Mohon tunggu...
Cahyo Budiman
Cahyo Budiman Mohon Tunggu... Ilmuwan - Orang biasa

tukang bakso dan mie rebus

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Mengejar Pemerkosa Lewat DNA

14 Desember 2012   04:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:41 1441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada beberapa kasus, polimorfisme atau perbedaan sekuens menyebabkan sebuah DNA menjadi lebih sensitif atau tidak sensitif terhadap enzim pemotong DNA (restriction enzymes). Disinilah RFLP bekerja, dengan melihat pola pemotongan titik-titik polimorfisme yang dilakukan oleh restrcition enzymes. Lagi-lagi, hasil pemotongannya, yang juga divisualisasikan lewat elektroforesis, akan berbeda antara satu individu dengan yang lainnya. Dan ini bisa dijadikan referensi dalam mencari pemilik DNA yang melekat di tubuh korban kejahatan.

Meskipun masih ada metode lainnya dalam proses DNA profiling, tapi saya kira dua metode di atas yang paling umum digunakan oleh tim forensik dari berbagai dunia saat ini.

Dalam kondisi ketiadaan pihak yang diduga melakukan kejahatan, biasanya hasil DNA profiling akan dibandingkan dengan DNA profiling yang ada dalam database pihak berwajib. Di negara-negara maju database ini sudah lama dikembangkan. Record data pala pelaku kriminal bisa mencakup hingga ke DNA fingerprinting mereka. Tentu saja, jika kemudian ditemukan tersangka pelaku kejahatan, pencocokan bisa dilakukan kembali dengan menganalisa DNA sang tersangka tersebut.

Jadi jelas, DNA profiling tidak sama dengan pembacaan sekuens genom manusia (human genome sequencing). Dalam DNA profiling, kita sama sekali tidak melakukan pembacaan runutan basa dari 3 milyar basa dalam DNA yang ada ditemukan di sampel. Cukup dilakukan analisis pada ruas-ruas DNA yang memang sudah diketahui memiliki titik-titik perbedaan antar individu. Dan analisis ruas-ruas unik ini pun sama sekali tidak dilakukan lewat pembacaan sekuensnya, melainkan berdasarkan pola yang mengacu pada ukuran ulangan, jumlah ulangan, dan atau sensitivitas pada enzim pemotong. Jauh lebih simpel dibandingkan pekerjaan membaca sekuens DNA.

Hasil analisis pada akhirnya menghasilkan tiga kemungkinan yang bisa dijadikan dasar pihak berwenang mengambil keputusan.

Pertama, jika hasil DNA profiling dari sampel yang melekat di tubuh korban kejahatan sama dengan DNA profiling dari tersangka, maka ada kemungkinan pelaku memang terlibat dalam tindak kejahatan tersebut. Akan tetapi perlu dicatat, hasil ini tidak memastikan bahwa tersangka adalah pelaku kejahatan tersebut. Hal ini tergantung dari tingkat keunikan hasil DNA profiling yang dihasilkan. Karena bagaimanapun secara teknis akan susah kita mencari hasil yang benar-benar menunjukan bahwa DNA profiling tersebut benar-benar 100% unik. DNA profiling dengan demikian harus benar-benar ditargetkan pada ruas-ruas yang benar-benar memiliki peluang paling kecil untuk ditemukan kesamaanya pada individu yang berbeda.

Kedua, jika hasil DNA profiling dari sampel yang melekat pada tubuh korban berbeda dengan tersangka, ada kemungkinan tersangka tidak terlibat. Tapi, lagi-lagi, tidak 100% dijamin bahwa pelaku tidak terlibat, tergantung kasusnya.  Dalam kasus pemerkosaan, jika pelaku menggunakan kondom, dan sampel diambil dari wilayah kemaluan korban, acap kali diperoleh hasil seperti ini. Karena tidak ada sel pelaku yang terambil dalam hal ini. Alih-alih, sel dari si korban sendiri yang terbawa.

Ketiga, hasil DNA profiling bisa jadi akan "bisu". Hal ini terjadi ketika hasil analisis tidak bisa digunakan untuk menarik kesimpulan apakah si tersangka terlibat atau tidak. Hasil seperti ini bisa muncul jika kualitas DNA yang diperoleh dari tempat kejadian perkara tidak cukup baik kualitasnya atau jumlahnya tidak terlalu sedikit untuk menghasilkan data yang jelas. Kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh lebih dari satu orang acap kali juga menghasilkan data yang tidak jelas, karena DNA masing-masing pelaku akan mengkontaminasi satu sama lain. Tetapi beberapa teknik tentu saja bisa meminimalisir. Kasus pemerkosaan WNI di malaysia yang terakhir terjadi ditengarai dilakukan oleh lebih dari satu orang, dan masih tetap bisa dihasilkan data yang well interpretable.  Teknik penanganan sampel menjadi titik kritis dalam kasus-kasus seperti ini.

Dari tiga kemungkinan hasil tersebut, DNA profiling tidak hanya bisa digunakan untuk membuktikan si tersangka melakukan kejahatan, tetapi juga sebaliknya, membuktikan ketidakterlibatan si tersangka. David Lee Wiggins, yang sudah mendekam dalam penjara di negara bagian Texas, AS, atas tuduhan kasus pemerkosaan, dibebaskan setelah mendekam dipenjara lebih dari dua dekade, ketika uji DNA yang dilakukan belakangan munjukan hasil yang tidak konsisten dengan DNA profiling Wiggins. Hakim negara bagian tersebut kemudian membebaskan Wiggins di beberapa bulan lalu dan merehabilitasi namanya dari tuduhan kejahatan sebelumnya. Sebaliknya, kejahatan pelaku pemeroksaan Ronald White dari Baltimore, AS, justru terungkap ketika uji DNA dilakukan. Padahal saat itu White sudah hepi-hepi karena merasa sudah terbebas. Dari dua contoh kasus tersebut, tidak heran jika di berbagai negara mewajibkan DNA profiling dalam proses forensik yang dilakukan oleh pihak berwajib.

Dan tentu saja kita juga berharap, uji DNA yang sudah dilakukan aparat keamanan Malaysia, bisa mengejar pelaku pemerkosaan warga negara kita, dan membebaskan yang tidak bersalah.

DNA never lies...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun