Oleh: Cak Glentong
Peristiwa kekerasan yang muncul karena persoalan perbedaan dalam pemahaman agama seringkali menghiasi media massa, terjadinya konflik horisontal antar kelompok yang mempunyai keyakinan berbeda. Perbedaan yang seharusnya diselesaikan dengan dialog, ditempuh dengan kekerasan dan pengrusakan.Â
Satu kelompok atas nama kebenaran menyerang kelompok lain, yang dianggap sesat, menyimpang, dan meresahkan masarakat. Seolah-olah hanya ada satu kata dalam benak mereka, kelompok yang dianggap sesat ada musuh berbahaya, sehingga harus dihancurkan.
Memprihatinkan sekali melihat kekerasan seperti itu, masarakat seringkali terlihat gagap dalam menghadapi  perbedaan, seolah-olah tidak mempunyai wawasan yang luas untuk menghadapi dialog dengan kelompok yang berbeda, sehingga yang berbicara adalah kekerasan, kemarahan, amarah, bukan dialog dengan hati yang luas dan terbuka.Â
Kekerasan adalah wujud komunikasi yang paling rendah dalam menyelesaikan masalah antar kelompok, karena tidak memberikan ruang dialog terhadap perbedaan, sesuatu yang seharusnya menjadi hak asasi manusia dan merebut posisi negara sebagai penegak hukum.
Melihat kenyataan seperti ini urgen sekali menggagas pemahaman pluralisme dalam pelajaran agama di sekolah-sekolah. Terutama pluralisme dalam internal agama, karena sikap pluralisme antar agama lebih mudah difahami. Namun sangat disayangkan, realitas yang berkembang, pendidikan agama cenderung bersifat parsial sesuai dengan pemahaman kelompok masing-masing, lebih sempit lagi sesuai dengan apa yang diyakini oleh gurunya, tidak menyediakan ruang yang luas untuk mengajarkan perbedaan pemahaman yang ada di masarakat.Â
Padahal di sekolah  sekolah umum siswa mempunyai latar belakang pemahaman agama yang berbeda, namun seringkali materi pengajaran mengabaikan perbedaan tersebut. Seolah-olah  pemahaman agama itu tunggal,  tidak majemuk, jika berbeda dengan apa yang diajarkan adalah salah.
Sekolah seharusnya bisa membangun dasar pemahaman pluralisme dalam agama bagi siswa, sehingga siswa mempunyai wawasan dan kematangan mental saat harus berhadapan perbedaan pemahaman dengan kelompok yang berbeda. Apa yang dimaksud dengan pluralisme?
Secara sederhana pluralisme berarti konsep berpikir yang didasarkan kepada kesadaran bahwa adanya perbedaan dalam memahami teks agama adalah sebuah  keniscayaan,  karena pemahaman seseorang atau kelompok tertentu dipengaruhi lingkungan, tingkat pemahaman yang berbeda terhadap teks agama. Para ulama menyebutnya sebagai ikhtilaf (perbedaan dalam memahami teks agama). Ikhtilaf sebagai fenomena rasional yang terjadi dalam memahami agama.
Mengabaikan pluralisme akan menciptakan kesempitan dalam luasnya pemahaman agama. Kita seringkali merasakan akibatnya, munculnya pemahaman sempit dan sektarian, mudah terkejut, marah dan bingung saat harus berhadapan dengan perbedaan yang ada. Dengan demikian memasukkan konsep pluralisme adalah sesuatu yang sangat mendesak untuk diajarkan pada semua materi pembelajaran agama, karena hampir dalam semua bidang agama terjadi pemahaman yang berbeda.
Ada banyak kasus dimana faham pluralisme menjadi keharusan. Penulis pernah merasa aneh, ada seorang siswa yang mempunyai pemahaman agama yang baik karena berada di keluarga dan lingkungan agamis, suatu hari dia bertanya kepada penulis bacaan tertentu dalam sholat yang harus dihafal sesuai dengan perintah gurunya. Penulis menjelaskan bahwa dia bisa membaca bacaan yang biasa digunakan, tetapi siswa itu menolak dengan alasan gurunya memerintahkan memakai bacaan itu saat ulangan praktek sholat.
Disadari atau tidak, terkadang terjadi penyempitan pemahaman dalam pelajaran agama. Penyempitan bisa terjadi dalam pembuatan soal terutama pilihan ganda, di mana diberikan nilai tertentu untuk jawaban yang benar sesuai dengan kunci jawaban dan nilai nol untuk jawaban yang tidak sesuai, padahal jawaban yang tersedia adalah permasalahan yang termasuk masalah perbedaan di kalangan ulama. Misalnya, jumlah rokaat sholat tarawih, jarak boleh jamak dan qoshor, serta bacaan dalam sholat yang secara umum merupakan masalah ikhtilaf.
Kesadaran terhadap konsep pluralisme dimulai dari persoalan yang kecil dan sederhana di atas, jika untuk pemahaman yang sederhana kita tidak mampu menegakkan konsep pluralisme tentu kita akan kesulitan, bahkan akan gagap jika harus berhadapan dengan perbedaan dalam bidang yang luas.Â
Karena masalah-masalah kecil seringkali menciptakan sekat-sekat antar kelompok, membuat hubungan menjadi kurang nyaman, berkembanglah konflik laten yang bisa menjadi bom waktu dalam kehidupan sosial, budaya dan politik. Dari perbedaan yang kelihatannya kecil, seorang pengajar bisa menyampaikan pesan pluralisme untuk skala yang lebih luas dan memberi contoh berlapang dada dengan perbedaan.
Dengan demikian konsep pluralisme  seharusnya dikembangkan guru dengan mengajarkan sikap dewasa terhadap perbedaan, seperti :
Sikap terbuka dan menjauhkan diri dari kecenderungan memberikan stigma terhadap kelompok yang ada di luar dirinya. Sehingga bisa menghindari sikap tertutup dan memandang kelompok lain salah, menciptakan kotak-kotak kelompok yang seolah-olah tidak bisa disatukan.
Kesadaran bahwa terjadinya perbedaan merupakan keharusan karena perbedaan akan selalu terjadi, sudah menjadi fitroh manusia untuk berbeda. Pemilihan terhadap keyakinan merupakan sikap hati, sehingga permasalahan karena perbedaan dalam keyakinan hanya bisa diselesaikan dengan dialog dari hati ke hati, bukan pemaksaan.
Kehendak yang kuat untuk senantiasa memperdalam agama (tafaquh fiddien) sehingga tumbuh kesadaran bahwa di kalangan ulama ada bergitu banyak perbedaan, bahkan perbedaan mengenai suatu hukum bisa terjadi antara guru dan murid.
Terbiasa melakukan dialog dan menilai kebenaran dari kebenaran, bukan menilai kebenaran dari kelompok atau golongan. Prinsip seperti ini harus ditumbuhkan secara praktis, tidak hanya lewat teori, tetapi lewat contoh amaliah sehari-hari.Â
Mengembangkan prinsip pluralisme sesungguhnya tidak sulit karena hampir semua materi agama, terutama amaliah ibadah terjadi perbedaan, tentu dengan syarat seorang pengajar bersikap terbuka, jujur menyampaikan ilmu, mengatakan ada perbedaan jika ada perbedaan diantara kalangan ulama, bersikap lapang terhadap realitas perbedaan di masarakat, menghindari sikap fanatik dan menjauhkan dari perkataan yang provokatif untuk perbedaan sebesar apapun, tetapi mengedapkan kata-kata bersahabat dan dialogis.
Guru seringkali menolak menyampaikan ada perbedaan karena takut akan membingungkan siswa. Alasan ini sulit diterima karena guru bisa memilih pendapat yang paling kuat dan menunjukkan penghargaan terhadap perbedaan yang ada, misalnya dengan perkataan Â
Saya memilih pendapat ini karena sejauh pengetahuan saya paling kuat dasar hukumnya, tetapi jika ada yang mengamalkan berbeda dengan apa saya pilih, bukan sesuatu yang salah, karena para ulama juga ada perbedaan pendapat.Â
Kalian bisa mengamalkan apa yang biasa dikerjakan. Perbedaan adalah suatu yang wajar, kewajiban bagi kita untuk menghargai perbedaan yang ada. Justru akan menciptakan kebingungan jika siswa  kelak berhadapan dengan perbedaan tanpa adanya bekal pengetahuan sejak dini.
Begitupula saat menghadapi perbedaan yang besar pada kelompok yang memang telah difatwakan sesat oleh kesepakatan ulama, saat menjelaskannya harus mengedepankan kata-kata yang santun.Â
Pluralisme dalam internal agama merupakan realitas yang tidak bisa ditolak, ia harus diterima karena merupakan dinamika kehidupan manusia, jika ada permasalahan dari perbedaan itu, cara dialog adalah jalan yang terbaik. Pendidikan agama di sekolah harus mampu menanamkannya sejak dini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H