Sebenarnya sudah lama, saya ingin menulis yang membahas soal grup komedi favorit saya, Warkop DKI. Cuma ya itu, penyakit terbesar dalam menulis (baca: malas) selalu hadir. Tapi akhirnya saya bertemu momentum yang menurut saya tepat. Yakni di ulang tahun ke 49 grup ini, tepatnya pada tanggal 23 September 2022 kemarin.
Meski kini hanya menyisakan satu personil, yakni Drs Indrodjojo Kusumonegoro alias Indro, namun dalam beberapa wawancara, personil termuda sejak era Warkop Prambors ini selalu menegaskan bahwa sampai sekarang Warkop DKI tidak pernah bubar.
Inilah yang pernah ia penah janjikan kepada dua personil yang telah mendahului kita---Kasino (wfat tahun 1997) dan Dono (wafat tahun 2001)---bahwa ia akan tetap akan teguh memegang nama besar Warkop DKI, meski hanya tinggal sendirian.
Berbicara tentang sebuah grup yang telah berusia 49 tahun ini, tentunya tak lepas dari membicarakan film-film yang pernah mereka bintangi, sejak film pertama Mana Tahaaan (1979) hingga film terakhir Pencet Sana Pencet Sini (1994). Saya tentu boleh mengatakan bahwa Warkop Prambors/DKI adalah grup lawak dengan film terbanyak 34 film, yang semuanya booming pada masanya.
Ya, grup yang berawal dari siaran radio 3 mahasiswa Universitas Indonesia---Wahjoe Sardono, Kasino Hadiwibowo, serta Rudy Badil---di radio Prambors di tanggal 23 September 1973 ini, pada era 80an hingga pertengahan 90an menjadi ikon grup lawak yang berjaya di layar lebar.
Tak hanya di layar lebar, kesuksesan Warkop DKI di dunia hiburan juga tersaji, baik di panggung program hiburan televisi, maupun panggung off air. Bahkan sempat ada kelakar "Libur Lebaran belum lengkap kalau belum nonton Warkop". Mungkin karena saking seringnya film Warkop DKI diputar pada masa libur Idul Fitri.
Dan jika membahas soal film-film yang diperankan oleh trio Dono-Kasino-Indro (serta sebelumnya ada Nanu Mulyono yang hanya bermain di Mana Tahaan), saya mencoba membagi film-film Warkop DKI dalam dua era.
Pertama, era 80an. Dan kedua, era 90an
Di film Warkop era 80an, biasanya terdapat satu skesta atau premis cerita utuh, dengan konklusi akan disampaikan pada akhir cerita. Misalnya dalam film Mana Tahaan. Premis yang ingin disampaikan adalah kisah empat orang mahasiswa---dua dari desa dengan segala keluguannya---yang berupaya untuk lulus kuliah, namun sambil flirting dengan ART di rumah indekos mereka.
Atau film Gengsi Dooong, yang menceritakan tiga mahasiswa  yang berupaya mendapatkan cinta dari kembang kampus, yang diakhiri dengan 'plot twist' sang kembang kampus tidak memilih ketiganya namun lebih memilih pemuda yang dijodohkan oleh orang tuanya.
Di film Warkop era 80an ini pula banyak kita dengarkan lagu-lagu asli maupun parodi yang disajikan untuk mendukung cerita dalam film. Seperti lagu Aduhai dalam film Gengsi Dooong, maupun lagu parodi What a Feeling (dipopulerkan Irene Cara) di film Tahu Diri Dong.
Banyak pula adegan di film Warkop era 80an yang bisa dikatakan meniru dari adegan dari sinema luar, seperti dari film The Three Stooges, Benny Hil, maupun Eis am Steil.
Saya tak ingin berpolemik soal kemiripan yang diciptakan Warkop dalam filmnya, dengan apa yang dilakukan Trio Warkopi beberapa waktu lalu, ketika memanfaatkan wajah mereka yang mirip dengan personil Warkop DKI untuk mendapatkan cuan. Karena hal itu bisa jadi pembahasan tersendiri, alias akan jadi melebar kalau dibahas di sini.
Bergeser ke film-film Warkop DKI era 90an. Pada era itu, industri perfilman nasional memasuki era penurunan. Seiring dengan masifnya serbuan film-film box office yang banyak diputar di bioskop. Bahkan pada masa itu bioskop cineplex banyak yang sampai memutar 1 film yang sama di 2 studio karena membeludaknya penonton.
Fenomena ini juga sempat diakui oleh Indro Warkop dalam sebuah wawancara. Bahwa agar mereka tetap eksis di perfilman nasional pada era 90an, mau tak mau Warkop DKI pun harus ikutan arus film-film yang memajang kemolekan tubuh wanita, disertai adegan dan dialog yang mengarah pada hal-hal seksual.
Dan di sebuah film, ada dialog Kasino dan Dono berikut ini;
"Ayo Don kita ke pantai. Kalau nggak ada adegan pantai, ntar penonton marah,"
"Oh iya, kan itu jualan utamanya,"
Dan akhirnya Warkop DKI pun mengakhiri rangkaian film-filmnya di layar lebar pada tahun 1994, dengan film terakhirnya Pencet Sana Pencet Sini.
Seusai era layar lebar, Warkop DKI pun ikut dalam arus perfilman pada masa itu dengan memasuki dunia sinema elektronik alias sinetron di televisi. Mereka pun menggunakan format komedi situasi---yang saat itu juga tengah booming, seperti Gara-gara, Tuyul dan Mbak Yul, Jin dan Jun, dan lain-lain---dengan latar cerita di rumah dan kantor.
Isi ceritanya pun cenderung nyaris sama di setiap episode. Biasanya diceritakan trio DKI tergoda oleh perempuan lalu ketahuan oleh istri, atau melakukan kesalahan sehingga dimarahi oleh atasan mereka.
Setelah kiprah Warkop DKI di dunia sinema meredup pasca hanya menyisakan 1 personel, hadirlah film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! (part1 tahun 2016 dan part 2 tahun 2017). Film ini pun terbukti sukses di pasar sinema tanah air  Â
Dan seperti dilansir Antara, Warkop DKI Reborn part 1 sukses menggaet 6.858.161 penonton, dan sekuelnya alias Warkop DKI Reborn part 2 berrhasil meraup 4.083.190.
Jumlah penonton pun semakin berkurang saat Falcon Pictures merilis part 3-nya. Di film yang dibintangi Aliando Syarif (Dono), Adipati Dolken (Kasino) dan Randi Nidji (Indro) ini, penonton yang menyaksikan hanya 843.499 saja. Penurunan ini nampaknya menjadikan rumah produksinya tak lagi melanjutkan sekuelnya.
Nah, kalau anda termasuk penggemar Warkop DKI di era mana? Apakan 80an atau 90an?
Kalau saya pribadi termasuk penggemar film-film Warkop era 80an. Meski pada saat itu saya belum bisa merasakan kemeriahan bioskop saat memutar filmnya---karena usia saya masih balita---namun dari cerita-cerita orang-orang terdahulu bisa saya bayangkan ramainya studio bioskop yang memutar film Warkop di era 80an.
Ada 2 film Warkop era 80an yang bagi saya menarik. Karena menyajikan sketsa cerita yang 'berat' jika diantara film-film Warkop yang pernah dibuat.
Kedua film itu yakni Manusia Enam Juta Dolar (1982), serta Sama Juga Bohong (1986). Dua film ini bisa dikatakan film Warkop DKI dengan premis cerita yang serius dan lebih minim humor dibanding film-film Warkop DKI lainnya, meskipun bumbu-bumbu humor yang biasa muncul di film Warkop DKI tetap coba dihadirkan.
Menjadi maklum ketika dua film ini disutradai oleh dua sosok yang pada masa itu lebih dikenal sebagai sutradara film bergenre drama, yakni Ali Shahab (Manusia Enam Juta Dolar) dan Chaerul Umam (Sama Juga Bohong).
Dan kedua film ini pun memiliki sebuah kesamaan cerita, yakni misi menyelamatkan penyanyi yang sedang ditahan. Bedanya, di Manusia Enam Juta Dolar penyanyi Rita Aduhai Merdu Banget (Eva Arnaz) diselamatkan Dono dari penculik, sementara di Sama Juga Bohong, Dono menyelamatkan Chintami (Chintami Atmanagara) dari manajernya yang tak setuju dengan pertunjukannya.
Sekarang, sebagai fans Warkop DKI, ada satu yang masih saya nantikan. Yakni film yang memvisualisasikan kisah perjalanan grup atau biographical motion picture (biopic) dari Warkop DKI itu sendiri.
Selama ini  mungkin kita pernah menyaksikan kisah grup Warkop Prambos dan Warkop DKI melalui penuturan personilnya, maupun orang-orang yang pernah terlibat langsung dengan grup tersebut. Bahkan kisah tersebut pernah dijadikan dalam sebuah tulisan buku berjudul "Main-main Jadi Bukan Main".
Namun dalam kacamata saya yang awam dalam dunia perfilman, akan menarik jika kisah tulisan tersebut bisa diangkat ke layar lebar dengan visualisasi dan skenario yang tepat.
Mudah-mudahan ada rumah produksi dan produser yang tertarik untuk mewujudkan harapan saya ini.
Selamat ulang tahun Warkop DKI, sehat selalu Pakde Indro.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H