Biarlah waktu dan para pemangku kepentingan yang menjawabnya. Â
Kinerja Wasit dan Asisten Wasit
Kinerja Korps Baju Hitam juga (kembali) menjadi sorotan di putaran pertama Liga 1. Adapun tiga keputusan kontroversial yang saya soroti kali ini adalah keputusan wasit dalam pertandingan Persebaya vs Persik, Borneo FC vs PSS, serta Borneo FC vs PSM.
Dalam pertandingan Persebaya melawan Persik, menjelang akhir pertandingan winger Persebaya Ahmad Nufiandani dalam tayangan terlihat dilanggar kiper Persik Dikri Yusron, di dalam kotak penalti. Namun wasit Ginanjar Rahman yang posisinya tak jauh dari insiden kontak fisik tersebut, bergeming alias tak meniup peluit tanda pelanggaran.
Lalu dalam pertandingan Borneo FC melawan PSS, wasit Gideon F Dapaherang tak mengesahkan gol penyerang Borneo FC Matheus Pato, setelah hakim garis mengangkat bendera tanda pemain asal Brasil itu dalam posisi off side sebelum menceploskan bola ke gawang. Namun dalam tayangan ulang di sejumlah situs yang direkayasa dengan garis off side imajiner, terlihat bahwa Pato tidak lebih dekat ke gawang daripada para pemain PSS.
Dalam pertandingan Borneo FC melawan PSM, kiper PSM Reza Arya terlihat melanggar Matheus Pato di dalam kotak penalti, wasit Steven Yubel Polii sempat meniup peluit menghentikan pertandingan. Namun setelah berdiskusi dengan asisten wasit dan asisten wasit tambahan, alih-alih memberi hukuman penalti, wasit hanya mengganjar PSM dengan tendangan bebas di dpan kotak penalti.
Perbaikan kualitas dan kinerja wasit pun kembakli mendesak untuk dilakukan di kompetisi sepak bola Indonesia saat ini. Dalam hal ini saya setuju dengan opini dari bos non-aktif Persebaya Azrul Ananda, yang disampaikan dalam blog pribadinya. Ia menyuratkan pesan perubahan yang harus dilakukan oleh PSSI, sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam perwasitan di Indonesia.
Apalagi, soal perbaikan perwasitan ini, tidak termasuk dalam poin-poin penting transformasi sepak bola nasional. Karena itu, hal ini menjadi salah satu pekerjaan besar bagi PSSI, jika memang masih punya spirit dalam perbaikan persepak bolaan nasional.
Nah secara garis besar, usai berakhirnya putaran pertama Liga 1 (minus pertandingan tunda), subjektivitas saya mengatakan transformasi sepak bola nasional masih berjalan sangat lambat.
Yang dikhawatirkan kita bersama adalah, pemangku kepentingan tak lagi punya semangat yang menggelora dalam memperbaiki karut marutnya penyelenggaraan pertandingan sepak bola di Indonesia.
Lebih parah lagi jika Tragedi Kanjuruhan hanya dianggap 'hangat-hangat bubur ayam', alias hanya berakhir dengan ditetapkannya enam orang tersangka. Ini masih jauh dari rekomendasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruihan.Â