Denny Siregar aktif "berkicau" di Medsos. Dan dalam banyak permasalahan tidak setuju dengan pemikirannya atau barangkali lebih tepat kurang menyukainya. Sederhana saja, dalam keimanan saya seseoang dilarang dengan keras memanggil dengan panggilan yang buruk. Dalam iman saya , memanggil dengan panggilan yang orang tersebut tidak menyukai, merupakan sebuah dosa dan pelanggaran terhadap kehormatan manusia.Â
Sebagus apapun logika seseorang dan sebaik apapun dalil yang disampaikan jika dia biasa menggunakan kata seperti cebong, kampret atau kadrun, maka secara otomatis hati saya akan menolak. Â Karena Iman saya melarang mengucapkan hal seperti itu, jika iman saya melarang maka hati saya secara otomatis akan tidak menyukainya.
Biarpun ia datang dengan jubah ustadz, kiai atau habib, ataupun jubah akademiknya, profesor doktor atau pakar di bidang tertentu, kalau ia mengucap kata umpatan cebong, kampret atau kadrun. Setetes iman dalam hati saya akan menolak. Bukan berarti saya membenci orang tersebut, karena adalah iman saya seseorang tidak boleh membenci seseorang, tetapi ia boleh tidak menyukai "sikap atau pemikirannya". Bahkan boleh membenci pemikirannya yang dianggap sesat dan menyesatkan, tetapi tidak membenci orangnya.
Beberapa kali Denny Siregar dilaporkan polisi. Apa ada salah yang dengan melaporkan ke polisi?? Tidak ada yang salah, karena di negara hukum seseorang merasa dilanggar hak dan kehormatannya bisa melaporkan. Seseorang "merasa", fase merasa itu subyektif sekali. Lantas di bawah ke ranah hukum lewat kepolisian, di sini lah tugas polisi untuk menilai obyektif apa tidak.Â
Lantas ada yang mengerak kan massa untuk memberikan dukungan secara psikologis. Mungkin kasus ini akan segera berlalu dengan isu-isu yang lain. Begitu suasana negeri kita, deretan satu kasus ke kasus yang lain, berkelindan dan tidak mudah difahami.
Apa salah yang dilakukan Denny Siregar?? Salahnya seseorang itu ditentukan oleh hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi seharusnya cara pandang masarakat terhadap suatu permasalahan, ketika sebuah kesalahan etika lantas dibawa ke ranah hukum. Sikap ini membuat aparat penegak hukum berada dalam posisi yang sulit, karena ada beberap pasal pidana yang bisa ditarik ulur. Seharusnya kita, tidak perlu membawa masalah etika ke ranah hukum.
Tetapi yang kita masalah ini tidak hanya terjadi pada masarakat yang tidak mempunyai pemahaman hukum, tetapi juga dilakukan oleh seseorang yang memahami hukum dan berkecimpung di dunia aktivitis yang cenderung politis. Kasus pelaporan Farid Gaban oleh Muanas Al-Aidid, walau sekarang kita tidak tahu ujungnya di mana.Â
Ada teks yang bisa ditafsirkan oleh sang pelapor itu melanggar hukum. Bukankah itu hak seseorang ?? Betul, betul, betul, itu hak seseorang untuk melaporkan. Namun dalam kedewasaan pemikiran seseorang, tidak seharusnya seseuatu yang "etis" ke ranah hukum. Dan kelihatannya, kasus seperti itu akan sering terjadi, di mana etika masuk ke ranah pidana.
Kasus pelaporan Novel Baswedan oleh Dewi Tanjung mungkin sebuah cerminan sederhana masarakat kita. Namun sesekali itu hak seseorang, tetapi logika masarakat akan menilai apakah itu digunakan dengan baik atau sekedar sebuah langkah untuk langkah-langkah yang lain. Dan kita tahu laporan itu ditolah, subyektifitas Dewi Tanjung berhadapan dengan obyektifitas kepolisian. Begitu kasus-kasus pelaporan Ade Armando, begitu jadi berita, viral sesaat lantas tidak tahu dimana rimbanya.
Kasus Basuki Tjahaya Purnama (BTP) akan tercatat dalam sejarah, di mana masalah etika bisa dibawa ke ranah pidana dan menghasilkan vonis dua tahun. Rasanya, BTP tidak perlu dipenjara untuk salah ucap yang secara etika kurang sesuai karena berhubungan dengan kitab suci agama lain. Termasuk juga pada kasus Ahmad Dani dan Jonru Gintting.
Yang kemudian menjadi masalah serius dalam tata hukum kita, jika pelaporan itu disertai opini massif bahwa "ada  seseorang yang kebal hukum" di negeri ini, bisa berbahaya terhadap perkembangan hukum kita. Jika kasus seperti itu banyak terjadi, seseorang dilaporkan, saat melaporkan kemudian dicitrakan ada orang yang luar biasa, mungkin karena (maaf saya menggunakan kata di medsos) "antek rezim" atau karena kedekatan tertentu.Â
Pencitraan hukum seperti ini berbahaya sekali, karena tidak hanya akan memperlebar permasalahan yang sebenarnya sederhana, di mana dicitrakan  pemerintah saat ini tidak adil atau zalim, bahkan tuduhan yang lebih serius "anti islam" dan seterusnya. Kepercayaan masarakat terhadap pemerintah jadi menurun. Padahal "bisa jadi" penolakan polisi itu adalah murni masalah hukum semata, tidak ditemukan pelanggaran terhadap pasal tertentu.
Pencitraan terus menerus ada yang dilindungi pemerintah atau kekuasaan tertentu pada orang-orang tertentu, menjadi duri dalam daging bagi perkembangan hukum di Indonesia yang berujung pada menurunnya wibawa pemerintah. Penegak hukum harus mampu menjelaskan secara hukum murni jika diterima  atau ditolaknya suatu laporan pidana karena hukum semata.Â
Tidak mudah memang, tetapi rasanya tidak ada jalan selain itu. Dan saya berharap, jangan mudah melaporkan seseorang karena masalah etika saya, mungkin sejak kecil orang tersebut lupa belajar etika atau sudah belajar tapi dikhilaf, maka kita harus berlapang dada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H