Mohon tunggu...
Cak Bud
Cak Bud Mohon Tunggu... Programmer - Kader GP Ansor

Aku suka membaca buku psikologi dan belajar khidmah di masyarakat melalui Nahdlatul Ulama. Aku berharap bisa mengendorkan saraf dengan menulis artikel. Artikel yang kutulis di sini murni sudut pandang pribadi dan bukan mewakili pandangan organisasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kuliah Itu Mubah, Mencari Ilmu Lah yang Wajib

18 Mei 2024   17:48 Diperbarui: 18 Mei 2024   17:50 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perkuliahan | felixioncool | Pixabay.com

Bicara tentang kuliah membuatku teringat kenangan sewaktu masih kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Favorit di Surabaya. Waktu itu, aku mengambil jurusan kependidikan yang  lulusannya digadang-gadang bisa menjadi guru untuk mencetak generasi emas.

Aku adalah salah satu mahasiswa yang banyak komplain terhadap sistem perkuliahan yang berlaku waktu itu. "Kita ini mahasiswa jurusan kependidikan yang kemungkinan besar akan menjadi guru. Akan tetapi kenapa kita diajar dengan cara siswa?" protesku pada salah seorang dosen waktu itu.

Diajar dengan cara siswa yang kumaksud adalah kebanyakan dosen mengajar hanya dengan ceramah sambil menampilkan slide power point. Suasana diskusi jarang sekali terbangun. Mahasiswa seringkali aktif bertanya hanya karena ingin mendapatkan nilai tambahan. Cara evaluasi sangat kental dengan pertanyaan yang textbook. Maksudnya textbook di sini adalah pertanyaan yang jawabannya  biasanya dapat ditemukan dan disalin dari buku bacaan wajib.

Pada kesempatan lain, aku juga protes pada salah satu dosen yang cukup kusukai. Aku bukan sedang memrotes beliau melainkan sistem perkuliahan secara umum yang berlaku waktu itu. "Salah satu bacaan wajib kita adalah 'Pendidikan Kaum Tertindas' dari Paulo Freire. Tapi saya merasa di sini juga terjadi penindasan. 

Sangat sedikit dosen yang memberi tahu kisi-kisi materi perkuliahan yang akan diajar selama sebulan ke depan atau selama satu semester sekaligus sehingga kita ibaratnya hanya berdiam diri untuk disuapi sesuatu. Kita tidak tahu roadmap perkuliahan seperti apa dan target outputnya seperti apa. 

Kita juga tidak pernah diajak evaluasi apakah target perkuliahannya tercapai atau tidak. Yang menjadi ukuran hanya nilai. Kalau nilainya bagus bearti perkuliahan dianggap bagus. Selain itu, dosen ketika berhalangan hadir seperti tidak ada tanggungjawab. Memberikan tugas belajar mandiri seakan sekedar formalitas..." kataku panjang lebar. Aku berharap, dalam perkuliahan itu bisa terbangun suasana diskusi yang asyik.

Jujur saja, waktu itu, aku sangat idealis. Aku sering menggerutu berasa sesama teman mahasiswa "jebul kuliah ki gur ngene tok! (ternyata kuliah itu hanya gini doang!" kataku pada sekelompok teman mahasiswa yang sedang menunggu jam perkuliahan berikutnya. "Memang kuliah itu kayaknya gini-gini aja. Kalau dari segi ilmu atau pengetahuan mungkin kita hanya dapat sedikit dari perkuliahan. Akan tetapi pembentukan pola pikir dan jaringan akan sangat kita rasakan nanti" tukas seorang teman.

Sebagai mahasiswa jurusan kependidikan, aku berharap metode perkuliahannya lebih banyak menggunakan unsur diskusi, simulasi pembelajaran, atau praktikum untuk menguatkan kemampuan mengajar. Namun lagi-lagi temanku yang tidak sepakat memberikan argumennya "kita bisa mengembangkan kemampuan mengajar di luar perkuliahan. Banyak cara yang dapat dilakukan misalnya buka kelas privat, ngajar di TPQ, atau lainnya".

Aku tidak membalas argumen temanku itu agar tidak terjadi debat kusir. Hanya saja aku membatin "kalau intinya malah didapat dari luar lalu untuk apa kita kuliah?" pertanyaan itu terus berkecamuk.

Seiring berjalannya waktu, ketika aku lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat secara langsung dan sudah tidak menjadi mahasiswa lagi, aku menyadari manfaat dari perkuliahan itu. Benar kata salah satu temanku bahwa kuliah itu dapat membentuk pola pikir. Ketika aku mendapat tanggungjawab mengelola SDM entah dalam suatu kepengurusan NU atau menjadi kepala proyek pengembangan aplikasi, aku sangat merasakan perbedaan pola pikir SDM yang kuliah dengan yang tidak. Tapi plisss... jangan salah paham. Aku tidak mau menggeneralisir. Hanya bicara berdasarkan pengalaman saja.

Teman-teman yang kuliah lebih bisa diajak bekerja dengan cara sistematis. Tidak berpola pikir "asal jadi". Mereka bisa diajak untuk menghargai proses. Mereka juga bisa dengan cepat memahami arahan demi arahan untuk mencapai milestone atau target. 

Hanya saja sarjana yang bebal dan tidak bisa diajak untuk bekerja jumlahnya tak sedikit pula. Aku juga pernah menangani SDM seperti itu. Tidak memiliki curiosity, mengerjakan tugas minimalis, lebih jago cari alasan atau pembenaran, dan yang paling menjengkelkan adalah karena mereka merasa sebagai seorang sarjana, menuntut untuk mendapat pekerjaan "alusan" dengan bayaran yang cukup tinggi padahal minim kontribusi di proyek.

Aku menyimpulkan kalau seseorang memiliki niat untuk mencari ilmu di perkuliahan dan mendapatkan pembimbing serta lingkungan yang tepat akan sangat merasakan kebermanfatan kuliah. Sebaliknya kalau niat kuliah hanya ingin mengejar nilai dan mendapat ijazah belaka maka mungkin nilai dirinya tidak akan lebih tinggi dari sepotong kertas ijazah. Dengan kata lain, dia akan kurang dihargai tanpa ijazah atau gelarnya.

Lalu bagaimana kalau ada seseorang yang cemerlang dan sangat ingin kuliah tapi tidak bisa karena kepentok biaya yang mahal? Itu urusannya pemerintah, dong. Kalau ternyata pemerintah tidak mau tahu coba hubungi pengurus NU setempat. Siapa tahu Gerakan Keluarga Maslahat NU (GKMNU) berkolaborasi dengan LAZISNU bisa membantu mencarikan atau bahkan memberikan beasiswa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun