Ketika bicara dengan perekonomian, kita perlu menelaah bahwa krisis yang menghantam tahun 2008 itu terjadi pada pasar finansial, oleh karena itu, maka data yang harus dilihat pun adalah data finansial bukan data GDP, bukan data investasi, bukan data inflasi. Bila berbicara mengenai data finansial, maka yang harus dilihat adalah karakteristik dari pasar finansial itu. Bahwa pasar finansial itu operasinya 24 jam 7 hari dalam satu minggu.
Oleh karena itu bukan data GDP, bukan data investasi, bukan data inflasi yang dijadikan tujuakan . Karena data-data tersebut semua berada di sektor riil yang mana pelaporannya dilakukan per-kuartal sekali dengan leg bisa sampai sekali dalam dua bulan. Di era informasi dan teknologi yang pesat perubahan di pasar finansial terjadi dalam hitungan detik. Untuk itu berkaca pada pengalaman negara-negara yang tengah diterjang krisis financial, keputusan cepat dan tepat harus segera diambil.
Dalam kasus Bank Century, kita perlu melihat apakah keputusan bailout tersebut dialamatkan untuk menyelamatkan sebuah bank bobrok ataukah menyelamatkan system perekonomian nasional secara keseluruhan? Bank Century bisa saja ditutup apabila pada saat itu pemerintah melaksanakan blanket guarantee yang memberikan jaminan pelindungan dana nasabah secara penuh guna menghindari dampak psikologis nasabah untuk menarik dananya.
Terdapat kesalahan persepsi secara umum bahwa seolah-olah penutupan Bank Century tidak membutuhkan ongkos sama sekali, sementara ongkos penyelamatan menelan dana Rp 6,7 triliun yang dinilai sebagai kerugian negara. Padahal, sesungguhnya ongkos penutupan akan menelan dana sekitar Rp 6,4 triliun, yaitu untuk penggantian dana nasabah yang dijamin oleh pemerintah (maksimum Rp 2 miliar) (notulen rapat KSSK, 13 November 2008). Karena itu, jika Bank Mutiara bisa dijual dengan harga tinggi, maka sudah pasti ongkos penyelamatan akan menjadi lebih murah ketimbang penutupan (Katadata Research: 2014).
Akuntan senior dan mantan anggota Dewan Audit Bank Indonesia Ahmadi Hadibroto menyatakan bahwa kerugian negara yang dinyatakan BPK sebesar Rp 7,45 triliun belum terjadi dalam kasus Bank Century. Alasannya, dana penyertaan modal Rp 6,76 triliun yang dikucurkan ke bank itu hingga kini tercatat di pembukuan sebagai bagian dari aset perusahaan. Sementara, bank ini pun hingga kini masih sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah
Kemudian dalam sebuah berita dikatakan konsorsium pemegang saham PT Citra Marga Nushapala Persada Tbk (CMNP) telah mengajukan penawaran untuk mengakuisisi 99,9 persen saham PT Bank Mutuara Tbk (BCIC) milik lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Konsorsium itu siap membeli Bank Mutiara senilai Rp 8 triliun atau melebihi target minimal divestasi sebesar Rp 6,7 triliun. Apabila hal tersebut terealisasi, lalu dimana letak kerugian negara?
Bukankah keputusan pemerintah untuk choose to do daripada not to do sudah tepat ? Yakni guna menghindari dampak krisis global yang lebih besar lagi ? Lalu bagaimana sikap kita sebagai rakyat melihat para pengambil kebijakan yang kini dipolitisasi, dimana sebenarnya mereka memiliki kewenangan yang sah dan bertanggungjawab penuh atas sistem perekonomian kita. Peristiwa ini setidaknya harus menjadi refleksi kita bersama sebagai persiapan dalam menghadapi berbagai krisis yang berpotensi akan melanda dimasa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H