Mohon tunggu...
Agus Zain Abdullah ElGhony
Agus Zain Abdullah ElGhony Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati masalah budaya dan agama

Pemerhati masalah budaya dan agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nasionalisme ala Sukarno, Masihkah Relevan?

28 Maret 2023   22:33 Diperbarui: 28 Maret 2023   22:48 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Presiden Sukarno merupakan figur hebat yang sangat berjasa bagi bangsa Indonesia, nasionalismenya luar biasa menggetarkan dan bisa menyatukan Indonesia sehingga bisa mengantar bangsa yang ratusan tahun dijajah menuju gerbang kemerdekaannya. Tulisan ini tidak bermaksud merendahkan keagungan dan kebesaran namanya,  tetapi hanya ingin mengkaji nasionalisme ala Sukarno di era seperti ini.

Berita yang paling menyedot perhatian saat ini adalah penolakan yang massif terhadap kehadiran Tim Nasional Israel yang berhak ikut piala Dunia U-20 yang akan dilaksanakan di Indonesia, lalu FIFA membatalkan drawing Piala Dunia yang rencananya akan diadakan di Bali. Isu yang berkembang jadi bola liar, FIFA akan membatalkan Piala Dunia di Indonesia, bahkan aku memberi sangsi kepada Indonesia. Lantas muncul salah satu komentar Hoky Caraka yang cukup keras, "Memperjuangkan kemerdekaan negara lain tapi kalian semua membunuh mimpi mimpi indah ana-anak bangsa sendiri."

Jujur saja terkejut ketika PDIP, kemudian Ganjar Pranowo dan I Wayan Koster menolak kedatangan Tim Israel, karena mereka adalah "bagian" dari pemerintah saat ini. Kalau MUI dan  sebagian ormas Islam  itu sangat wajar sekali, karena selama ini sering bersikap kritis terhadap pemerintah, bahkan pada level tertentu mirip oposisi bagi Presiden Jokowi. Apalagi kalau partai Oposisi seperti PKS, tentu wajar jika mengambil sikap berseberangan dengan kebijakan penguasa.

Salah satu alasan yang dijadikan penolakan Timnas Israel adalah "amanah presiden Sukarno" yang sangat anti terhadap penjajahan. Alasan yang lebih serius lagi tentu mendasarkan diri kepada Pembukaan UUD 45 yang dengan tegas menolak adanya penjajahan di muka bumi ini, Israel adalah penjajah bagi bangsa Palestina, tidak layak hadir di Indonesia yang anti terhadap penjajahan. Tentu dalam pemikiran seperti di atas, betapa mulianya mereka yang menolak Timnas Israel dengan alasan yang luar biasa agung "anti penjajahan".

Kalau kita mau kembali melihat sejarah, kita akan sadar bahwa Ir Sukarno adalah figur nasionalis yang hebat, kehebatannya diakui oleh dunia. Mulai dari gagasan  Gerakan Non Blok, Konfrensi Asia Afria atau saat beliau dengan penuh semangat menggagas Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang digadang-gadang sebagai kekuatan melawan hegomoni barat, bahkan sebagai  pesaing dari Olimpiade.

Dengan Nasionalismenya Sukarno anti dengan kolonialisme, anti dengan segala penjajahan di muka bumi. Bahkan sejarah mencatat, Sukarno sempat jengkel dengan PBB yang dinilai sangat didominasi barat, bahkan membela dan mendukung hegemoni barat yang diidentikan dengan neo-kolonialisme dan imperalisme(Nekolim).  Lalu langkah hebat dan berani, karena begitu hebat dan beraninya sehingga ada yang menyebutnya "nekad" Indonesia keluar dari PBB.  Tanggal 7 Januari 1965 menyatakan keluar dari PBB, sebagai sikap berani melawan apa yang disebut sebagai hegomoni Amerika dan Barat.

Nasionalisme Sukarno berkembang menjadi semacam "ultra nasionalisme" yang harus diakui membawa negara dalam konflik panjang, ingat konflik dengan Malaysia dengan jargon Ganyang Malaysia, sementara deraan ekonomi menjadi beban yang sangat luar biasa bagi rakyat Indonesia, diperburuk dengan konflik politik yang tajam. Sampai akhirnya Meletus G 30 S PKI, Sukarno lengser dan Presiden Suharto menempuh jalan yang lebih pragmatis, kembali masuk ke dalam PBB dan menjalin hubungan yang baik dengan Malaysia.

Kita bisa  melihat Sukarno pemimpin yang hebat di era "pengerahan massa",  beliau orator yang hebat, pemimpin yang gemar aforisme. Tentu aforisme baik untuk pengerahan massa, tetapi ketika berhadapan dengan perkembangan ekonomi tidak hanya membutuhkan semua itu, butuh konsep detail yang lebih rinci di setiap langkah. Dulu Muhammad Hatta bisa berperan seperti itu, tetapi semenjak Hatta mengundurkan diri, Sukarno yang hebat itu berjalan sendirian, tidak ada lagi ada sosok yang menambal sisi kurang dari Sukarno. Sukarno memang hebat, tetapi tidak ada satupun manusai yang sempurna. Termasuk di dalamnya presiden kita yang hebat itu.

 Ketika menolak Timnas Israel dengan semangat atau bahkan amanah Sukarno, saya jadi agak cemas juga dan bertanya apakah relevan semangat nasionalisme Sukarno dalam kaitannya dengan penolakan Timnas Israel!?? Apalagi sudah ada suara yang agak nyinyir ke FIFA, katanya FIFA tidak adil atau menggunakan standar ganda, berani melarang Rusia tetapi tidak berani melarang Israel. 

Rasanya statemen ini mengingatkan saya kepada gaya Presiden Sukarno saat mengatakan PBB sudah menggunakan standar ganda, lalu dengan kegagahan ala ultra nasionalis Sukarno membawa Indonesia keluar dari PBB. Apakah saat ini kita ingin mengulang sejarah itu?? Keluar dari FIFA, lalu membuat turnamen tandingan, seperti dulu dengan gagah Indonesia membuat Ganefo, walau usianya tidak lama.

Jika sang penolak Timnas Israel (apalagi partai pemenang dan kadernya jadi presiden) konsisten dengan semangat nasionalisme ala Sukarno, langkah selanjutnya tentulah keluar dari FIFA  yang sudah angkuh dengan standar ganda dan membentuk tandingannya. Apa akan seperti itu?? Keluar dari FIFA tidak sesulit keluar dari PBB,  toh tidak semua orang melihat Sepak Bola itu penting. Memang ada banyak sekali pemain bola yang akan mengalami goncangan.

Saharusnya tidak seperti itu, pola nasionalisme kita dan semangat anti penjajahan di muka bumi tidak  membuat berpikiran sempit dalam luasnya dunia. Dalam sejarah kita sudah merasakan sikap konfrontatif membuat kita sibuk dalam konflik dan permasalahan ekonomi di nomer duakan. FIFA memang bukan organisasi tanpa cela, ada banyak kasus di dalamnya. 

Tetapi  dengan segala kekurangannya FIFA sebagai penguasa tunggal sepak bola. Kita membutuhkan FIFA, apalagi dalam percaturan geopolitik dunia, peran kita semakin mengecil jika dibanding era Sukarno. Terkecuali jika kita ingin menjadi negara yang tertutup melebihi Korea Utara dalam sepak bola. Karena Korea Utara masih aktif di FIFA.

Sukarno memang hebat. Tetapi apakah kita akan terjebak dan romantisme masa lalu atau kita akan menerjemahkan dalam konteks yang lebih kekinian!? Tidak ada salahnya kita terima Timnas Israel dan tetap memberikan dukungan kepada Palestina. Perlu ada tafsir ulang terjadap semangat nasionalisenya Presiden Sukarno.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun