But it seems to me to be quite realistic: divorced or abandoned women in Indonesia are in a socially exposed and suspect position, and to go home and be seen as submitting to parental restraint is often the best of their few options.
Selain membawa kisah represif suami dalam rumah tangga, lagu Hati Yang Luka juga menghadirkan cerita represif rezim terhadap seni musik di Tanah Air.
Seperti juga ditulis oleh Yampolsky, momen itu hadir pada saat HUT TVRI ke-26 pada 24 Agustus 1988:
Harmoko (whose ministry supervises broadcasting), delivered a speech in which he invighed against cengeng songs. In essence, he accused them appealing to low taste, weakening the spirit of the people, making them defeatist and sapping their commitment to the national effort for progress. An Therefore he said, TVRI should stop broadcasting such songs. Altough Hati Yang Luka was not mentioned by name, it was clear from allusions in the speech that Harmoko considerd it a prime offender.
Di mata Harmoko, lagu-lagu semacam itu menghambat pembangunan nasional. Lagu-lagu yang cengeng dianggap tidak bisa menumbuhkan semangat kerja. Sementara TVRI sebagai corong pemerintah, dianggap punya peran kunci atas tumbuhnya semangat bekerja.
Bagi menteri penerus Ali Murtopo itu, semangat bekerja rakyat dalam pembangunan tidak akan berhasil apabila mata acara TVRI banyak diwarnai lagu yang disebutnya sebagai ratapan patah semangat berselera rendah, atau kesedihan akibat keretakan rumah tangga. Menurut Harmoko pula, apa yang digambarkan dalam lagu-lagu cengeng itu bukanlah kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Tapi Obbie Messakh berpendapat lain. Seperti dikutip Yock Fang Liaw dan Leo Suryadinata dalam Essential Indonesian Reading: A Learner's Guide (2005: 48), komposer asal Nusa Tenggara Timur itu mengaku mencipta lagu berdasarkan apa yang dilihat dan dialaminya. Karena itu, sejumlah lagu karya Obbie merupakan gambaran nyata dari kehidupan ini.
Nyatanya, 24 tahun setelah lagu Hati Yang luka dirilis tahun 1988, KDRT masih juga terjadi, termasuk dalam runah tangga Lesti & Billar, yang sempat menjadikan Lesti sempat pamit untuk pulang ke rumah orang tuanya. Ya, persis seperti lirik lagu Hati Yang Luka
Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku
Dan jika bicara soal lagu-lagu yang berisi soal kesenduan hati, alias lagu cengeng, lagu bikinan Obbie Messakh atau Rinto Harahap atau Pance Pondaag bukan lagu-lagu cengeng yang pertama di Indonesia. Seperti dikutip Tirto.id dari 100 Tahun Musik Indonesia, Denny Sakrie mencatat Rachmat Kartolo berjaya dengan lagu Patah Hati pada 1960-an, dan industri musik pop lalu menguntit kesuksesan lagu yang dikonotasikan cengeng tersebut.
Namun dekade 1980-an adalah masa puncak kesalnya pemerintah kepada musik-musik cengeng. Hingga Obbie, Rinto, Pance dan kawan segenerasinya lah yang kena larangan pemerintah lewat mulut Harmoko.