari rekomendasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruihan. 

Nyatanya hingga saat ini, rekomendasi dari TGIPF pun belum benar-benar ditindaklanjuti oleh pemangku kepentingan terkait. Contohnya, rekomendasi pengunduran diri ketua umum PSSI dan jajaran komite eksekutif sebagai bentuk tanggung jawab moral, sama sekali tak dihiraukan.

Intinya, penyelenggara sepak bola Indonesia masih jauh dari kata melaksanakan dengan sungguh-sungguh transformasi sepak bola Indonesia yang  dulu digaung-gaungkan. Ini memprihatinkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun