Menginjak di awal bulan suci bagi umat muslim sebagai penganut mayoritas di negeri kitab isa menjadi pokok bahasan sebagai pengukur indikator derajat level kepimpinan negeri. Kata-kata yang selalu digaungkan bahwa negeri ini harus selalu bergerak dan kemauan masyarakat untuk tidak ingin seperti kondisi dahulu lagi telah mencambuk semua aspek yang ada sebagai halangan.
Vaksinasi sebagai acuan indikator juga bisa menjadi sesuatu yang tidak boleh dilupakan. Melalui serangkaian berbagai program kebijakan dan Kerjasama berbagai instansi dan masyarakat dalam target tertentu juga sebagai prasyarat utama untuk melenyapkan pandemic Covid-19 di bumi pertiwi.
Secara bertahap dan pasti, masyarakat disuruh bergerak dan beraktivitas. Ragam aturan dan kebijakan dahulu seperti; berjaga jarak, kurangi kerumunan sosial mulai dikurangi walau dalam kondisi tertentu sempat diawasi untuk selalu disiplin dalam bermasker-ria, itu sudah menjadi kebiasaan yang tidak dilupa.
Keriuhan beragam aktivitas masyarakat muslim dipelosok masjid dan surau negeri ini pada bulan suci bisa menjadi indikator sebagai pemacu gerka roda ekonomi tergambar di sana. Sebagai bukti, nyatanya sang pandemi Covid-19 tak punya taring untuk muncul lagi, walau ada sedikit laporan dan dianggap sebagai sampiran saja lah. Entah dipaksa-sudahi atau sudah terlampaui target keuntungan bagi pelaku bisnis kesehatan, kini sudah mulai terdilusi.
Konsistensi para garda kesehatan bekerjasama dengan pihak terkait juga patut diacungi jempol. Bahkan tatkal terjadi kekisruhan atas kelangkaan salah satu pendukung bahan pokok masyarakat yakni minyak goreng justru dijadikan senjata.Â
Minyak goreng atas subsidi pemerintah dijadikan sebagai alat pemercepat bagi masyarakat di daerah sebagai imingan hadiah untuk bervaksin-ria. Dengan kepercayaan diri para pemimpin negeri telah bertekad bulat untuk bertindak dan bergerak bersama untuk mengakhiri keterikatan pandemic penyakit yang tak berkesudahan (jika diikuti kemauannya).
Partisipative Leadership Melalui Musyawarah Dalam Sila Ke-4 Pancasila
Hingga menjelang akhir bulan suci Ramadhan pun hampir terjadi perselisihan yang tidak sehat dalam penentuan hari raya Idul Fitiri yang selalu ditunggu oleh masyarakat negeri. Karena adanya perbedaan penetapan awal puasa bulan Ramadhan, pastinya akan terjadi perbedaan dalam mengakhirinya. Itu jika dijadikan perdebat-kusiran yang tak berkesudahan karena penggunaan tata cara yang berbeda pula. Disinilah juga diuji tingkat kapabilitas pemimpin negeri untuk menyudahi berbagai ketidak-sepakatan untuk mengambil keputusan menurut kesepakatan.
Disinilah sila ke-4 pancasila sebagai pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mencoba menyelisihi. Kata-kata yang tercantum dalam sila tersebut ".... Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan..." sebagai magic word bagi pemimpin kita. Kata Hikmat dalam Al-qurn sebagai kitab suci bagi umat muslim mendefinisikan kepemimpinan (leadership) sebagai kemampuan pemimpin yang cerdas melihat situasi yang ada untk dapat segera mengambil keputusan yang cepat dan tepat.
Hikmat yang dibarengi dengan kebijaksanaan dalam permusyawaratan menunjukkan bahwa dalam mengambil keputusan musyawarah bukanlah berdasarkan voting (sebagai landasan falsafah demokrasi). Apa pun keputusan yang diambil menjadi kesepakatan Bersama, tanpa perlu menentukan benar dan salahnya secara prinsip utama, maupun malu menyadari kesalahan dengan beragam alasan perhitungan (rukyat) atau pantauan lihat (hilal) yang ada.
Tradisi Mudik dan Ang-pau Sebagai Competitive Advantage Dalam Roda Ekonomi