Media sosial saat ini pun menjelma menjadi sebuah alat komunikasi bagi manusia yang tidak bisa bercerita secara langsung kepada sesama manusia, namun ingin suaranya didengar oleh orang lain.
Hal ini kemudian merujuk pada data riset yang dilakukan oleh NYTimes bahwa sebanyak 81% alasan orang-orang membagikan cerita pribadinya di media sosial karena mereka ingin berinteraksi sosial  dan menyebarkan pendapatnya sehingga didengarkan oleh publik kemudian mereka mendapatkan respons berupa komen.
Ada beberapa dorongan yang membuat seseorang memilih curhat di media sosial, salah satunya rasa kemarahan dan keterlukaan yang membuat seseorang memerlukan validasi eksternal, berupa ungkapan dukungan ataupun ungkapan simpati.Â
Dengan melakukan curhat di media sosial, mampu memberikan perasaan lega dan bahagia jika feedback atau balasan dari netizen sesuai ekspektasinya.
Kebutuhan untuk didengarkan ternyata menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia. Bahkan Dale Carnegie, seorang penulis Amerika, dalam penelitiannya menunjukan bahwa kebutuhan manusia untuk didengarkan setara dengan kebutuhan untuk makan, sehat, perlindungan, dan seks.
Nah, belakangan ini kerap kita temukan stereotip bahwa curhat di media sosial kerap dilakukan oleh kalangan generasi Z. Asumsi ini muncul atas dasar hipotesis bahwa generasi Z merupakan generasi pertama yang memiliki akses penuh selama 24 jam dalam 7 hari dengan internet termasuk sosial media, sejak mereka lahir.
Dari hipotesis tersebut pun timbul pertanyaan, benarkah curhat di media sosial menunjukkan generasi yang lahir di rentang tahun 1995 hingga 2010---dan generasi yang lahir sesudahnya yakni generasi alpha---ini merupakan generasi yang bermental rapuh?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, yang jelas belakangan ini kita bisa dengan mudah menemukan fenomena generasi Z menjadikan dunia maya bak dunia nyata.
Dalam hal mengumbar pengalaman personalnya di medsos, mungkin Generasi Z bisa dikatakan lebih eksplosif dibanding generasi sebelumnya. Kadang nyaris tanpa saringan.Â
Perasaan bahagia, sedih, marah, hingga pengalaman cintanya bisa dengan mudah ditumpahkan di story WA dan Instagram, atau bahkan jadi postingan reel dan TikTok. Belum lagi dengan puisi atau kutipan tentang cinta dan penderitaan yang rajin mereka repost.
Media sosial pun menjadi media komunikasi yang lekat dengan kehidupan Gen Z. Mereka bahkan bisa menghabiskan waktu berjam-jam dalam sehari menggunakan media sosial.Â