Mohon tunggu...
Mochamad Faizal Rizki
Mochamad Faizal Rizki Mohon Tunggu... wiraswasta -

Alumnus Magister Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa yang Terjadi Jika Bank Century Tidak Dibailout?

8 April 2014   00:57 Diperbarui: 8 Desember 2015   13:56 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Krisis perbankan di Eropa ditandai dengan permasalahan sebuah bank swasta berukuran kecil di Inggris yaitu Northern Rock. Walaupun kecil, bank ini jadi sorotan publik ketika terjadi gonjang-ganjing krisis pada waktu itu. Perlu dicatat bahwa dalam keadaan normal, bank ini tidak masuk kategori bank berdampak sistemik (systemically important bank). 

Penarikan dana besar-besaran yang dilakukan oleh para nasabahnya memicu sentimen negatif di pasar. Antrian panjang nasabah yang ingin menarik dananya dari bank ini disiarkan oleh berbagai stasiun TV di dunia. Untuk pertama kalinya dalam 140 tahun terakhir, Inggris mengalami kekacauan perbankan.

Meskipun sudah diberikan pinjaman darurat pada 13 September 2007 oleh Bank Sentral Inggris (Bank of England), Northern Rock akhirnya di- nasionalisasi pada 17 Februari 2008, semata-mata demi menghindari kerusakan yang lebih luas terhadap perekonomian di Inggris. Sejak kejadian itu, beberapa bank di Inggris juga di-nasionalisasi. Pemerintah mengambil sebagian porsi saham di bank-bank swasta tersebut sebagai bagian dari program rekapitalisasi. Kasus Northern Rock ini menjadi pelajaran berharga, bahwa sesungguhnya, sekalipun bank itu berukuran kecil, apabila tidak diselamatkan, bank tersebut dapat menimbulkan dampak sistemik terhadap sistem keuangan secara keseluruhan. (sumber: Reflections on Modern Bank Runs: A Case Study of Northern Rock, Hyun Song Shin, Princeton University, August 2008)  

Di Indonesua, sebagai salah satu negara yang sistem keuangannya berinteraksi di pasar global, Indonesia pasti tidak luput dari tekanan dan  ancaman krisis tersebut. Tekanan dan ancaman krisis tersebut ditandai dengan kondisi-kondisi seperti : 

  1. Situasi pasar keuangan pada Q-IV/2008 tertekan tajam, sebagai reaksi terhadap berita negatif pasca kejatuhan Lehman Brothers dan lembaga- lembaga keuangan global lainnya.
  2. Pasar modal domestik mengalami gejolak dan harga saham terjun bebas, yang ditunjukkan dengan penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG) secara tajam yakni dari 2830 pada tanggal 9 Januari 2008 menjadi 1155 pada tanggal 20 November 2008 atau menurun lebih dari 50%. Secara individu beberapa perusahaan besar baik di dalam negeri maupun di luar negeri mengalami penurunan nilai kapitalisasi pasar yang sangat besar.
  3. Tekanan yang sangat hebat terjadi di pasar Surat Utang Negara/SUN, yang tercermin dari kenaikan yield atau penurunan  harga SUN Rupiah yang sangat tajam. Yield SUN naik dari awal tahun rata-rata 10% menjadi rata-rata 20%  pada bulan Oktober 2008 dan 17% pada bulan November 2008. Kenaikan yield akan meningkatkan biaya utang secara signifikan dalam APBN karena setiap kenaikan 1% (100bps) akan mengakibatkan tambahan biaya utang sekitar Rp 1 triliun.
  4. Credit Default Swap (CDS) Indonesia meningkat tajam. Ini mengindikasikan risiko (country risk) Indonesia sedang tinggi.
  5. Kelangkaan dan kesulitan likuiditas di pasar keuangan, yang menyebabkan pinjaman antar bank tidak jalan, kepanikan para pelaku pasar, dan kepercayaan antar pelaku di pasar uang semakin rendah. Keadaan ini mendorong mereka mencari asset atau lokasi yang paling aman untuk berinvestasi, yang berimbas pada pelarian dana ke luar negeri (capital flight).
  6. Cadangan devisa turun 12% dari USD 57.11 milyar per September 2008 menjadi USD 50.18 milyar per November 2008.
  7. Rupiah terdepresiasi 30.9% dari Rp 9.393 per Januari 2008 menjadi Rp 12.100 per November 2008 dengan volatilitas tinggi.
  8. Depresiasi Rupiah yang sangat tajam mengakibatkan investor asing melakukan ‘redemption’ atau melepas /menjual SUN dalam jumlah cukup besar  sekitar Rp20 triliun dalam periode Agustus – November 2008.
  9. Banking Pressure Index (dikeluarkan Danareksa Research Institute) dan Financial Stability Index (dikeluarkan oleh BI) masuk ambang batas kritis. Banking Pressure Index per Oktober 2008 sebesar 0,9 atau lebih tinggi dari ambang normal 0,5. Hal ini mengindikasikan adanya tekanan terhadap sistem perbankan yang cukup tinggi dan potensi terjadinya kegagalan (default) yang sangat besar. Sementara itu, Financial Stability Index per November 2008 sebesar 2,43 atau di atas angka indikatif maksimum 2,0. Kedua indikator ini menunjukkan sistem perbankan dan sistem keuangan nasional dalam keadaan genting.
  10. Terdapat potensi capital flight yang besar dari para deposan bank. Ini karena di Indonesia tidak ada sistem penjaminan nasabah bank secara penuh (full guarantee) seperti yang sudah diterapkan Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan, Korea, serta Uni Eropa. (Buku Putih DepKeu: 2010)

 

Berdasarkan fakta-fakta tersebut apa yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah ? Thomas R Dye (1987) seorang ahli kebijakan publik mengatakan bahwa kebijakan publik adalah whatever governments choose to do or not to do. Kebijakan negara menyangkut pilihan-pilihan apapun yang dilakukan pemerintah, baik untuk melakukan sesuatu ataupun tidak berbuat sesuatu. Namun ketika pemerintah mengambil keputusan terhadap suatu alternative kebijakan ia dipersoalkan. Lalu bagaimana bila ia sama sekali tidak mengambil suatu tindakan apapun meskipun dihadapannya terdapat potensi kerusakan yang lebih besar lagi. Apakah sikap pemerintah untuk choose not to do juga akan dipersoalkan ketika perekonomian nasional hancur lebur seperti pengalaman ketika krisis 1997-1998 ?

 

Penyelamatan vs Penutupan Century

 

Dalam situasi yang sangat genting di tengah-tengah ancaman krisis global. Pemerintah dalam hal ini BI dan KSSK sebagai otoritas yang berwenang. Membaca dan menganalisis informasi yang beredar meskipun dalam keterbatasan yang ada namun keputusan harus segera ditetapkan.

Denni P Purbasari Ekonom UGM dalam sebuah diskusi di Jakarta mengatakan dalam menentukan kebijakan dalam menghadapi krisis ekonomi, Biasanya ekonom memang menggunakan data-data yang sifatnya kuantitatif untuk kemudian mengambil suatu kesimpulan mengenai apa yang sebenarnya terjadi dengan perekonomian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun