Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Kisah KDRT, Lagu Cengeng, dan Istana Kepresidenan

16 Oktober 2022   06:17 Diperbarui: 16 Oktober 2022   06:34 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Headline harian Kompas 25 Agustus 1988 yang memberitakan larangan memutar lagu-lagu cengeng. (Sumber foto: Hai.grid.id)

Berulang kali aku mencoba selalu untuk mengalah

Demi keutuhan kita berdua walau kadang sakit

Entah mengapa, ketika membaca atau menonton pemberitaan seputar konflik rumah tangga penyanyi Lesti Kejora dan suaminya, pesinetron Rizky Billar, saya langsung teringat akan lirik lagu itu.

Ya, lagu itu bertajuk Hati Yang Luka, digubah oleh Obbie Messakh, dan dipopulerkan Betharia Sonata. Entah  kebetulan atau tidak, jika Betharia pernah mengatakan ketika menyanyikan lagu itu, terutama di bagian lirik "Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku", dia teringat pada konflik ayah dan ibunya sendiri, yang membuatnya semakin menghayati isi dari lagu tersebut.

Dan beberapa tahun kemudian, kisah yang mirip dengan lagu Hati Yang Luka terjadi pula pada Betharia sendiri, yakni dalam biduk rumah tangganya dengan aktor film Willy Dozan. Namun seperti dikutip oleh Kompas.com dari sebuah tayangan program talkshow, Betharia menegaskan bukan tamparan secara fisik yang dia peroleh dari mantan pasangannya, melainkan hati yang tertampar. Sampai akhirnya dia memutuskan berpisah dengan mantan suaminya itu.

Nyatanya, lagu Hati Yang Luka masih tetap eksis didengar dan diperdengarkan hingga kini, dan mungkin akan terus terngiang seiring dengan masih maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia. Sebagai catatan, menurut data dari KemenPPPA, hingga Oktober 2022 sudah ada 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia, dan sebanyak 79,5% atau 16.745 korban adalah perempuan.

Sebelumnya, Simfoni PPA mencatat tahun 2020 terdapat 12.179 kasus KDRT, dan pada 2021 meningkat menjadi 13.182 kasus. Itu hanyalah yang tercatat, dan tidak menutup kemungkinan banyak kasus yang tak tercatat. 

Sejumlah literasi menyebut, KDRT erat kaitannya dengan budaya patriarki, yaitu budaya yang menempatkan kekuasaan laki-laki di atas perempuan. Menurut Sylvia Walby, patriarki sebagai sebuah sistem dimana laki-laki mendominasi, melakukan opresi dan melakukan eksploitasi atas perempuan. 

Dalam hal ini, budaya patriarki menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua (the second man), sementara laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan.

Ethnomusicologist Philip Yampolsky pun pernah mengaitkan lagu Hati Yang Luka dengan budaya patriarki dan posisi sulit perempuan Indonesia saat mengalami tindak KDRT. Sehingga kembali ke rumah orang tua menjadi salah satu pilihan.

But it seems to me to be quite realistic: divorced or abandoned women in Indonesia are in a socially exposed and suspect position, and to go home and be seen as submitting to parental restraint is often the best of their few options.

Selain membawa kisah represif suami dalam rumah tangga, lagu Hati Yang Luka juga menghadirkan cerita represif rezim terhadap seni musik di Tanah Air.

Seperti juga ditulis oleh Yampolsky, momen itu hadir pada saat HUT TVRI ke-26 pada 24 Agustus 1988:

Harmoko (whose ministry supervises broadcasting), delivered a speech in which he invighed against cengeng songs. In essence, he accused them appealing to low taste, weakening the spirit of the people, making them defeatist and sapping their commitment to the national effort for progress. An Therefore he said, TVRI should stop broadcasting such songs. Altough Hati Yang Luka was not mentioned by name, it was clear from allusions in the speech that Harmoko considerd it a prime offender.

Di mata Harmoko, lagu-lagu semacam itu menghambat pembangunan nasional. Lagu-lagu yang cengeng dianggap tidak bisa menumbuhkan semangat kerja. Sementara TVRI sebagai corong pemerintah, dianggap punya peran kunci atas tumbuhnya semangat bekerja.

Bagi menteri penerus Ali Murtopo itu, semangat bekerja rakyat dalam pembangunan tidak akan berhasil apabila mata acara TVRI banyak diwarnai lagu yang disebutnya sebagai ratapan patah semangat berselera rendah, atau kesedihan akibat keretakan rumah tangga. Menurut Harmoko pula, apa yang digambarkan dalam lagu-lagu cengeng itu bukanlah kenyataan yang ada dalam masyarakat.

Tapi Obbie Messakh berpendapat lain. Seperti dikutip Yock Fang Liaw dan Leo Suryadinata dalam Essential Indonesian Reading: A Learner's Guide (2005: 48), komposer asal Nusa Tenggara Timur itu mengaku mencipta lagu berdasarkan apa yang dilihat dan dialaminya. Karena itu, sejumlah lagu karya Obbie merupakan gambaran nyata dari kehidupan ini.

Nyatanya, 24 tahun setelah lagu Hati Yang luka dirilis tahun 1988, KDRT masih juga terjadi, termasuk dalam runah tangga Lesti & Billar, yang sempat menjadikan Lesti sempat pamit untuk pulang ke rumah orang tuanya. Ya, persis seperti lirik lagu Hati Yang Luka

Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku

Dan jika bicara soal lagu-lagu yang berisi soal kesenduan hati, alias lagu cengeng, lagu bikinan Obbie Messakh atau Rinto Harahap atau Pance Pondaag bukan lagu-lagu cengeng yang pertama di Indonesia. Seperti dikutip Tirto.id dari 100 Tahun Musik Indonesia, Denny Sakrie mencatat Rachmat Kartolo berjaya dengan lagu Patah Hati pada 1960-an, dan industri musik pop lalu menguntit kesuksesan lagu yang dikonotasikan cengeng tersebut.

Namun dekade 1980-an adalah masa puncak kesalnya pemerintah kepada musik-musik cengeng. Hingga Obbie, Rinto, Pance dan kawan segenerasinya lah yang kena larangan pemerintah lewat mulut Harmoko.

Mendiang Rinto Harahap sendiri saat peluncuran album The Masterpiece of Rinto Harahap with Tohpati di Jakarta pada 2010 lalu menegaskan, dirinya keberatan dengan cap lagu cengeng yang disematkan pada karya-karyanya. Menurut pencipta lagu Gelas-gelas Kaca ini, lagunya bukanlah cengeng, melainkan lebih berkesan sedih. 

Akan tetapi, setelah gema pelarangan musik cengeng mereda, lagu-lagu sedih dan mendayu, terutama soal percintaan, kembali mewarnai jagad musik Indonesia.

Hingga pada puncaknya, penyanyi cilik Farrel Prayoga menyanyikan lagu Ojo Dibandingke, langsung di Istana Negara di hadapan para pimpinan negeri ini. Lagu ciptaan Abah Lala itu didendangkan Farrel pada Upacara HUT RI ke-77, pada 17 Agustus 2022.

Kurang cengeng apa lagu ini? Ojo Dibandingke menggambarkan tentang perasaan seseorang yang tak ingin-dibandingkan dengan orang lain oleh pujaan hatinya, karena dirinya pasti jauh beda dengan sosok yang dibandingkan itu.

Jelas bedo yen dibandingke (jelas beda jika dibandingkan)

Ora ono sing tak pamerke (tak ada yang ku (bisa) pamerkan)

Aku ra iso yen kon gawe-gawe (aku tak bisa jika disuruh berdusta)

Jujur, sak onone ((aku) jujur apa adanya)

Lagu ini tetaplah menggambarkan kesenduan hati, meskipun dibalut dengan irama dangdut koplo yang menghentak.

Demikianlah salah satu episode dunia hiburan musik Indonesia. Lagu-lagu cengeng sempat dilarang beredar pada tahun 1988 oleh Harmoko yang notabene perpanjangan tangan istana kepresidenan, akan tetapi 34 tahun kemudian lagu cengeng jugalah yang diperdengarkan di istana kepresidenan pada sebuah momen sakral.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun