Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Curhat di Medsos Hanya Dilakukan Kalangan Zilenial?

13 November 2022   20:27 Diperbarui: 14 November 2022   11:50 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nahan nangis itu gak susah, yang susah itu nahan nangis terus orang nanya kenapa

Kata-kata di atas merupakan status WhatsApp anak saya, kemarin. For your information saja, anak saya ini baru menginjak 10 tahun usianya saat ini.

Ketika saya tanya, apakah dia menulis status itu karena mencerminkan isi hatinya, ia menjawab tidak. Ah, syukurlah. Mungkin ia hanya menuliskan kata-kata yang sempat ia rekam dalam pendengaran, penglihatan, serta pikirannya.

Tak bisa dipungkiri memang, perkembangan era digital dan media sosial, menjadikan kita saat ini lazim menemukan kalimat-kalimat yang berhubungan dengan curahan isi hati. Baik yang menggambarkan kegalauan, maupun pujian dan motivasi.

Bagi yang memiliki media sosial Twitter, Tiktok, ataupun Instagram, pasti pernah menemukan pengguna yang memposting sebuah gambar, kemudian diberi caption yang terkait dengan percintaan, meski pada akhirnya jadi nggak nyambung antara gambar dengan caption-nya.

Misalnya ada seseorang berfoto narsis di Instagram, lalu diberi caption "Kalau bawa perasaan, enaknya pakai koper atau pake ransel ya?" Atau misalnya foto pemandangan pantai lalu diberi caption  "Kenapa air laut itu asin? Soalnya yang manis itu kamu, iya kamu...."

Okelah, postingan seperti itu mungkin  just for fun saja, alias sama seperti yang di-posting oleh anak saya di status WhatsApp-nya.

Namun tak jarang pula kita temui fenomena media sosial sebagai sarana untuk mencurahkan isi hati yang sesungguhnya, alias curhat digital.

Jika kita bicara soal curhat, tentu tak lepas dari fakta bahwa manusia dengan segenap akal beserta pengetahuan yang dimilikinya, menjadi makhluk yang senantiasa mencari cara agar suaranya terdengar oleh makhluk lain, dalam konteks makhluk sosial.

Dan hal ini pun didukung oleh perkembangan teknologi penyampaian pesan. Dari mulai pesan-pesan yang ditulis di dalam gua pada masa prasejarah, lalu berkembang menjadi telegraf hingga satelit, dan saat ini kita sampai pada era media sosial.

Media sosial saat ini pun menjelma menjadi sebuah alat komunikasi bagi manusia yang tidak bisa bercerita secara langsung kepada sesama manusia, namun ingin suaranya didengar oleh orang lain.

Hal ini kemudian merujuk pada data riset yang dilakukan oleh NYTimes bahwa sebanyak 81% alasan orang-orang membagikan cerita pribadinya di media sosial karena mereka ingin berinteraksi sosial  dan menyebarkan pendapatnya sehingga didengarkan oleh publik kemudian mereka mendapatkan respons berupa komen.

Ada beberapa dorongan yang membuat seseorang memilih curhat di media sosial, salah satunya rasa kemarahan dan keterlukaan yang membuat seseorang memerlukan validasi eksternal, berupa ungkapan dukungan ataupun ungkapan simpati. 

Dengan melakukan curhat di media sosial, mampu memberikan perasaan lega dan bahagia jika feedback atau balasan dari netizen sesuai ekspektasinya.

Kebutuhan untuk didengarkan ternyata menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia. Bahkan Dale Carnegie, seorang penulis Amerika, dalam penelitiannya menunjukan bahwa kebutuhan manusia untuk didengarkan setara dengan kebutuhan untuk makan, sehat, perlindungan, dan seks.

Nah, belakangan ini kerap kita temukan stereotip bahwa curhat di media sosial kerap dilakukan oleh kalangan generasi Z. Asumsi ini muncul atas dasar hipotesis bahwa generasi Z merupakan generasi pertama yang memiliki akses penuh selama 24 jam dalam 7 hari dengan internet termasuk sosial media, sejak mereka lahir.

Dari hipotesis tersebut pun timbul pertanyaan, benarkah curhat di media sosial menunjukkan generasi yang lahir di rentang tahun 1995 hingga 2010---dan generasi yang lahir sesudahnya yakni generasi alpha---ini merupakan generasi yang bermental rapuh?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, yang jelas belakangan ini kita bisa dengan mudah menemukan fenomena generasi Z menjadikan dunia maya bak dunia nyata.

Dalam hal mengumbar pengalaman personalnya di medsos, mungkin Generasi Z bisa dikatakan lebih eksplosif dibanding generasi sebelumnya. Kadang nyaris tanpa saringan. 

Perasaan bahagia, sedih, marah, hingga pengalaman cintanya bisa dengan mudah ditumpahkan di story WA dan Instagram, atau bahkan jadi postingan reel dan TikTok. Belum lagi dengan puisi atau kutipan tentang cinta dan penderitaan yang rajin mereka repost.

Media sosial pun menjadi media komunikasi yang lekat dengan kehidupan Gen Z. Mereka bahkan bisa menghabiskan waktu berjam-jam dalam sehari menggunakan media sosial. 

Berdasarkan laporan We Are Social, semakin muda usia maka semakin lama durasi dalam menggunakan media sosial. 

Laporan tersebut mencatat, pada kelompok usia 16-24 tahun atau termasuk Gen Z rata-rata menggunakan media sosial dengan durasi terlama. Pada kategori perempuan di rentang usia ini rata-rata menghabiskan 193 menit per hari untuk bermain media sosial, sedangkan laki-laki selama 163 menit per hari.

Selama dua tahun belakangan, masyarakat dihadapkan dengan pandemi Covid-19. Situasi ini memaksa seseorang untuk berinteraksi secara online dengan memanfaatkan media sosial. Tak hanya untuk berinteraksi, media sosial juga kerap digunakan untuk berbagi kehidupan sehari-hari. 

Tak sedikit Gen Z yang mengekspresikan diri melalui unggahan foto maupun video, serta berbagi kehidupan pribadinya di media sosial. Kendati, terkadang apa yang terlihat di media sosial tidak selalu berbanding lurus dengan kehidupan nyata.

Soal curhat di media sosial, kita bisa mengambil contoh beberapa waktu lalu, viral di media sosial TikTok, sebuah lagu yang reffrainnya sebagai berikut:

Begitu sulit lupakan Rehan
Apalagi Rehan baik
Begitu susah cari gantinya
Cukup dikenang saja....

Aslinya, lagu itu berjudul Cukup Dikenang Saja yang dipopulerkan The Junas Monkey pada tanun 2020 lalu, dan menjadi lagu tema sinetron Anak Band.

Adalah seorang gadis asal Lembata, Nusa Tenggara Timur bernama Intan Sriastuti mencoba meng-cover lagu itu di platform TikTok, dengan gaya mendayu dan terdengar seperti tercekat, seolah menghayati lirik lagu tersebut.

Namun lirik lagu Cukup Dikenang Saja itu pun sedikit diubah oleh Intan, menjadi dengan menyebutkan nama Rehan.

Saya memang kurang paham dunia peralgoritmaan media sosial. Namun bisa jadi video cover lagu itu menjadi viral karena suara mendayu Intan yang bisa dibilang mirip anak kecil. Padahal, Intan merupakan wanita kelahiran tahun 2001, yang berarti sudah memiliki suara standar wanita dewasa.

Kembali ke lagu Begitu Sulit Lupakan Rehan. Dalam sebuah talkshow di televisi swasta yang menghadirkan Intan sebagai narasumber, para pembawa acara---termasuk saya---terkejut ketika Intan mengatakan Rehan dalam lagu yang dinyanyikannya bukanlah nama yang ada di dunia nyata. 

Lagu yang populer itu dikatakan Intan, merupakan curahan hatinya tentang sesosok lelaki yang menurutnya memenuhi kriteria sebagai lelaki yang didambakan oleh para perempuan, namun lelaki itu hanya hadir dalam mimpinya.

Dan dalam alam bawah sadarnya itu, Intan menggambarkan Rehan sebagai sosok lelaki idamannya. Karena itu ia menjadi bucin dari Rehan. Bahkan akun TikToknya pun diberi nama @binirehan1.

Nah, jika dilihat dari tahun kelahirannya 2001, maka Intan tentu termasuk dalam kategori generasi Z, atau zilenial. 

Lantas apakah fenomena yang diwakili oleh Intan ini menunjukkan kualitas mental Gen Z yang rapuh, khususnya akibat drama-drama percintaan?

Jawabannya adalah tidak. Karena tentu tidak bisa digeneralisasi jika generasi Z saja yang identik dengan kerapuhan hati.

Sejatinya generasi baby boomers, generasi X, dan generasi Y juga bukan tidak mungkin pernah terjebak pula dalam permasalahan cinta, pertemanan, keluarga, bisnis, hingga dunia kerja. Ataupun keresahan yang dirasakan saat melihat sebuah fenomensa sosial tertentu ataupun isu-isu terkini di masyarakat, dan menumpahkannya di media sosial. Karena media sosial pada dasarnya bukan milik generasi tertentu saja.

Kalaupun tidak ditumpahkan di media sosial, mungkin diceritakan secara gamblang--sekaligus dibahas--di platform Kompasiana. Karena menurut saya, Kompasiana juga salah satu media untuk menampung curhat para Kompasianer sekalian, termasuk saya.

Begitu bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun