Kepercayaan diri Azrul terhadap Persebaya makin meningkat, ketika di musim pertamanya mencicipi kompetisi kasta teratas usai reborn, Persebaya menduduki peringkat 5 di klasemen akhir. Musim 2019, prestasi Persebaya makin meningkat dengan mengakhiri musim sebagai runner up di klasemen akhir.
Yang perlu diingat, saat itu Persebaya menjalani banyak pertandingan tanpa bisa ditonton oleh Bonek, karena mendapat sanksi usai kerusuhan pecah saat melawan PSS Sleman di Gelora Bung Tomo.
Namun musim berikutnya, alias tahun 2020, pandemi Covid-19 melanda dunia, dan penghentian kompetisi Liga 1 pun tak terhindarkan.
Azrul pun pusing tujuh puluh keliling. Maklum, saat itu manajemen Persebaya sudah keluar uang tak sedikit untuk membeli pemain yang diharapkan mampu mempertahankan prestasi di musim berikutnya.
Yang membuat kecewa Azrul saat itu, adalah sikap PSSI yang tidak tegas soal keputusan penghentian kompetisi. Namun ia tetap berkomiten gaji pemain akan dibayar hingga tuntas, karena tak ingin Persebaya seperti klub-klub lainnya yang menunggak gaji pemain saat pandemi.
2021, kompetisi kembali berjalan. Dan di tahun ini Persebaya mengakhiri musim di peringkat ke-5. Sejumlah bintang pun meroket namanya seperti Bruno Moreira, Taisei Marukawa, dan bintang lokal seperti Oktavianus Fernando dan Ricky Kambuaya.
Nilai jual mereka pun ikut meroket di akhir musim, dan manajemen Persebaya pun harus realistis dengan melepas nama-nama tersebut ke klub lain.
Persebaya pun menjalani musim kompetisi Liga 1 2022 dengan materi pemain yang tak istimewa. Termasuk pemain-pemain muda yang minim pengalaman di kompetisi kasta tertinggi.
Dan tiga kekalahan beruntun yang dialami persebaya dalam tiga pertandingan terakhir---keok dari Bali United 0-1, dihancurkan PSM Makassar 3-0, dan terakhir dihantam tim 'kemarin sore' Rans Nusantara 1-2. Hattrick kekalahan ini rupanya menjadi dosa tak termaafkan Persebaya untuk para Bonek di musim ini, dan menjadikan Bonek menjadi anarkis, sesaat setelah pertandingan melawan Rans Nusantara usai.
Dan mungkin bukan kebetulan, jika dalam pengumuman pengunduran dirinya sebagai CEO Persebaya, Azrul seolah berkeluh-kesah dengan kalimat yang saya jadikan kutipan di atas. Mungkin Azrul ingin menggambarkan sulit jika menjadi manajer klub besar yang tuntutannya setinggi langit atas nama basis masa suporter yang besar serta prestasi di masa lalu yang mentereng.
Dan kekhawatiran Azrul sebenarnya sudah terjadi, ketika pada tahun 2017 Bhayangkara FC---yang juga punya benang merah sejarah dengan Surabaya---dinyatakan sebagai juara. Klub yang oleh fans sepakbola Indonesia kerap disebut sebagai salah satu 'klub siluman' ini menjadi kampiun, dengan sejumlah drama yang mengiringinya.