Hakekat Kurban: Beranikah Kita Menyembelih Kepentingan?
- Pengantar
Hari Raya Idul Adha merupakan momen 'pesta pora' bagi kaum dhuafa karena diseluruh pelosok daerah di Seantero negeri pada tiap mesjid akan ada rejeki baginya untuk menikmati makanan istimewa yang dapat disajikan bagi keluarga mereka. Hari Raya tersebut sebenarnya adalah hari bagi orang yang mampu atau orang kaya (the haves) untuk memberikan sebagian hartanya membeli hewan ternak dan menyembelih serta membagikan kepada yang berhak atau orang miskin.
Mengapa dikatakan Hari Raya untuk orang yang mampu?. Hal ini sesuai dengan perintah Nabi Muhammad SAW dengan tegas dan lugas bahkan mengancam agar umatnya yang mampu melaksanakan perintahnya atau rukun islam tersebut. Seperti yang termaktub dalam hadits nabi dari Abu Hurairah : "Barang siapa 'yang mampu' dan tak mau berkurban, dilarang untuk mendekati tempat shalatku " (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
Kurban tidak hanya semata-mata sebuah ritual keagamaan untuk memotong atau mengalirkan darah hewan ternak, melainkan tunduk pada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan berkurban Allah menguji keimanan hamba-Nya seperti halnya nabi Ibrahim, secara logika tidak masuk akal, awal mulanya diminta untuk menyembelih anak kesayangannya yang bertahun-tahun didamba (walau akhirnya digantikan dengan seekor kambing gibas).
Jika kita mau merenung sejenak dan merefleksikan diri bahwa berkurban dengan rasa iman, niscaya kita dapat memecahkan masalah seperti yang terjadi saat ini. Sang guru berkurban agar ilmu yang diajarkan berguna bagi murid-muridnya di masa depan. Orang kaya berkurban atas harta yang dimilikinya untuk menyempitkan jarak atau gap dengan orang miskin.
- Prinsip atau Hakekat Berkurban
Termasuk kita, para pegawai negeri atau swasta, pejabat atau pengusaha, politikus dan lainnya, berkurban dengan waktu, ilmu dan pikiran demi kemajuan tugas yang diemban sesuai dengan peran masing-masing. Hakekat kurban adalah berani 'menyembelih' sesuatu yang kita sayangi (harta, ilmu, dan keluarga) demi kepentingan masyarakat atau umum, kepentingan perusahaan, organisasi atau negara. Inilah hakekat kurban yang pertama!
Hakekat kurban adalah berbagi untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi di masyarakat. Di dunia ini tidak ada yang disebut kaya bila tidak ada orang miskin, tidak ada yang dikenal pintar bila tidak ada orang bodoh, tidak ada Atasan bila tidak ada Bawahan, tidak ada direktur bila tidak ada pegawai, termasuk tidak ada kepala negara bila tidak ada rakyatnya.
Hakekat berkurban adalah adanya kebersamaan diantara kita, yang sadar akan posisi dan peranan masing-masing. Sang Guru diberkahi ilmu agar dapat diamalkan kepada muridnya, orang kaya diamanahkan memiliki harta dan berkewajiban memberikan kepada yang tidak mampu, pengusaha berkewajiban memberi lapangan kerja dan mensejahterakan pegawainya. Termasuk sang pejabat diberi ersam atas kedudukan dan berkewajiban melaksanakan tugas dengan memperhatikan hak-hak bawahannya.
Sebenarnya prinsip berkurban sudah teraplikasikan atau diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama di dalam keluarga antara orang tua dan anaknya. Orang tua bersusah payah mencari nafkah untuk keluarga dan mendidik anak-anaknya tanpa pamrih. Namun mengapa kita tidak dapat menerapkan pada lingkungan yang lebih luas dalam bermasyarakat atau dalam bekerja?.
Hakekat kurban yang utama adalah terkadang kita jalankan kewajiban dan hanya menjalankan tanpa mengerti maksud dan tujuannya. Sang pemilik hewan kurban hanya menyerahkan hewan tersebut kepada panitia kurban dan menyaksikan (jika perlu), kemudian panitia akan membagikan kepada yang berhak, hanya begitu sajakah?
Saat jaman nabi, peristiwa kurban tersebut tidak disia-siakan nabi untuk berkumpul kepada kaum dhuafa. Adanya rasa kebersamaan, nabi makan ersama kaum dhuafa seraya menjawab pertanyaan atau keluh kesah dari kaum dhuafa tersebut. Inilah hakekat kita berkurban yang kedua!
- Berkurban Itu Prinsipnya Menyembelih Kepentingan