Faktor kedua yang membuat saya sentimental, adalah karena saya pernah bekerja sebagai jurnalis di salah satu media ekonomi terbitan ibu kota, yang karena terdampak perubahan zaman akhirnya harus bertransformasi menjadi media online. Dan akhirnya, media tempat saya pernah bekerja itu pun saat ini hanya tinggal nama, karena pemodalnya saat itu tidak mau meneruskan bisnis medianya.
Inilah yang membuat saya sering merasa terbawa perasaan, jika mendengar kabar ada surat kabar yang harus berhenti terbit. Meskipun bertransformasi digital menyesuaikan perkembangan zaman, namun berhenti beroperasinya media cetak tentu membawa konsekuensi perampingan karyawan, misalnya di divisi sirkulasi yang menangani pengiriman materi ke percetakan dan ke agen-agen penyalur. Di era digital, jobdesc seperti ini tentu sudah tak dibutuhkan lagi.
Dan dengan berhenti terbitnya Republika versi cetak, maka menambah daftar panjang koran cetak yang tinggal nama, di Tanah Air. Sebelum Republika, pada awal 2021 lalu, tiga media cetak koran, yakni Suara Pembaruan, Koran Tempo, serta Indopos, terpaksa harus berhenti terbit, akibat kian masifnya digitalisasi dalam ranah media massa.
Dan sekarang, koran Republika pun harus menerima kenyataan harus beradaptasi dengan perkembangan atmosfer digital yang masif, menjelang hari ulang tahunnya ke-30.
Adapun pemilik bisnis media koran yang masih terbit saat ini, tentu juga harus memutar otak agar korannya masih bisa terbit dan eksis dalam dunia media di Indonesia. Salah satunya dengan mengurangi jumlah halaman. Ataupun membuat versi koran digital.
Akan tetapi, hal menarik diungkapkan oleh seorang kawan yang pernah bekerja di penerbitan media. Dia bilang meski sejumlah media cetak saat ini sudah memiliki versi koran digital, namun nyatanya versi digital tersebut belum banyak diminati oleh pembaca.
Ambil contoh Republika.id yang merupakan versi digital berbayar alias e-paper dari koran Republika. Laman ini nyatanya kurang diminati oleh pembaca Republika. Mereka lebih memilih untuk membaca website non-langganan Republika, yakni Republika.co.id, sehingga trafik pembaca Republika.co.id lebih tinggi daripada Republika.id
Masih menurut penjelasan kawan saya, harian  Kompas yang punya basis pelanggan kuat dan loyal saja, sampai sekarang masih sulit untuk menumbuhkan trafik pembaca di koran digitalnya, yakni Kompas.id. Meskipun ada promosi gratis berlangganan 1 bulan yang ditawarkan untuk pembaca Kompas.id, namun nyatanya masih belum ampuh mendongkrak jumlah pembaca.
Alih-alih membaca koran digital, pembaca lebih memilih untuk membaca berita di website online media grup Kompas, yakni Kompas.com.
Mengapa demikian?
Menurut analisis sederhana saya, jika pembaca dihadapkan pada versi online yang gratis dengan yang berbayar, maka pembaca akan berfikir "Jika membaca berita online saja harus berlangganan, apa bedanya dengan berlangganan koran cetak? Kan media online identik dengan informasi yang disajikan cuma-cuma tanpa harus membayar lagi"