Teori Bloom yang saya sebutkan di atas pun berlaku pada Yamagami. Sejumlah warga Jepang yang mengetahui alasan Yamagami menembak Abe, menyatakan empati padanya. Umumnya, mereka yang berempati pada pria berusia 41 tahun itu, mengaku merasakan pula apa yang ada di pikiran Yamagami, karena terkait dengan penderitaan mereka sendiri selama tiga dekade kelesuan ekonomi dan gejolak sosial.
Mundur agak jauh dari kasus pembunuhan Shinzo Abe dan Brigadir J, empati dan dukungan pada terdakwa juga pernah kita temukan pada sidang kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Sleman
Dalam kasus ini, anggota Kopasssus TNI AD Serda Ucok Tigor Simbolon adalah terdakwa yang diduga sebagai pelaku penembakan keempat tahanan. Saat itu sejumlah masyarakat menyatakan memberi dukungan padanya, karena yang dihabisi nyawanya adalah sosok yang dikenal masyarakat sebagai preman.
Sehingga tindakan Ucok yang terlibat menghabisi Yohanes Juan Manbait, Gamaliel Yermiyanto Rohi Riwu, Adrianus Candra Galaja, dan Hendrik Benyamin Sahetapy Engel, dianggap sebagai bagian dari tindakan memberantas premanisme.
Kembali ke soal pembunuhan Joshua, sekuat apapun dukungan terhadap Bharada E oleh masyarakat yang berempati padanya, tapi toh dalam kasus kematian Brigadir Joshua ini, Richard Eliezer Pudihang Lumia, secara sah dan meyakinkan telah ikut dalam upaya menghilangkan nyawa Brigadir Joshua.
Meskipun dirinya melakukan perbuatannya tersebut atas perintah atasannya yaitu terdakwa Ferdy Sambo, namun terdakwa Richard Eliezer tetaplah masuk kategori sebagai pembunuh Brigadir Joshua.
Dalam hal ini, tentunya putusan vonis pada Bharada E harus didasarkan pada landasan hukum positif. Bukan karena suara dari luar pengadilan.
Meski para pendukung Bharada E menilai seharusnya si polisi ganteng ini divonis bebas sesuai Pasal 51 ayat 1 KUHP berbunyi, "Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.", namun sejatinya suara-suara ini memang semestinya hanya terdengar di luar ruang pengadilan, bukan di dalam ruang pengadilan apalagi sampai mempengaruhi pihak-pihak yang bersidang.
Ini penting, agar sidang pengadilan tetap terjaga kesakralan dan marwahnya sebagai pelaksana dan penentu keadilan yang sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H